Terkena COVID-19 Tingkatkan Risiko Kerusakan Otak Jangka Panjang

Temuan ini menunjukkan efek buruk jangka panjang COVID-19

Sejak muncul pada akhir 2019 silam, manusia masih mencoba memahami SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19. Bukan cuma untuk pernapasan, COVID-19 terbukti bisa memengaruhi daerah tubuh lain.

Salah satu area vital yang bisa terdampak COVID-19 adalah otak dengan fenomena yang umumnya disebut brain fog. Ternyata, menurut studi terbaru, COVID-19 memang bisa meningkatkan risiko kerusakan otak jangka panjang.

1. Libatkan data jutaan partisipan

Terkena COVID-19 Tingkatkan Risiko Kerusakan Otak Jangka PanjangSeorang pasien COVID-19 meletakkan kedua tangan di kepalanya. (ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner)

Seberapa parahkah dampak tersebut setahun setelah terinfeksi COVID-19? Dimuat dalam jurnal Nature Medicine pada 22 September 2022, para peneliti Amerika Serikat (AS) dari Washington University School of Medicine in St. Louis dan Veterans Affairs St. Louis Health Care system mencari tahu hal tersebut.

Untuk mencari tahu beban gangguan neurologis 12 bulan setelah infeksi SARS-CoV-2 akut, para peneliti AS menggunakan data dari US Department of Veterans Affairs yang melibatkan lebih dari 14 juta data. Para peneliti membagi data tersebut menjadi:

  • Kelompok COVID-19: 154.068 partisipan dengan riwayat COVID-19 dari 1 Maret 2020 sampai 15 Januari 2021.
  • Kelompok kontrol: 5.638.795 partisipan tanpa riwayat COVID-19.
  • Kelompok historis: 5.859.621 partisipan dari periode sebelum COVID-19 (Maret 2018 sampai Desember 2019).

Dalam pernyataan resminya, peneliti senior dari Washington University School of Medicine in St. Louis, Ziyad Al-Aly, MD, mengatakan bahwa studi ini memaparkan penilaian komprehensif terhadap komplikasi COVID-19. Menurutnya, COVID-19 telah menyumbang lebih dari 40 juta kasus masalah neurologis di seluruh dunia.

"Kami mengevaluasi 44 gangguan otak dan neurologis lainnya antara pasien yang tak dirawat inap dan yang dirawat inap, termasuk pasien yang dilarikan ke ICU," ujar Ziyad.

2. Kerusakan otak lebih tinggi dalam kelompok COVID-19

"Hasil ini menunjukkan efek buruk jangka panjang COVID-19. Ini adalah bagian dari long COVID. Virus ini tak selalu jinak seperti yang banyak orang sangka," tutur Ziyad.

Dalam penelitian tersebut, kondisi neurologis terjadi 7 persen lebih banyak dalam kelompok COVID-19, dibanding kelompok yang tak memiliki riwayat COVID-19. Para peneliti menyepadankan angka tersebut dengan 6,6 juta pasien dengan kerusakan otak di AS yang terdampak akibat COVID-19.

Temuan serupa juga terlihat untuk komplikasi akibat COVID-19 yang disebut long COVID, yaitu brain fog. Dibanding yang tidak terkena COVID-19, mereka yang terkena COVID-19 berisiko 77 persen lebih tinggi terkena masalah daya ingat.

Terkena COVID-19 Tingkatkan Risiko Kerusakan Otak Jangka Panjangilustrasi otak manusia (freepik.com/kjpargeter

"Gangguan-gangguan ini reda pada beberapa orang, tetapi membandel pada beberapa orang lainnya. Saat ini, proporsi mereka yang membaik dibanding mereka yang tidak membaik masih tak diketahui," kata Ziyad.

Menariknya, para peneliti mencatat meningkatnya kasus Alzheimer antara pasien COVID-19. Sebanyak dua dari 1.000 pasien COVID-19 terkena penyakit Alzheimer. Meski begitu, Ziyad mengatakan hal ini bukan berarti COVID-19 adalah penyebab pasti Alzheimer.

"Alzheimer perlu waktu bertahun-tahun untuk muncul. Akan tetapi, yang kami curigai adalah mereka yang memiliki kerentanan terhadap Alzheimer makin dirugikan karena COVID-19. Dengan kata lain, lebih cepat bagi mereka untuk terkena. Walaupun langka, tetapi tetap mengkhawatirkan," papar Ziyad.

Baca Juga: Studi Indonesia Paparkan Maraknya Fenomena Long COVID

3. Risiko stroke dan masalah lainnya juga meningkat

Lalu, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, mereka yang terkena COVID-19 50 persen lebih rentan terkena stroke iskemik, kondisi saat pembuluh arteri tersumbat (oleh gumpalan darah atau lainnya) sehingga tak bisa menyuplai darah dan oksigen ke otak. Mayoritas kasus stroke didominasi oleh stroke iskemik.

Selain itu, long COVID umumnya juga terlihat dari berbagai masalah otak yang memengaruhi pergerakan, seperti tremor, kejang, hingga masalah pendengaran dan penglihatan. Membuktikan hal tersebut, penelitian ini menerangkan bahwa mereka yang pernah terkena COVID-19 juga:

  • 80 persen lebih rentan terkena epilepsi.
  • 43 persen lebih rentan terkena masalah mental (kecemasan hingga depresi)
  • 35 persen lebih rentan mengalami sakit kepala ringan hingga berat.
  • 42 persen lebih rentan mengalami gangguan gerak (seperti tremor, kontraksi otot mendadak, dan gejala-gejala mirip penyakit Parkinson).
  • 30 persen mengalami masalah penglihatan (penglihatan kabur, mata kering, dan inflamasi retina).
  • 22 persen mengalami masalah pendengaran (tinitus).

Ziyad mengatakan bahwa beberapa studi terdahulu terhadap hewan dan manusia menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 menyerang dinding pembuluh darah dan memicu stroke atau kejang.

"Ini menjelaskan bagaimana seseorang yang tidak memiliki faktor risiko bisa tiba-tiba terserang stroke," imbuh Ziyad.

4. Mau sehat atau tidak, terkena COVID-19 bisa memicu gangguan tubuh

Selain dari COVID-19, Ziyad dan timnya mencatat bahwa faktor risiko yang memicu gangguan saraf jangka panjang sebenarnya jarang. Faktanya, mereka yang tadinya sehat dan hanya terkena COVID-19 ringan justru terkena masalah otak juga.

"Tak peduli muda atau tua, perempuan atau laki-laki, ras, kebiasaan merokok, atau kebiasaan serta kondisi tak sehat lainnya," kata Ziyad menekankan.

Ziyad mengatakan bahwa studi ini menambah bukti komplikasi saraf akibat COVID-19. Efek long COVID terhadap otak dan sistem tubuh lainnya ini seharusnya menjadi pertimbangkan untuk meramu kebijakan dan rencana strategis pasca-pandemik COVID-19.

"Mempertimbangkan besarnya skala pandemik [COVID-19], memenuhi tantangan ini membutuhkan strategi respons regional, nasional, dan global dengan segera serta terkoordinasi," kata Ziyad.

5. Vaksin tetap menjadi pertahanan utama

Terkena COVID-19 Tingkatkan Risiko Kerusakan Otak Jangka Panjangilustrasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Aditya Pratama)

Sebagai catatan, baru sedikit partisipan dalam studi ini yang divaksinasi COVID-19. Ini karena vaksin belum tersedia pada periode penelitian tersebut. Selain itu, data yang digunakan juga sebelum gelombang B.1.617.2 (Delta), B.1.1.529 (Omicron), dan varian COVID-19 lainnya.

Meski begitu, vaksinasi tetap menjadi pertahanan utama. Dalam studinya yang melibatkan lebih dari 13 juta partisipan dan dimuat dalam Nature Medicine pada 25 Mei 2022, Ziyad dan tim menemukan bahwa vaksinasi mencegah risiko kematian akibat COVID-19 dan long COVID hingga 34 dan 15 persen.

Vaksin juga paling efektif mencegah masalah paru-paru (49 persen) dan pembekuan darah (56 persen). Ziyad mengatakan bahwa vaksin mengurangi gangguan otak jangka panjang hingga 20 persen. Tentu saja, selain vaksin, protokol kesehatan juga harus tetap dilaksanakan.

"Memang penting untuk divaksinasi. Namun, tak kalah penting juga untuk mengerti bahwa vaksinasi tidak menawarkan perlindungan komplet terhadap gangguan saraf jangka panjang ini," kata Ziyad.

Baca Juga: Infeksi Ulang COVID-19 Bisa Memperburuk Long COVID

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya