Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimun

Pasien penyakit autoimun sangat membutuhkan vaksin COVID-19

Sudah hampir 2 tahun pandemik COVID-19 menyelimuti dunia. Selain memengaruhi populasi umum, COVID-19 juga membawa dampak besar bagi para pasien dengan penyakit autoimun. Mereka jadi ragu untuk kontrol dan berobat karena khawatir terpapar virus corona SARS-CoV-2 dan varian-variannya.

Berita baiknya, vaksin COVID-19 sudah diramu dalam waktu yang relatif sangat cepat. Dengan begitu, manusia memiliki harapan untuk segera mengakhiri pandemik. Namun, dengan kemunculan vaksin untuk populasi umum, maka muncul pertanyaan, apa pertimbangan vaksinasi COVID-19 untuk para pasien dengan kondisi autoimun?

Bekerja sama dengan Novartis Indonesia, Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA) membahas hal tersebut dalam webinar bertajuk Dampak Panjang COVID-19 dan Seberapa Perlu Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Lupus pada Selasa (14/12/2021). Berikut ulasan selengkapnya.

1. Apa itu autoimun?

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi autoimun (everydayhealth.com)

Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan reumatologi, Dr. dr. Cesarius Singgih Wahono, SpPD-KR, menjelaskan bahwa autoimun adalah kondisi di mana sistem imun yang harusnya melindungi dapat menyerang tubuh sendiri.

"Kondisi autoimun bisa mengenai berbagai organ tubuh mana pun, melemahkan fungsi tubuh, dan bahkan bisa mengancam jiwa. Akan tetapi, tidak semua seperti itu, ya. Yang paling berat adalah lupus," kata Dr. Singgih.

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi gangguan autoimun (brittanica.com/American Chemical Society)

Kebanyakan orang menyangka kalau autoimun disebabkan oleh faktor genetik. Akan tetapi, menurut Dr. Singgih, satu faktor saja tidak cukup untuk memicu kondisi autoimun.

"Ibarat kalau kita membuat cake, itu, kan, nggak cukup kalau cuma tepung dan telur. Perlu susu, mentega, cokelat, dan bahan-bahan lainnya. Jadi, tidak cukup hanya telur dan tepung. Genetik saja tidak cukup. Nah, itu perlu diperhatikan, jadi multifaktorial," papar Dr. Singgih.

Apa saja faktor lain tersebut? Ada faktor hormonal seperti estrogen, prolaktin, dan sebagainya, atau faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet (UV) berlebihan, infeksi, dan lainnya.

Dokter Singgih juga memperingatkan kalau sebagian besar penyakit autoimun lebih berisiko menyerang perempuan dibanding laki-laki. Kemungkinannya mencapai 9 banding 1 hingga 10/15 banding 1.

Meski begitu, ada juga beberapa penyakit reumatik autoimun inflamasi atau autoimmune inflammatory rheumatic disease (AIIRD) yang lebih dominan pada laki-laki.

2. Jenis-jenis penyakit autoimun

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi nyeri pada pasien artritis reumatoid (freepik.com/karlyukav)

Berdasarkan asal mula terjadinya, Dr. Singgih membagi kondisi autoimun menjadi dua jenis, yaitu spesifik pada organ tertentu dan seluruh anggota tubuh atau sistemik. Autoimun pada organ tertentu meliputi:

  • Otak dan saraf: multiple sclerosis 
  • Tiroid: penyakit Hashimoto
  • Otot: miastenia gravis
  • Perut: anemia pernisiosa
  • Adrenal: penyakit Addison
  • Pankreas: diabetes melitus atau diabetes tipe 1

Di sisi lain, autoimun sistemik meliputi:

  • Ginjal, darah, otak, saraf, kulit, sendi, dan organ lainnya: lupus eritematosus sistemik (LES)
  • Otot dan jaringan ikatnya: dermatomiositis
  • Kulit dan jaringan ikatnya: skleroderma
  • Persendian dan jaringan ikatnya: artritis reumatoid

3. Mengenal sekilas lupus, salah satu bentuk penyakit autoimun paling umum di dunia

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi ruam malar pada pasien dengan lupus (medicinenet.com)

Seperti yang diungkapkan Dr. Singgih sebelumnya, lupus atau LES adalah salah satu kondisi autoimun paling berat. Ini dikarenakan LES memengaruhi tubuh secara sistemik, dari kulit, sendi, ginjal, paru, hingga jantung. Salah satu gejala khas dari LES adalah ruam kupu-kupu (butterfly rash) atau ruam malar.

"Nah, itu tapi LES nggak ada yang pasti sama. Ada yang kena kulit sama sendinya, tapi ada juga yang kena yang lainnya," imbuh Dr. Singgih.

Selain ruam, kulit pasien LES juga sensitif terhadap sinar UV. Pasien juga dapat terkena radang pembuluh darah (vaskulitis), artritis reumatoid, dan menderita akumulasi cairan pada rongga paru (efusi pleura) dan jantung (efusi perikardial).

Dokter Singgih memperingatkan kalau LES dapat menyerang ginjal dan dapat berakibat fatal. Selain pembengkakan, protein pada air seni dapat menandakan kebocoran ginjal yang dapat berakhir pada gagal ginjal.

Selain itu, LES juga dapat menyerang saraf hingga mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang, hingga stroke. Menyerang perempuan pada usia produktif, gejala LES bisa menyerupai gangguan jiwa hingga menyebabkan kelumpuhan.

"Gejalanya mirip seperti gangguan kejiwaan dan sering disalahartikan hingga dilarikan ke rumah sakit jiwa, padahal itu LES," Dr. Singgih mengungkapkan.

4. Pengobatan LES harus dengan berbagai pendekatan

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi berobat ke dokter (pexels.com/cottonbro)

Dalam mengobati LES, tidak bisa hanya dengan satu spesialis. Dokter Singgih mengatakan bahwa pendekatan LES harus dengan berbagai cabang disiplin. Setelah dokter umum mengenali gejala LES, maka pasien bisa dirujuk ke spesialis penyakit dalam.

Setelah dari spesialis penyakit dalam, rujukan bisa ditujukan ke reumatologi dan alergi-imunologi. Sebagai contoh, jika ginjal yang terkena, maka dapat dirujuk ke ahli nefrologi. Hal ini berlaku juga ke berbagai gangguan di lokasi-lokasi tubuh tertentu akibat penyakit autoimun tersebut.

5. Tata laksana perawatan LES

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi perempuan bahagia (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Pasien bisa mendapatkan intervensi untuk meringankan gejala LES. Menurut Dr. Singgih, IRA telah mengeluarkan pedoman diagnosis dan pengelolaan LES. 

"Rekomendasi utama pengelolaan pasien itu nggak cuma obat saja, tetapi menyertakan edukasi, program rehabilitasi, serta terapi non-farmakologi lainnya," kata Dr. Singgih.

Edukasi dan penatalaksanaan LES secara non-farmakologi mencakup:

  • Istirahat cukup dan dibarengi dengan latihan fisik sesuai kondisi.
  • Dapat menerima dengan ikhlas kondisi LES, kalau stres atau depresi bisa memperburuk kondisi.
  • Menghindari paparan sinar matahari langsung.
  • Dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga, pasangan, sahabat, komunitas autoimun, dan komunitas lupus.
  • Edukasi gejala-gejala kambuhnya LES, seperti:
    • Demam
    • Penurunan berat badan
    • Muncul ruam baru pada kulit
    • Kerontokan rambut
    • Nyeri dan pembengkakan sendi
    • Munculnya lesi oral atau seriawan baru
  • Memastikan asupan yang sehat dan bergizi seimbang.
Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi obat-obatan (unsplash.com/hikendal)

Bagaimana dengan pengobatan farmakologi? Pengobatan LES tidak ada yang persis sama untuk setiap pasien. Dengan kata lain, harus disesuaikan dengan kondisi.

Untuk obat-obatannya, salah satu obat yang penting dalam intervensi LES atau kondisi autoimun lainnya adalah steroid. Dosis pengobatan akan bergantung pada derajatnya, dari ringan, sedang, hingga berat. Jenis-jenis obatnya dapat mencakup:

  • Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS): natrium diklofenak atau meloksikam
  • Obat anti-malaria: hidroksiklorokuin
  • Kortikosteroid: prednisone, prednisolone, atau metilprednisolon
  • Obat imunosupresan: azatioprin, siklosporin, MMF, MPA, atau siklofosfamid
  • Obat biologis: rituximab atau belimumab

Sementara tergantung kondisinya, Dr. Singgih mengatakan bahwa obat-obat tersebut disarankan untuk diberikan dengan dosis rendah dan dalam jangka waktu sependek mungkin. Dalam keadaan darurat, dosis obat baru boleh ditingkatkan.

Pemakaian obat beserta dosisnya pun harus berhati-hati untuk meminimalkan efek samping. Adanya terapi pendamping (sparing agent) bertujuan agar dosis steroid dan imunosupresan tidak terlalu tinggi. 

"Targetnya pengobatan lupus ini mencapai remisi (sembuh namun bisa kambuh) atau aktivitas penyakit rendah (low disease activity) untuk mencegah kekambuhan."

Baca Juga: 7 Gejala Penyakit Lupus Ini Kerap Diabaikan Pasien, Kamu Perlu Waspada

6. Tantangan pasien autoimun di tengah pandemik COVID-19

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi perempuan yang mengidap autoimun (pexel.com/Pixabay)

Menceritakan keluh kesah pasien penyakit autoimun di tengah pandemik COVID-19, Dr. Singgih mengatakan bahwa para pasien takut kontrol atau berobat ke fasilitas kesehatan karena risiko tertular COVID-19. Selain layanan telekonsultasi kesehatan yang belum memadai, akses obat-obatan pun terbatas.

Seperti yang kita tahu, hidroksiklorokuin sempat digadang-gadang ampuh untuk COVID-19. Hal ini membebani pengobatan autoimun dan LES. Untungnya, dengan terbantahkannya klaim tersebut, hidroksiklorokuin tidak langka lagi. Meski begitu, pemberian obat autoimun dan kondisi COVID-19 pun serba salah.

"Selain itu, pengobatan penyakit autoimun yang juga terserang COVID-19 tidak bisa optimal. Saat pasien autoimun terkena infeksi COVID-19 dan diberikan imunosupresan, maka gejala COVID-19 bisa makin berat," ujar Dr. Singgih.

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi obat-obatan (pixabay.com/qimono)

Oleh karena itu, pada tahun 2020, IRA menerbitkan tata laksana perawatan AIIRD di masa pandemik COVID-19 lewat Indonesian Journal of Rheumatology. Sementara steroid, hidroksiklorokuin, dan OAINS dapat diberikan dengan dosis hati-hati, imunosupresan dan obat biologis masih tidak diperbolehkan.

Di sisi lain, Dr. Singgih juga menekankan kalaupun pasien autoimun sembuh dari COVID-19, risiko long COVID-19 juga menambah beban pasien autoimun dan perawatannya. Oleh karena itu, hal ini menekankan pentingnya vaksinasi COVID-19 untuk semua golongan, termasuk pasien autoimun.

"Jika orang sehat bisa terkena, apalagi pasien autoimun," Dr. Singgih menekankan.

7. Bahaya COVID-19 mengintai pasien autoimun

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi virus corona (pixabay.com/Cassiopeia_Arts)

Turut berbicara dalam webinar tersebut, dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan reumatologi, Prof. Dr. dr. Harry Isbagio, SpPD-KR, KGer, ikut mengomentari hubungan COVID-19 pada pasien autoimun. Mengutip berbagai penelitian, Prof. Harry menekankan parahnya gejala COVID-19 pada pasien autoimun.

"Individu dengan autoimun memiliki risiko rawat inap akibat COVID-19 yang lebih tinggi, hampir dua kali lipat. Bahkan, pasien artritis reumatoid dan vaskulitis memiliki risiko terbesar, yaitu 1,72 dan 1,82 kali lipat masing-masing," kata Prof. Harry sambil mengutip penelitian.

Selain itu, risiko COVID-19 parah lebih tinggi pada pasien autoimun dibanding populasi umum. Profesor Harry memperingatkan bahwa tidak sedikit kasus COVID-19 pada pasien autoimun yang berujung pada kematian.

Perlu diketahui, risiko COVID-19 pada pasien autoimun, terutama lupus dan artritis reumatoid, amat bervariasi. Dapat menyebabkan kematian, beberapa faktor risiko tersebut adalah:

  • Tingkat aktivitas penyakit autoimun.
  • Komorbiditas (obesitas, diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan penyakit paru-paru).
  • Pengobatan obat (terutama methotrexate/MTX, glukortikosteroid, dan prednisone dosis tinggi).
  • Jenis kelamin (terutama laki-laki).

8. COVID-19 bisa memunculkan autoimun pada populasi umum

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi virus corona SARS-CoV-2 (imi.europa.eu/Image courtesy of the NIH CC 0)

Membahas hubungan COVID-19 dengan manifestasi autoimun, Prof. Herry mengatakan bahwa gejala-gejala AIIRD seperti nyeri otot (mialgia) dan kelemahan memang umum ditemukan. Namun, intensitas mialgia tidak berbanding lurus dengan beratnya gejala COVID-19.

Dokter Singgih sempat mengatakan kalau infeksi dapat memicu autoimun. Prof. Harry menjelaskan bahwa ada keseragaman imunopatogenesis antara COVID-19 dan autoimun. Oleh karena itu, pada populasi yang tidak memiliki riwayat autoimun, COVID-19 dapat memicu kondisi tersebut secara tiba-tiba.

“Yang mengejutkan adalah munculnya penyakit autoimun setelah COVID-19. Beberapa penyakit autoimun justru muncul setelah COVID-19 pada orang-orang yang dulunya belum menderita penyakit autoimun,” papar Prof. Harry.

9. Semua vaksin membantu pasien autoimun

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien AutoimunPemprov DKI Jakarta mulai berikan vaksin Moderna bagi kelompok pasien autoimun pada Jumat (20/8/2021). (Dok. Pemprov DKI Jakarta)

Baik dengan platform inactivated (Sinovac dan Sinopharm), messenger ribonucleic acid/mRNA (Pfizer-BioNTech dan Moderna) atau viral vector (AstraZeneca-Oxford dan J&J), Prof. Harry mengatakan bahwa semua vaksin melindungi pasien autoimun dari infeksi SARS-CoV-2 dan varian-variannya.

"Pasien autoimun yang diberikan vaksin menunjukkan reaksi imun humoral dan seluler yang baik. Selain itu, mRNA memiliki efikasi yang baik dan tidak memicu infeksi COVID-19 pada pasien autoimun," kata Prof. Harry.

Meski begitu, Prof. Harry mencatat bahwa imunogenisitas pada pasien autoimun memang lebih rendah dibanding populasi umum dan hanya melindungi dalam jangka pendek. Dianjurkan program pengobatan autoimun disesuaikan sebelum vaksinasi. Saat ini, belum ada informasi mengenai efek samping tertentu vaksin COVID-19 pada pasien autoimun. 

“Uji klinik tidak menyertakan pasien dengan kelemahan sistem imun, termasuk AIIRD. Selain itu, apakah vaksin dapat memicu kambuhnya AIIRD juga tidak diketahui dengan pasti,” kata Prof. Harry.

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien AutoimunPemprov DKI Jakarta mulai berikan vaksin Moderna bagi kelompok pasien autoimun pada Jumat (20/8/2021). (Dok. Pemprov DKI Jakarta)

Mengutip berbagai penelitian terkini, Prof. Harry mengatakan bahwa efek samping vaksin COVID-19 untuk para pasien autoimun tidak serius sampai dirawat inap. Efek samping paling umum adalah nyeri di tempat suntikan, kelelahan, sakit kepala, dan mialgia. Selain itu, aktivitas autoimun tercatat stabil sehingga tidak kambuh.

“Lebih baik dicegah sebelum terkena [COVID-19]. Kalau sudah terkena, risiko cukup besar dan angka kematiannya enam kali cukup besar dibandingkan populasi umum."

"Meski belum diketahui efek samping jangka panjang vaksin ini, risiko COVID-19 jauh lebih besar dibanding risiko kambuhnya autoimun akibat vaksinasi,” papar Prof. Herry.

Untuk para pasien autoimun yang ingin divaksinasi, ada beberapa hal yang perlu diingat, yaitu:

  • Pasien autoimun sedang dalam kondisi remisi.
  • Menggunakan vaksin COVID-19 yang tersedia.
  • Risiko kambuh autoimun amat kecil.
  • Pasien autoimun harus dipantau pasca vaksinasi untuk kemungkinan anafilaksis.
  • Beberapa obat autoimun (seperti DMARD untuk artritis reumatoid) dapat dilanjutkan setelah vaksinasi. Obat-obatan kortikosteroid dan imunosupresan harus disesuaikan dosis dan waktu pemberiannya.
  • Protokol kesehatan harus tetap dijalankan setelah vaksinasi, yaitu dengan:
    • Memakai masker lapis ganda.
    • Menjaga jarak di kerumunan 1,8-2 meter.
    • Mencuci tangan dengan air dan sabun selama 20 detik.
    • Tidak keluar rumah saat tidak fit dan hanya jika ada keperluan mendesak.
    • Tidak menyentuh hitung, mata, dan mulut.

10. Bagaimana dengan booster COVID-19 untuk para pasien autoimun?

Menimbang Potensi Vaksinasi COVID-19 pada Pasien Autoimunilustrasi penyuntikan vaksin (ANTARA FOTO/Soeren Stache/Pool via REUTERS)

Beredar kabar bahwa mulai tahun 2022, Indonesia akan menyelenggarakan vaksinasi dosis ketiga (booster) COVID-19. Apakah artinya untuk para pasien autoimun? Profesor Harry menegaskan kalau booster amat diperlukan untuk para pasien autoimun.

Mengambil contoh vaksin inactivated CoronaVac dari Sinovac Biotech, imunogenisitas dan antibodi terhadap SARS-CoV-2 terbukti lebih rendah dan lebih pendek durasinya. Jika hal tersebut berlaku selama 6 bulan untuk populasi umum, bagaimana dengan nasib pasien penyakit autoimun yang menerima vaksin tersebut?

"Pada pasien dengan kondisi autoimun yang mengonsumsi imunosupresan, durasinya bisa lebih pendek. Mungkin tidak sampai 3 bulan, sudah habis kadar antibodi dalam darahnya. Selain itu, ada kemungkinan antibodi tidak terbentuk sempurna," ujar Prof. Harry.

Ia juga membandingkannya dengan vaksin mRNA. Sementara efektivitas pada populasi umum bisa mencapai 90 persen, kondisi dan pengobatan pada pasien autoimun dapat menurunkannya hingga menyentuh 70 persen. Oleh karena itu, Prof. Harry menyarankan booster jika sudah tersedia.

“Kalau ada booster, lebih baik diberikan. Dengan harapan titer antibodi meningkat lagi sehingga durasi proteksi jadi lebih panjang," tandas Prof. Harry.

Baca Juga: Studi: Vitamin D dan Omega-3 Kurangi Risiko Penyakit Autoimun

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya