Cegah Stunting dengan Memberi Anak Sebutir Telur per Hari

Jangan sampai anak kekurangan protein hewani

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 24,4 persen. Angka ini masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu 14 persen.

Stunting adalah masalah serius karena berpengaruh terhadap kualitas generasi penerus bangsa. Dampaknya bukan hanya pada tinggi badan, tetapi juga kecerdasan dan daya tahan tubuh.

Berangkat dari isu tersebut, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengadakan seminar media bertema "Peranan Protein Hewani dalam Mencegah Stunting di Indonesia" yang diselenggarakan secara daring pada Selasa siang (24/1/2023).

Topik ini dibawakan oleh Prof. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Ph.D, SpA(K), yang merupakan Ketua Satgas Stunting IDAI 2021–2024. Berikut pemaparannya!

1. Definisi stunting menurut WHO

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stunting sebagai tinggi badan yang lebih dari dua standar deviasi di bawah median standar pertumbuhan anak WHO. Penyebabnya adalah kekurangan gizi kronis atau berulang, yang dikaitkan dengan kemiskinan, penelantaran, kurangnya pengetahuan, sering sakit, atau lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan prematuritas.

"Namun, tidak semua balita (yang) pendek itu stunting. Perlu dibedakan oleh ahlinya, yaitu dokter spesialis anak," Prof. Damayanti menegaskan.

Ia mengatakan bahwa stunting tidak terjadi secara tiba-tiba. Biasanya diawali dengan kekurangan gizi, yang ditandai dengan weight faltering (berat badan tidak naik sesuai standar usianya). Lama-kelamaan, terjadi perlambatan penambahan panjang badan (deceleration length).

2. Bisa menurunkan kecerdasan intelektual

Cegah Stunting dengan Memberi Anak Sebutir Telur per Hariilustrasi anak sedang mengerjakan tugas (pixabay.com/klimkin)

Stunting dikaitkan dengan keterlambatan perkembangan otak dan kinerja kognitif yang buruk. Prof. Damayanti mengutip sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics pada 2007, yang mengatakan bahwa weight faltering pada 2 bulan pertama kehidupan bisa menurunkan kecerdasan intelektual (IQ) hingga 3–4 poin pada usia 8 tahun.

Kita mungkin sudah mengenal Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengetes kemampuan membaca, matematika, dan sains pada anak berusia 15 tahun. Berdasarkan PISA 2018, Indonesia berada di peringkat 71 dari 78 negara. Jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain seperti Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

"Kalau masih terus diperbaiki kondisinya, masih kontrol sampai usia 5 tahun, IQ-nya tidak akan turun banyak. Tapi, kalau sampai usia 9 tahun tidak dikejar, cukup besar masalah intelektual yang akan dihadapi," ia mewanti-wanti.

3. Bahkan, bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia

Secara makro, stunting bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Ini bisa diukur dengan Human Capital Index (HCI). Lantas, berapa skor Indonesia?

Menurut Prof. Damayanti, skor HCI Indonesia pada tahun 2020 adalah 0,54. Sementara, negara-negara Asia Tenggara lain memiliki skor yang lebih tinggi, seperti Thailand (0,61), Malaysia (0,61), Brunei (0,63), dan Vietnam (0,69).

Baca Juga: Prevalensi Stunting di Indonesia Tahun 2022 Menurun

4. Protein hewani diperlukan untuk pertumbuhan

Cegah Stunting dengan Memberi Anak Sebutir Telur per Hariilustrasi ayam panggang (pixabay.com/feherandras)

Anak yang stunting memiliki kadar asam amino esensial yang lebih rendah, mengacu pada studi yang dipublikasikan dalam jurnal eBioMedicine pada tahun 2016. Utamakan protein hewani sebagai sumber asam amino esensial, karena lebih lengkap dari protein nabati.

Bagaimana dengan daun kelor (Moringa oleifera) yang diklaim bisa mencegah stunting? Memang, dalam 100 gram daun kelor segar mengandung 6,7 gram protein. Namun, asam amino esensialnya hanya memenuhi 5,5–28 persen angka kecukupan gizi.

5. Jika memungkinkan, berikan anak protein hewani lebih dari satu jenis

Protein hewani memang lebih mahal daripada protein nabati. Akan tetapi, kita tetap bisa mencukupi kebutuhan protein hewani anak dengan cara yang ekonomis, yaitu dengan sebutir telur ayam.

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics tahun 2017, konsumsi telur sebutir sehari selama 6 bulan (dalam periode MPASI) terbukti menurunkan prevalensi stunting hingga 47 persen.

Disarankan untuk mengonsumsi lebih dari satu jenis protein hewani, karena bisa menurunkan risiko stunting pada anak usia 18–24 bulan secara signifikan, mengacu pada studi yang dipublikasikan dalam Journal of Agricultural Economics pada tahun 2017.

Baca Juga: 80 Persen Kasus Stunting Terjadi pada Usia 0-3 Tahun

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya