5 Fakta Liverleaf, Film yang Viral di Kalangan Ilustrator di Medsos

Bagi pengguna media sosial yang aktif mengikuti perkembangan tren di dunia art dan ilustrasi, tentunya sudah tidak asing lagi dengan sebuah referensi gambar yang menunjukkan seorang laki-laki dengan wajah yang bersimbah darah sambil mengangkat sebuah kamera. Referensi gambar tersebut akhir-akhir ini banyak digunakan oleh berbagai artist dan ilustrator untuk menunjukkan bakat mereka di media sosial, khususnya di aplikasi X dan Tiktok. Namun, siapa yang menyangka kalau gambar yang dijadikan referensi itu berasal dari cuplikan sebuah film Jepang berjudul Liverleaf yang dirilis pada tahun 2018 lalu?
Film asal Jepang berjudul Liverleaf ini adalah film bergenre drama dan thriller yang disutradarai oleh Eisuke Naitô, berkolaborasi dengan penulis skenario Miako Tadano. Liverleaf (2018) mengangkat isu sensitif di Jepang yang dibalut dengan kisah drama remaja sekolah menengah pertama yang sadis dan penuh darah. Film ini menceritakan tentang emosi terpendam sang karakter utama, Nozaki Haruka, yang menyeruak dalam hasratnya untuk membalas dendam terhadap teman-teman sekelasnya. Akan tetapi, karakter-karakter lain tentunya memberikan warna menarik dalam perjuangan balas dendam Nozaki, sehingga film ini berujung kepada akhir cerita yang tak terduga. Film ini menuai pro dan kontra di kalangan sinefil, namun tak sedikit penonton dari film ini yang menjadi penggemar. Berikut adalah lima fakta menarik tentang Liverleaf yang harus kamu ketahui.
1. Dibintangi oleh aktor-aktor muda Jepang yang berbakat

Liverleaf merupakan film dengan pemeran ansambel yang didominasi oleh aktor-aktor muda berbakat asal Jepang. Karakter utama, Nozaki Haruka, dimainkan oleh aktris muda Yamada Anna yang pernah membintangi The Master Plan (2021) bersama aktor Mackenyu Arata. Aktris cantik ini mengawali karirnya sebagai model untuk majalah Ciao sebelum akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia akting. Selain Yamada, karakter "pacar" Nozaki bernama Aiba Mitsuru diperankan oleh aktor Hiroya Shimizu yang pernah membintangi film live-action Tokyo Revengers (2021). Karakter penting lain adalah Taeko Oguro yang merupakan "musuh" Nozaki. Karakter Taeko diperankan oleh aktris Rinka Ôtani yang baru saja membintangi film horror Jepang berjudul Immersion (2023).
2. Adaptasi dari manga berjudul Misumisou

Karya orisinil yang diadaptasi oleh film Liverleaf adalah sebuah series manga berjudul Misumisou. Misumisou merupakan karya mangaka Rensuke Oshikiri yang dirilis dari tahun 2007 sampai 2009 di majalah Hora M dengan 3 volume yang terdiri dari 21 bagian. Judul Misumisou sendiri adalah terjemahan bahasa Jepang dari Liverleaf. Manga ini mendapat pujian untuk art-stylenya yang menarik dan terkesan unik, sehingga memberikan nuansa horror dan mencekam bagi para pembaca. Suasana mencekam dan mengerikan tersebut sukses disajikan di dalam film live-action Liverleaf yang berdurasi selama 105 menit.
Selain Misumisou, salah satu karya terkenal lainnya dari mangaka Rensuke Oshikiri adalah High Score Girl (Hi Score Girl) yang menuai banyak pujian serta menerima berbagai nominasi penghargaan juga mendapatkan adaptasi anime yang telah berjalan selama dua musim sebagai bukti dari popularitasnya.
3. Meangkat isu bullying yang kompleks dan rumit

Isu bullying atau perundungan merupakan tema utama yang diangkat dalam film ini. Hal ini tidak luput dari fakta tingginya kasus perundungan yang terjadi pada murid-murid sekolah di Jepang. Pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan Jepang melaporkan bahwa terdapat 680 ribu kasus perundungan yang terjadi di sekolah-sekolah yang tersebar seantero Jepang. Tingginya kasus perundungan di Jepang membuat isu bullying atau perundungan menjadi isu sensitif yang sering diangkat di media Jepang, termasuk dalam karya-karya fiksi.
Liverleaf mengangkat isu bullying yang cukup kompleks dan rumit dimana kasus perundungan tidak hanya dialami oleh sang karakter utama, namun juga karakter pendukung lainnya. Kasus perundungan yang terjadi pada film ini layaknya sebuah siklus yang melibatkan banyak karakter dengan masalah personal mereka masing-masing. Masalah yang menyulut terjadinya perundungan tersebut juga dapat ditelusuri kembali ke latar belakang keluarga masing-masing karakter yang penuh konflik, sehingga memengaruhi motif masing-masing karakter dalam kasus perundungan tersebut. Film Liverleaf ini juga mengajarkan bahwa peran keluarga, khususnya orangtua, sangatlah penting terhadap perkembangan mental anak, salah satunya adalah pandangan orangtua mengenai bullying dan kekerasan rumah tangga.
4. Simbolisme liverleaf, mantel merah, dan salju

Penggunaan tumbuhan Liverleaf sebagai simbol utama dari cerita ini bukanlah tanpa tujuan. Liverleaf adalah tumbuhan yang terbilang kuat karena dapat tumbuh dalam berbagai kondisi tanah dan cahaya. Tumbuhan liverleaf juga tidak memerlukan atensi yang lebih untuk tumbuh karena mereka dapat tumbuh dengan sendirinya dalam jangka waktu yang lama. Secara historis, liverleaf sering diasosiasikan dengan "kebersihan", "kemurnian", dan "keadaan tidak berdosa".
Simbolisme mantel merah dan salju difokuskan pada perpaduan warna mereka yang kontras—merah dan putih. Salju tidak hanya melambangkan "kemurnian", namun juga melambangkan "kesendirian" dan "kematian" dalam puisi-puisi yang mengambil latar belakang musim dingin, sedangkan warna merah yang dominan pada pakaian yang dikenakan Nozaki dapat diartikan sebagai munculnya amarah dan keagresifan dari karakter Nozaki tersebut. Warna merah menyala seperti darah yang menodai warna putih dari salju yang tertimbun dapat diartikan sebagai "bahaya, kemarahan, atau kekerasan yang tersembunyi dalam kemurnian seseorang".
Simbolisme-simbolisme tersebut ditunjukkan untuk mendeskripsikan karakter utama kita, Nozaki, yang awalnya merupakan gadis lugu dan pendiam seketika berubah menjadi ganas dan berbahaya setelah harus melalui cobaan bertubi-tubi yang mengancam nyawanya beserta nyawa keluarganya. Selain Nozaki, beberapa karakter lain yang digambarkan sebagai karakter yang lugu dan baik ternyata juga memiliki sisi gelap yang terpendam karena dendam pribadi mereka. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh kekerasan terhadap psikologis anak-anak yang harusnya bisa tumbuh dengan normal.
5. Banyak adegan sadis, namun sinematografi tetap ciamik

Cuplikan film Liverleaf yang viral di media sosial merupakan salah satu adegan pembunuhan yang cukup sadis namun puitis. Tak heran ada banyak adegan lainnya yang terbilang sangat screenshot-worthy untuk dijadikan referensi gambar. Film yang memang dikategorikan sebagai film gore ini memuat beberapa adegan sadis yang melibatkan banyak cipratan darah dan teriakan kesakitan dari para korban. Namun, kesadisan film ini dapat diimbangi oleh sinematografi yang terkesan indah dan estetik. Tentunya musim salju sebagai latar belakang dari film ini menambah keindahan beberapa adegan yang memang disengajakan untuk menjadi materi beauty shots.
Kreativitas direktor Eisuke Naitô dalam menggabungkan sadisme dengan pengambilan gambar yang sinematik rupanya bertujuan untuk menangkap nuansa abnormal dan anti-utopia dalam film ini. Adegan-adegan pembunuhan yang brutal di tempat terbuka dan kebebasan para karakter dalam melanggar peraturan terkesan tidak realistis. Namun, hal-hal tersebut tetap signifikan terhadap jalannya cerita yang mengibaratkan isu bullying sebagai isu yang sering diacuhkan oleh pihak sekolah maupun masyarakat.
Selain sinematografi yang ciamik, musik yang terkesan mengayun dan sendu juga menambah keindahan dan suasana mencekam yang tergambar dalam film ini.