5 Persamaan The Substance dan Karya Junji Ito, Tonjolkan Body Horror!

Artikel ini mengandung spoiler bagi yang belum menonton The Substance dan yang belum membaca manga-manga Junji Ito!
Setelah sekian lama dinanti, The Substance akhirnya tayang di bioskop pada Rabu (16/10/2024). Karya terbaru Coralie Fargeat ini menonjol dengan visual brutal, body horror ekstrem, dan narasi mengenai obsesi terhadap standar kecantikan modern. Tak hanya dipenuhi adegan berdarah, The Substance juga menyelipkan unsur komedi gelap yang menyegarkan.
Menariknya, selama menonton The Substance, penulis langsung teringat pada karya-karya horor Junji Ito. Junji Ito merupakan mangaka legendaris yang dikenal dengan komik-komik bertema body horror dan atmosfer mencekam. Karyanya, seperti Uzumaki dan Tomie, mengeksplorasi teror psikologis dan transformasi tubuh yang mengerikan, sangat mirip dengan tone yang dihadirkan oleh The Substance.
Penasaran sejauh mana persamaan The Substance dengan manga-manga karya Junji Ito? Dari visual yang mengganggu hingga tema seputar obsesi manusia yang diangkat, berikut adalah lima perbandingan keduanya yang bakal membuatmu merinding!
1. Sama-sama mengeksplorasi sisi gelap manusia

Junji Ito dan sisi gelap manusia adalah "sahabat" yang tak terpisahkan. Dalam karya-karyanya, seniman asal Jepang ini kerap mengeksplorasi ketakutan terdalam manusia yang memicu hasrat untuk melampaui batas-batas normal. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana keinginan untuk mencapai kesempurnaan dapat membawa kehancuran.
Misalnya, dalam Tomie, Junji Ito menggambarkan seorang gadis yang begitu cantik hingga membuat orang-orang di sekitarnya terobsesi dan akhirnya melakukan tindakan-tindakan mengerikan. Sementara itu, The Face Burglar mengeksplorasi bagaimana keinginan untuk menjadi orang lain dapat menghancurkan diri sendiri. Kedua cerita ini menunjukkan betapa rapuhnya manusia ketika dihadapkan pada obsesi dan keinginan yang tak terkendali.
Sedangkan dalam The Substance, kecintaan Elizabeth Sparkle (Demi Moore) terhadap penampilan fisik membawa sang protagonis ke dalam jurang malapetaka. Setelah dipecat dari pekerjaannya karena dianggap terlalu tua, Elizabeth menggunakan obat terlarang yang dapat menciptakan versi dirinya yang lebih muda dan cantik. Namun, alih-alih mendapatkan kebahagiaan, ia justru terjebak dalam siklus kehancuran yang mengancam nyawanya.
2. Hadirkan teror lewat momen "horor tubuh" di luar nalar

Memutuskan untuk "turun gunung" setelah hiatus selama 7 tahun, Coralie Fargeat kembali menunjukkan keahliannya dalam meramu tontonan horor yang ekstrem sekaligus disturbing. Sineas asal Prancis ini sebelumnya berhasil mengejutkan penonton dengan adegan gore yang brutal lewat Revenge (2017). Dalam The Substance, Fargeat melipatgandakan kegilaan tersebut dengan deretan momen body horror yang mengerikan.
Coba tengok bagaimana ia mengemas momen ketika Elizabeth “menciptakan” Sue (Margaret Qualley) menggunakan zat misterius tersebut. Punggung terbelah hingga bola-bola mata yang bertumpukan dalam satu rongga menjadi pemandangan yang akan kamu temukan di sini. Tak hanya itu, dalam sebuah adegan menjelang ending, Fargeat menghadirkan makhluk gabungan keduanya dalam bentuk yang sangat tak lazim.
Bagi penggemar Junji Ito, tentu adegan-adegan ini adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Siapa yang bisa melupakan proses transformasi manusia menjadi siput dalam Uzumaki? Atau dalam Ribs Woman, ketika seorang wanita gemar mencuri dan menempelkan tulang rusuk orang lain ke badannya sendiri secara barbar?
3. Punya worldbuilding dan visual yang out-of-this-world

Bagi mangaka dan sutradara film, worldbuilding adalah elemen yang sangat penting. Pembangunan dunia yang jelas, baik itu berupa latar maupun peraturan di dalamnya, dapat membantu pembaca atau penonton memahami konteks cerita. Begitu pula dengan visual. Tanpa visual yang memukau, orang akan kesulitan merasakan atmosfer yang ingin disampaikan.
The Substance maupun karya-karya Junji Ito sama-sama menawarkan worldbuilding dan visual yang unik. Dunia yang diciptakan Ito bak keluar dari mimpi buruk, di mana makhluk laut raksasa yang terdampar di pantai (The Thing that Drifted Ashore) dan kota yang penduduknya berubah menjadi batu nisan (Street of Gravestones) terlihat “normal”. Secara visual, karya-karya Ito pun penuh dengan detail yang menjijikkan.
Dalam The Substance, Coralie Fargeat menggunakan visual warna merah dan kuning yang dominan untuk menggambarkan transformasi emosional dan fisik dari Elizabeth. Selain itu, sang sineas juga menciptakan sederet rules yang membuat cerita tetap konsisten. Misalnya, ketika penyuplai zat memperingatkan sang protagonis untuk mengganti tubuhnya setiap 7 hari jika tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
4. Penuh komentar sosial yang tajam dan menggelitik

Selain tema tentang obsesi beracun, worldbuilding, dan elemen body horror yang mengerikan, hal lain yang membuat The Substance sejalan dengan karya-karya Junji Ito adalah kritik sosialnya yang tajam. Keseluruhan cerita The Substance memang berkutat pada ketidakpuasan Elizabeth terhadap penampilan fisik. Namun, di balik itu, terdapat faktor-faktor eksternal yang memengaruhi, salah satunya adalah tekanan sosial.
Lewat naskahnya, Coralie Fargeat tak segan menelanjangi fakta bahwa para pelaku industri hiburan—di sini kebanyakan digambarkan sebagai pria—melihat wanita hanya sebagai objek alih-alih individu. Pandangan merendahkan ini menciptakan keraguan dalam diri Elizabeth, sehingga ia terus-menerus merasa buruk. Menariknya, di beberapa kesempatan, Fargeat mengemas kritik ini dengan sentuhan komedi hitam yang menggelitik.
Secara spesifik, kritik terhadap objektifikasi wanita juga pernah diangkat oleh Junji Ito dalam salah satu ceritanya yang berjudul Worshipping Beauty. Di sini, seorang pria memuja kecantikan kekasihnya secara berlebihan. Namun, di balik kata-katanya yang terdengar manis, ia memiliki maksud tersembunyi yang berkaitan dengan pemujaan iblis.
5. Efek psikologis yang ditimbulkan keduanya tak main-main!

Dampak yang dihasilkan sebuah karya bagi para penikmatnya memang tergantung pada banyak faktor. Ada yang dibuat sebagai hiburan ringan dan gampang dilupakan, sementara karya-karya tertentu sukses meninggalkan kesan mendalam. The Substance, layaknya karya-karya Junji Ito yang telah diakui selama beberapa dekade, termasuk yang kedua.
Lewat eksplorasinya yang berani tentang obsesi manusia terhadap kemudaan dan kecantikan, film ini dijamin akan membuatmu terngiang-ngiang, bahkan berhari-hari setelah menontonnya—sesuatu yang juga bakal kamu alami jika membaca karya-karya Ito. Hal ini juga diperkuat dengan ulasan para pengguna Letterboxd yang telah menontonnya.
“I feel trauma bonded with everyone in that cinema today”, tulis pengguna bernama @aaron. Sementara pengguna bernama @suspirliam, mengaku menonton The Substance adalah pengalaman sinematik yang tak terlupakan. “The cinema going experience of a lifetime, utterly unforgettable stuff”, tulisnya dengan memberikan 5 bintang untuk The Substance di kolom rating.
Meski memiliki banyak persamaan, The Substance dan karya-karya Junji Ito tetap memiliki keunikan masing-masing yang membuatnya menarik untuk dinikmati. Jadi, jika kamu penggemar horor psikologis dan body horror ala Junji Ito, jangan lewatkan kesempatan untuk menonton The Substance di bioskop terdekat!