Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fakta Body Horror, Umbar Teror Lewat Distorsi Fisik Manusia

cuplikan film Possesor (dok. Rhombus Media/Possesor)
cuplikan film Possesor (dok. Rhombus Media/Possesor)

Seluruh perhatian penggemar film horor kini tertuju pada The Substance (2024). Coralie Fargeat selaku penulis selaku sutradara dielu-elukan berkat kejeniusannya mengeksplorasi isu misogini atau diskriminasi terhadap perempuan dan ageisme atau diskriminasi terhadap usia seseorang dalam konsep body horror yang menyegarkan. 

Memenangkan Best Screenplay di Cannes Film Festival 2024, The Substance otomatis masuk dalam daftar film terbaik tahun ini. Saking viralnya, film yang dibintangi oleh Demi Moore dan Margaret Qualley tersebut ikut menaikkan popularitas body horror.

Body horror sendiri merupakan salah satu subgenre horor. Uniknya, penggemar berat film horor sekalipun kerap kali kesulitan jika diminta menjelaskan subgenre satu ini. Tidak perlu khawatir, IDN Times siap menjawab rasa penasaran kamu terhadap body horror lewat pembahasan di bawah ini.

1. Apa itu body horror?

cuplikan film Crime of the Future (dok. CBC/Crime of the Future)
cuplikan film Crime of the Future (dok. CBC/Crime of the Future)

Mengutip dari Studiobinder, body horror merupakan subgenre horor yang berfokus pada transformasi atau modifikasi mengerikan yang terjadi pada tubuh manusia. Distorsi tersebut kebanyakan disebabkan oleh sebuah penyakit, virus, parasit, hingga infeksi. Menciptakan sebuah kondisi dimana fisik seseorang berubah menjadi menyeramkan sekaligus menjijikan bagi penontonnya.

Istilah body horror sendiri dicetuskan pertama kali oleh Philip Brophy dalam esainya, The Textuality of the Contemporary Horror Film, yang dimuat dalam Art & Text No.3 pada tahun 1983 silam. Brody menyebutkan jika horor kontemporer tidak memiliki tendensi menggunakan kematian sebagai media untuk menebar teror. Namun cenderung meMmmmmmmmgmjpada tubuh mereka sendiri.

2. Asal-usul body horror

The Hunchback of Notre Dame (dok. Universal Pictures/The Hunchback of Notre Dame)
The Hunchback of Notre Dame (dok. Universal Pictures/The Hunchback of Notre Dame)

Dalam sastra, body horror telah eksis sejak ratusan tahun yang lalu. Sebut saja Frankenstein karya Mary Shelley yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1818. Novel tersebut mengikuti obsesi Victor Frankenstein dalam menciptakan makhluk hidup yang terbuat dari potongan mayat. Atau The Metamorphosis karya Franz Kafka yang terbit pada tahun 1915. Dimana seorang pria bernama Gregor Samsa tiba-tiba berubah menjadi serangga raksasa.

Body horror sendiri memasuki industri perfilman pada tahun 1930-an. Kala itu, Universal Studios gencar menggarap puluhan judul film horor yang terinspirasi dari monster legendaris. Sebut saja The Hunchback of Notre Dame (1923), The Phantom of the Opera (1925), Dracula (1931), dan masih banyak lagi. Populer dengan sebutan Universal Monsters, sayangnya film-film tersebut kurang tampil maksimal mengingat ketatnya Hays Code yang mencekal segala bentuk konten yang dianggap tak senonoh dan kontroversial.

Baru setelah pedoman sensor film tersebut resmi dihapus pada tahun 1968, subgenre body horror mulai menunjukkan taringnya. Berkat dedikasi serta komitmen sutradara David Cronenberg, body horror menemukan popularitasnya di penghujung tahun 1970-an. Sejumah film ikoniknya seperti The Fly (1986), Videodrome (1983), hingga Dead Ringers (1988) saat ini masih menjadi kiblat bagi para pegiat film horor. Saking ikoniknya, namanya digunakan sebagai sebuah istilah dalam industri perfilman. Cronenbergian kerap kali digunakan untuk menggambarkan sebuah film yang memuat konsep body horror, science fiction, dan psychological thriller.

3. Karakteristik body horror

The Fly (dok. Brooksfilms/The Fly)
The Fly (dok. Brooksfilms/The Fly)

Menjadikan distorsi tubuh manusia di luar nalar sebagai bintang utamanya, body horror lekat dengan konsep sci-fi dan surealis. Hal tersebut sejalan dengan transformasi mengerikan yang kebanyakan disebabkan oleh penyakit, infeksi, hingga parasit. 

Untuk menciptakan modifikasi yang aneh dan menyeramkan, body horror bergantung pada special effects khususnya practical effects. Hair and makeup department menggunakan kreativitas mereka untuk mewujudkan kegilaan tersebut menggunakan prostetik dan riasan khusus. Mengikuti perkembangan jaman, VFX dan CGI turut digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna. Transformasi yang menyalahi hukum alam tersebut ampuh dalam memancing ketidaknyamanan, menghadirkan teror pada para penontonnya.

4. Eksistensi body horror di era modern

Possessor (dok. Rhombus Media/Possessor)
Possessor (dok. Rhombus Media/Possessor)

Meskipun tidak sepopuler di tahun 1980-an, body horror tetap menjadi subgenre horor yang menonjol dalam sinema kontemporer. Konsepnya yang unik mendorong para sineas muda untuk terus bereksperimen dan mengeksplor sejumlah tema yang dianggap tabu.

Untuk di era modern sendiri, body horror gencar digunakan sebagai media untuk menyuarakan kritik sosial seputar penyakit, perkembangan teknologi, dan sifat manusia itu sendiri. Film body horror modern lainnya seperti Raw (2016) dan Possessor (2018) mengkritik seputar standar kecantikan dan kesuksesan yang tidak realistis di masyarakat.

Naik kembali ke permukaan, body horror menjadi sebuah tontonan yang cukup menantang lewat muatan konten yang mengerikan dan di luar akal sehat. Body horror masih dan akan terus memprovokasi para penggemarnya untuk menghadapi ketakutan terdalam manusia akan fisik dan moralitas. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febby Arshani
EditorFebby Arshani
Follow Us