5 Film Pemenang Palme d'Or yang Paling Mengundang Kontroversi

- Festival Film Cannes adalah panggung bagi sineas dari seluruh dunia untuk menampilkan karya terbaik mereka.
- Film pemenang Palme d'Or sering kali kontroversial karena isi, tema, atau proses pembuatannya yang tidak nyaman.
- Beberapa film pemenang Palme d'Or termasuk Titane, Blue Velvet, Taxi Driver, dan Blow-Up.
Setiap tahun, Festival Film Cannes menjadi panggung bagi sineas dari seluruh dunia untuk menampilkan karya terbaik mereka. Penghargaan tertinggi yakni Palme d'Or sering kali menjadi simbol pencapaian artistik tertinggi dalam perfilman. Namun, tidak semua pemenang diterima dengan tepuk tangan meriah.
Beberapa justru menimbulkan kehebohan besar karena isi, tema, atau proses pembuatannya yang kontroversial. Dari adegan yang dianggap terlalu berani, cerita yang menyentuh batas tabu, hingga perlakuan di balik layar yang menuai kritik, film pemenang Palme d'Or ini membuktikan bahwa seni tidak selalu nyaman. Kira-kira film apa saja, ya?
1. Titane (2021)

Titane bercerita tentang seorang perempuan muda yang punya hasrat aneh terhadap mobil dan terlibat dalam serangkaian tindakan kekerasan. Namun di balik elemen ekstrem itu, sutradara Julia Ducournau justru merangkai kisah yang mengejutkan karena berakhir dengan nuansa sentimental dan menyentuh.
Film ini membuat banyak penonton keluar dari bioskop lebih awal dan meninggalkan kesan “apa yang barusan aku tonton?”. Meski menuai kontroversi, Titane berhasil membawa Ducournau meraih Palme d’Or, dan menjadikannya perempuan kedua yang menang sendiri dalam sejarah penghargaan tersebut.
Banyak yang membandingkannya dengan Crash (1996) karya David Cronenberg yang juga membahas tema ekstrem tentang mobil dan tubuh manusia. Meski tidak semua orang bisa menerima film ini, Titane tetap dikenang sebagai salah satu pemenang paling berani dalam sejarah Cannes.
2. Blue is the Warmest Colour (2013)

Film ini awalnya dipuji karena akting kuat Léa Seydoux dan Adèle Exarchopoulos dalam menggambarkan hubungan cinta antara dua perempuan muda. Cannes bahkan memberikan Palme d’Or tidak hanya kepada sutradara Abdellatif Kechiche, tapi juga kepada kedua aktrisnya, sebuah keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ceritanya yang emosional dan intens membuat banyak orang tergerak, meskipun adegan-adegan seksual panjang di dalamnya sempat memicu diskusi. Namun di balik layar, muncul laporan tak sedap. Para kru dan bahkan dua aktris utamanya mengaku mengalami tekanan dan perlakuan yang tidak menyenangkan selama proses syuting.
Beberapa kritikus feminis juga menilai film ini terlalu memanjakan pandangan laki-laki terhadap cinta sesama jenis. Kontroversi makin membesar ketika Kechiche merilis film berikutnya, Mektoub: My Love (2017), yang kembali menuai kritik karena adegan eksplisit dan dugaan pelecehan terhadap pemainnya.
3. Wild at Heart (1990)

David Lynch memang dikenal sebagai pembuat film dengan gaya nyentrik dan cerita penuh simbol aneh. Setelah sukses dengan Blue Velvet (1986), Lynch kembali dengan Wild at Heart, kisah sepasang kekasih yang melarikan diri dari masa lalu mereka. Film ini menggabungkan unsur kekerasan, mimpi, dan referensi budaya pop seperti The Wizard of Oz (1939).
Saat diputar, reaksi terhadap film ini terbelah. Banyak yang merasa film ini terlalu absurd dan terlalu mirip dengan karya Lynch sebelumnya. Kritikus Amerika khususnya menilai film ini hanya meniru gaya khas Lynch tanpa substansi baru. Meski begitu, juri Cannes tetap memberikan penghargaan utama.
4. Taxi Driver (1976)

Kisah tentang Travis Bickle, seorang sopir taksi yang kesepian dan penuh amarah, menjadi cerminan gelap dari New York tahun 70-an. Robert De Niro memberikan performa ikonik, dan kalimat “You talkin’ to me?” jadi legenda dalam dunia perfilman.
Namun pada masanya, Taxi Driver dianggap terlalu brutal dan kontroversial, terutama karena peran Jodie Foster sebagai gadis muda yang terlibat dalam dunia gelap kota. Saat ditayangkan di Cannes, film ini mendapat banyak cemoohan. Penonton merasa tidak nyaman dengan kekerasan dan tema yang diangkat.
Meski demikian, juri tetap mengganjarnya dengan Palme d’Or. Bahkan di Amerika, film ini harus melalui penyuntingan warna untuk meredam adegan berdarah di akhir agar bisa lolos sensor. Kini, film ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik dalam sejarah perfilman dunia.
5. Blow-Up (1966)

Disajikan dengan gaya khas Eropa yang stylish dan filosofis, Blow-Up mengisahkan seorang fotografer yang tanpa sengaja merekam sesuatu yang tampaknya seperti pembunuhan. Berlatar di tengah budaya ‘Swinging London’, film ini memadukan misteri, musik, dan komentar sosial secara elegan.
Namun, apa yang membuat film ini paling heboh adalah keberaniannya menampilkan konten yang saat itu dianggap tabu, terutama di Amerika Serikat. Cannes menyambut film ini dengan hangat, tapi di AS, Blow-Up jadi momok bagi sistem sensor film Hollywood yang sudah berlaku sejak 1930-an.
Karena adegan nudity yang tidak bisa disensor sesuai aturan lama, MGM akhirnya merilis film ini lewat anak perusahaan untuk menghindari larangan. Keputusan ini mengguncang industri dan ikut mempercepat runtuhnya Kode Hays, sistem sensor ketat yang mengatur isi film selama puluhan tahun.
Film pemenang Palme d'Or ini mungkin tak selalu menyenangkan semua pihak, tapi mereka berhasil meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah sinema. Di balik kehebohan, ada karya-karya yang mengubah cara kita melihat film dan itu mungkin pencapaian terbesar dari semuanya. Nah, kamu sendiri sudah nonton yang mana saja?