Kisah Aktor Tio Pakusadewo yang Dipenjarakan oleh Narkoba dalam BUI

- Tio Pakusadewo terjerat hukum dua kali karena narkoba, menyebabkan proses hukum yang rumit dan sulit.
- Buku "BUI" merupakan semi biografi Tio Pakusadewo yang menggambarkan pengalaman kecanduannya dan proses hukumnya.
- Paku mendapat dukungan dari sahabat, anak-anaknya, dan bahkan harus dijebloskan ke penjara bawah tanah karena ingin membongkar peredaran narkoba di dalam penjara.
Sebanyak dua kali, aktor senior, Tio Pakusadewo harus berurusan dengan hukum karena terjerat narkoba. Pertama di tahun 2018, ia dituntut dengan pasal yang salah dan melalui proses hukum yang sangat rumit. Kedua di 2020, saat dunia dirundung oleh pandemi COVID 19. Alasannya menggunakan narkoba karena untuk menahan sakitnya karena cedera di kaki dan juga melancarkan pekerjaannya sebagai pelukis. Paku bekerja dan dibayar untuk melukis juga menjadi fakta baru, selain pekerjannya sebagai pemain film dan juga bakatnya di musik. Semua itu dikisahkan dalam novel yang ditulis oleh Alan TH berjudul "BUI".
"BUI" tidak hanya sekedar novel yang menceritakan penggalan kisah yang kelam, tapi buku ini juga bisa disebut sebagai semi biografi Tio Pakusadewo. Alan berhasil menghidupkan tokoh Paku dengan begitu detil ia menuliskan dan menggambarkan betapa sulitnya aktor senior itu menghadapi hukum sekaligus kecanduannya terhadap narkoba. Pembaca seperti diajak terbawa dalam pikiran seorang pecandu yang sedang sakau. "BUI" juga menceritakan bagaimana Paku yang seharusnya bisa lepas dari narkoba, namun penjara menambah kecanduan terhadap narkoba. Lalu, bagaimana Paku bisa menghadapi itu semua? Berikut sebagian fakta-faktanya!
1. Paku dijebak oleh dalang besar

Saat penangkapannya di tahun 2018, Paku menganggap ada dalang besar di balik semuanya. Oleh karena itu, ia harus menghadapi proses hukum yang seharusnya mudah, namun ia dituntut oleh pasal yang salah. Jaksa menuntut pemain film "Surat dari Praha" itu dengan Pasal 112 ayat 1 UU Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 dan juga 127 yang seharusnya dikenakan kepada para pengedar. Namun aktor senior dengan lebih dari 70 film ini mengaku tidak pernah sama sekali mengambil keuntungan dari barang yang dimilikinya dan hanya digunakan untuk pribadinya sendiri.
"BUI" mengisahkan seorang Paku yang mencandu narkoba selama puluhan tahun. Namun, penangkapannya di 2018 dirasa sebagai jebakan karena seorang perempuan berinisial "Vie" memaksanya untuk bertransaksi meskipun ia sudah menolaknya beberapa kali. Pada malam transaksi yang dipaksakan oleh "Vie" itu, setelahnya Paku didatangi oleh segerombol orang yang mengaku polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Oleh karena itu, buku ini menceritakan tokoh Paku yang dijebak karena hingga aktor senior itu bebas, tokoh "Vie" belum juga tertangkap.
Pada penangkapannya yang kedua di April 2020, Paku ditangkap karena kepemilikan Ganja. Namun, Ganja itu bukan dimilikinya dari hasil transaksi tapi dari seorang petinggi negeri berinisial Y-O yang memaksanya untuk datang ke rumahnya dan menghisap ganja bersama-sama. Sayangnya saat Paku pamit untuk pulang, ia diminta oleh Y-O untuk membawa barang tersebut dan sesampai di rumahnya, segerombol polisi mendatanginya dan kembali memenjarakan Paku.
2. Paku selalu di-support oleh teman dan keluarga

Dalam masa kesulitan itu, beruntungnya ia tidak menghadapinya sendiri. Banyak sekali sahabat yang mendukungnya, salah satunya adalah sutradara ternama, Angga D. Sasongko yang dituliskan sebagai tokoh Ang. Ia hadir memberikan bantuan dukungan seorang pengacara, dimana pengacara yang diberikan oleh kepolisian tidak cukup membantu Paku dalam semua proses hukum.
Paku juga mengisahkan kawan aktornya, Ria Irawan yang memberikan dukungan moral di saat Ria juga menghadapi penderitaan penyakit kanker yang menjangkit tubuhnya. Ada begitu banyak nama-nama aktor yang hadir langsung di hadapan Paku memberikan dukungan moral, seperti Chicco Jerikho, Wulan Guritno, Jajang C. Noer, Ray Sahetapy hingga Baim Wong.
Tidak hanya itu, dipenjarakan oleh narkoba juga mempererat hubungan Paku dengan 3 anaknya. Salah satunya adalah Kautsar, anak sulungnya yang juga berkarya di dunia akting. Kautsar selalu hadir di semua fase kehidupan kelamnya ini. Begitu juga dengan Trish yang selalu hadir mendukung sang ayah saat menjalani persidangan. Bahkan, anak ketiganya, yaitu Ann yang tidak pernah hadir sebelumnya. Namun, ia hadir di hari kebebasannya pada 2019.
Kisah kekelaman ini bertambah pedih ketika Paku harus kehilangan sang ibu saat ia masih dipenjara. Pihak berwajib sempat mengizinkannya untuk menengok sang ibu, tapi tidak mengizinkannya menginap dan menjaga sang ibu di masa-masa kritis hingga menutup mata selama-lamanya. Kisah ini pun menjadi perih ketika Paku tidak bisa hadir di masa-masa itu karena kenakalannya sendiri.
3. Penjara menambah kecanduan Paku terhadap narkoba

Dalam proses hukum yang rumit di 2018, Paku harus berkali-kali dipindahkan dari penjara ke tempat rehabilitasi, lalu ke lapas, dan terakhir kembali ke RSKO. Hal ini disebabkan karena pasal yang digunakan untuk menjeratnya sebagai pengedar bukan penyalahguna. Saat fase di penjara ini membuat Paku yang seharusnya bisa sembuh dan jauh dari narkoba, namun ternyata perederan narkoba di penjara lebih parah dibandingkan saat ia masih menjadi manusia bebas.
"BUI" mengibaratkan bisnis narkoba dalam penjara seperti lumbung padi. Pihak berwajib menangkap baik para penyalahguna maupun pengedar narkoba lalu memasukan ke penjara, tapi juga demand narkoba di dalamnya lebih besar daripada di dunia luar. Bahkan Alan TH menuliskan kisah Paku yang bertemu dengan sekawanan orang dan akhirnya mereka bebas mengonsumsi narkoba dengan harga yang lebih mahal. Tentunya, hal itu bisa dilakukan atas kerja sama yang baik dengan pihak berwajib di penjara dengan adanya "koordinasi" alias uang yang jumlahnya sangat besar.
Perlu diketahui, setelah dari Rutan Polda Metro jaya dan RSKO, Paku harus dijebloskan ke Penjara Kelas 1, Jakarta Timur yang dianggapnya sebagai pasar narkoba. Bahkan, "BUI" mengisahkan aktor senior ini harus masuk penjara bawah tanah atau penjara isolasi karena perbuatannya yang ingin membongkar peredaran narkoba di penjara.
4. Peradaban narkoba lebih tua

Pada masa awal-awal di Rutan PMJ, Paku sempat ditemui oleh seorang perempuan yang bernama Sinai. Belakangan diketahui Sinai adalah seorang peneliti yang bekerja untuk UNODC, lembaga PBB yang mengerjakan urusan narkoba dan kejahatan. Sinai berniat meneliti apa yang terjadi dalam kerumitan penangkapan Paku karena penyalahgunaan narkoba. Perempuan ini juga yang menjadi teman diskusinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan narkoba di seluruh dunia.
Sinai juga memberikan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan peradaban narkoba. Berdasarkan buku-buku itu diketahui peradaban narkoba tertua adalah ketika 1499, Amerigo Vespuci melihat penduduk asli di Venezuela sedang mengunyah Coca. Pada peradaban modern, Coca menjadi bahan utama yang selanjutnya diolah menjadi Kokain. Bahkan, "BUI" juga mengisahkan sejak tahun 500 sebelum masehi manusia sudah mengonsumi opium yang pada masa modern diolah menjadi heroin.
5. Narkoba menyebabkan perang abadi

Narkoba dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi juga menyebabkan perang abadi dan sengit di 3 wilayah dunia. Salah satunya adalah di asia tengah tepatnya di Afganistan yang menjadi tempat tumbuh suburnya bungga poppy atau opium. Lalu, Ganja yang tumbuh subur di wilayah segitiga emas, yaitu Laos, Myanmar dan Thailand. Seperti diketahui hingga kini wilayah Myanmar masih diselimuti perang saudara dan pemerintahannya masih dikuasai oleh junta militer. Terakhir adalah Coca atau kokain yang tumbuh subur di Amerika Selatan, yaitu Meksiko dan Kolombia. Bahkan di negara-negara Amerika Selatan, tumbuh subur gembong-gembong besar pengedar narkoba yang berperang dengan pemerintahan setempat.
6. Narkoba bisa menjadi penyembuh

Begitu banyak jurnal yang menyebutkan narkoba sebenarnya bisa menjadi obat dan penyelamat manusia dari penyakitnya. Salah satunya adalah ekstasi di dalam "BUI" dituliskan, bisa menjadi obat untuk pengidap PTSD.
Tentunya dengan faktor sejarah dan pengobatan tersebut, Paku berpikir seharusnya narkoba bisa beriringan dengan peradaban manusia modern, bukan untuk diperangi. Alan TH dalam "BUI" menuliskan naskoba seharusnya bisa lebih banyak diteliti manfaatnya sebagai pengobatan, bukan diberantas. Terlebih nilai ekonomisnya yang tinggi bisa menjadi pemasukan yang besar untuk sebuah negara.
Namun, pemikiran-pemikiran dalam "BUI" rasanya tidak perlu disetujui dan diamini. Tapi, cukup bisa menjadi bacaan dan pemahaman untuk para pembacanya.
Menurut kalian gimana? Apakah kalian setuju dengan apa yang ada dalam novel "BUI"?