Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Rekomendasi Film Sosialis Feminis Garapan Lucrecia Martel

The Headless Woman
The Headless Woman (dok. Strand Releasing/The Headless Woman)
Intinya sih...
  • The Headless Woman (2008): Film terbaik Lucrecia Martel dengan perspektif perempuan kelas atas yang dihantui rasa bersalah dan penasaran.
  • The Swamp (2001): Film perdana Martel yang memotret divisi kelas lewat dinamika relasi tiga perempuan dari kelas sosial ekonomi berbeda.
  • The Holy Girl (2004): Film feminis yang menggambarkan pergolakan batin seorang remaja perempuan dalam melawan patriarki dan kapitalisme.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Butuh sesuatu yang bisa bikin kamu jatuh cinta sama film? Mungkin film-film garapan sutradara Lucrecia Martel ini bisa jadi jawabannya. Berasal dari Argentina, Martel dikenal dengan kekhasannya dalam berkarya, yakni penyertaan irisan isu antara kapitalisme dan perempuan. Film-filmnya selalu menyenggol perihal divisi kelas dari perspektif perempuan.

Ia juga sering menggunakan Salta, kampung halamannya sebagai latar film. Sebuah keputusan yang sangat spesifik. Jadi, gak heran kalau karyanya pun terasa autentik karena menggunakan perspektifnya sebagai warlok. Penasaran? Coba tonton empat film fitur berikut!

1. The Headless Woman (2008)

The Headless Woman
The Headless Woman (dok. Strand Releasing/The Headless Woman)

The Headless Woman adalah film terbaik Lucrecia Martel yang diamini banyak kritikus. Film ini mengikuti perspektif Vero (María Onetto), perempuan kelas atas yang sedang berkendara. Di tengah perjalanan, ia merasa menghantam sesuatu, tetapi memilih untuk melanjutkan perjalanan. Namun, selama itu pula, ia dihantui rasa bersalah dan penasaran yang tiada habis.

Masalahnya, seberapa lama rasa bersalah itu bakal menghantuinya? Mengapa pula ia menolak untuk berhenti dan mengecek? Adakah hubungannya dengan kenyamanan hidup yang selama ini menyelimutinya?

2. The Swamp (2001)

The Swamp
The Swamp (dok. Criterion/The Swamp)

The Swamp atau La Cienaga adalah film fitur perdana Lucrecia Martel yang tak kalah provokatif. Ia memotret divisi kelas lewat dinamika relasi tiga perempuan dari kelas sosial ekonomi berbeda. Perempuan pertama adalah Mecha (Graciela Borges), seorang ibu dari kaum borjuis. Disusul Tali (Mercedes Moran), sepupu Mecha yang berstatus kelas menengah, dan asisten rumah tangga Mecha yang bernama Isabel (Andrea Lopez).

Saat Mecha berlibur ke Salta bersama keluarganya, sebuah insiden terjadi dan membuat hubungan ketiganya berubah selamanya. The Swamp tayang perdana di Berlin International Film Festival dan banjir pujian. Seperti biasa, kritik sosial Martel tidak pernah gagal.

3. The Holy Girl (2004)

The Holy Girl
The Holy Girl (dok. Fine Line Features/The Holy Girl)

Tiga tahun sejak debut, Lucrecia Martel kembali lewat The Holy Girl. Tidak gamblang menyenggol sosialisme, Martel membuat film ini dengan napas feminisme dan semangat melawan patriarki. Meski tetap bisa kamu lihat caranya memotret Salta yang ekonominya stagnan sebagai bentuk protes terhadap kapitalisme.

Lakon filmnya adalah Amalia (Maria Alche), remaja perempuan yang tinggal bersama ibu dan pamannya di hotel yang mereka jalankan sebagai bisnis keluarga. Amalia harus menghadapi pergolakan batin hebat saat seorang dokter kenalan keluarganya melakukan tindakan asusila terhadapnya. Bukannya melaporkan masalah ini kepada orang dewasa yang ia percaya, Amalia nekat mengambil tindakan sendiri. Ia terobsesi membuat si dokter tobat dengan cara yang tak biasa.

4. Zama (2017)

Zama
Zama (dok. Films at Lincoln Center/Zama)

Diambil dari nama tokoh fiktif Diego de Zama, Zama adalah film yang mengkritik kolonialisme lewat teropong alternatif. Bukannya lewat korban, Lucrecia Martel meneropong praktik problematik ini lewat seorang pegawai administratif Kerajaan Spanyol di sebuah wilayah yang kini masuk teritori Paraguay. Zama yang berstatus Americano, keturunan Eropa yang lahir di Amerika Latin, punya posisi yang unik. Tidak seutuhnya menguntungkan, tetapi tetap punya privilese.

Ia mengeklaim superior dibanding orang pribumi, tetapi dianggap rendah oleh orang-orang Eropa “asli”. Ia percaya status itu pula yang membuatnya ditempatkan di wilayah yang tak signifikan, terpencil, dan terluar. Namun, di satu sisi, ia juga ogah berintegrasi dengan warga lokal dan menganggap mereka inferior. Meski pakai perspektif pria, Martel tak lupa menyelipkan isu perempuan lewat beberapa sosok yang berkontak dengan arogansi Zama.

Lucrecia Martel adalah salah satu sutradara dengan kecerdasan yang perlu diapresiasi. Caranya membuat cerita dengan kepelikan tinggi tanpa bikin penontonnya bosan adalah sebuah aset. Loyalitasnya terhadap nilai-nilai feminis dan sosialis juga membuat filmnya beda dan terasa istimewa. Menonton keempat film fiturnya bakal membawamu mengicip pengalaman baru. Coba, deh!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us