Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[REVIEW] Here, Dilema Perantau yang Akhirnya Menemukan Belahan Hatinya

Here (dok. 10.80 Films/Here)
Here (dok. 10.80 Films/Here)

Meski populer, tak banyak film romantis yang bisa meraih skor tinggi dari audiens. Ada beberapa faktor penyebab, salah satunya kejenuhan pasar terhadap plot-plot yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Beberapa tahun ke belakang, pasar film romantis memang naik. Cara ini memang dipakai sejumlah perusahaan streaming platform untuk menarik pengguna baru. Namun, tetap saja rasanya masih kurang gereget dibanding film romantis lawas yang dapat gelar ikonik.

Sebagai alternatif, film romantis dari sineas independen justru menemukan target pasarnya. Ini ditandai dengan kesuksesan Lost in Translation (2004), Her (2013), dan Past Lives (2023) yang punya komunitas pemujanya sendiri. Menariknya, ketiga film itu juga membuka kotak pandora dalam selera audiens, yakni film-film lambat yang jauh dari elemen ambisi dan ego ala film Hollywood. Paterson (2015) dan Perfect Days (2023) beberapa contohnya.

Lantas, bagaimana kalau format film lempeng seperti itu dipadu dengan romansa? Hasilnya mungkin seperti Here (2023), sebuah film berlatar Brussels yang patut masuk daftar tontonmu. Sebagus apa, sih? Apa fakta menarik di baliknya? Mari, simak ulasannya berikut. 

 

1. Tipe film mundane yang berkutat pada aktivitas sehari-hari

Here (dok. 10.80 Films/Here)
Here (dok. 10.80 Films/Here)

Seperti Perfect Days, film Here karya Bas Devos berkutat pada kegiatan sehari-hari. Awalnya tak jelas siapa lakonnya. Kita justru diajak mengikuti obrolan dan keseharian beberapa pekerja konstruksi di Brussels, Belgia. Dari perbincangan mereka, fakta kalau mereka adalah perantau asal Rumania tersingkap. Setelah film berjalan sekitar 8 menit, barulah kamera fokus pada satu pria muda yang sedari tadi lebih sering jadi pendengar. 

Kegiatannya yang amat biasa pun berkelindan dengan mulusnya. Kita bisa menyaksikan aktivitasnya mulai dari bangun tidur, melamun, mengobok-obok isi kulkas, sampai berbagi sup yang baru saja ia buat dengan rekannya sambil membicarakan rencananya untuk pulang kampung dalam waktu lama. Persis seperti Perfect Days, film ini mengajak kita melihat keseharian seorang petugas kebersihan toilet umum di Tokyo. Kamera kemudian beralih pada sosok lain, perempuan yang sedang sibuk di depan komputernya dan tiba-tiba dapat panggilan dari kerabatnya. 

2. Sederhana, tetapi tak lupa angkat isu global, seperti ketimpangan ekonomi dan migrasi

Here (dok. 10.80 Films/Here)
Here (dok. 10.80 Films/Here)

Pada satu momen, kedua orang yang kehidupannya terpisah dan berbeda 180 derajat itu dipertemukan. Klise? Boleh jadi, tetapi ini bukan tipe film yang sesederhana itu meramu kisah cinta. Bas Devos pernah membuat film berlatar Brussels lain berjudul Ghost Tropic (2019) yang juga mengikuti perjalanan seorang perempuan berlatar belakang imigran pulang dari tempat kerjanya pada malam hari. Lewat latar sederhana itu, ia berhasil menjelajahi isu-isu menarik, seperti keberagaman dan trust issues. 

Dalam Here, ia melakukan hal serupa. Lewat dua protagonisnya, ia sebenarnya sedang membicarakan isu-isu berat, seperti ketimpangan ekonomi global yang mendorong orang Eropa Timur jadi pekerja migran di Eropa Barat sampai dilema para perantau. Dalam beberapa sekuens, terlihat bahwa protagonis kita sama-sama sedang mempertanyakan eksistensi masing-masing dengan cara dan perspektif yang berbeda. Namun, jelas bahwa keduanya sama-sama merasa tak punya tempat yang benar-benar bisa mereka sebut rumah setelah bertahun-tahun berstatus imigran. 

3. Hidden gem yang bisa jadi pelarian dari huru-hara kehidupan

Here (dok. 10.80 Films/Here)
Here (dok. 10.80 Films/Here)

Pertemuan pertama dua protagonis itu bukan yang terakhir. Pada kesempatan lain, Devos menghibur kita dengan interaksi manis kedua. Pada momen ini, kita dibikin makin sadar akan kekuatan film ini. Seperti Perfect Days, kamera berjalan lambat mengikuti langkah para tokoh yang juga tak terburu-buru. Dialog mereka pun dibuat seperti diskusi santai, tetapi kadang bikin kita ikut berpikir dan bertanya. 

Here layak dimasukkan kategori slow romance yang memang menjadikan lambat sebagai kekuatannya alias daya tariknya. Penonton yang butuh ketenangan dan pelarian dari huru-hara kehidupan tampaknya bakal menikmati film ini. Devos juga tidak menutupnya dengan akhir yang definitif, apalagi klise. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan kedua mereka. Seolah-olah, kamu dibebaskan untuk menambahkan opini dan imajinasimu dalam naskah film. 

Dibanding Ghost Tropic, film ini lebih mudah diikuti dan bisa memikat lebih banyak mata karena elemen romansanya. Kelemahannya, film ini mungkin tidak untuk orang yang punya kesabaran setipis tisu. Namun, kalau kamu menikmati Perfect Days dan Paterson, harusnya laju lambat bukan masalah. Apalagi, durasi Here hanya 84 menit, yang relatif ideal untuk sebuah film dengan natur seperti ini. Ditambah sinematografi garapan Grimm Vandekerckhove yang memanjakan mata, rasanya nonton berkali-kali pun gak bakal bosan. Skor 4/5 layak Bas Devos dapat untuk karyanya yang satu ini. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us