[REVIEW] There's Still Tomorrow, Jurang Antara Ibu dan Mimpinya

Ada satu film yang sempat menghebohkan Italia pada awal 2024. Judulnya There's Still Tomorrow, yang kini sudah bisa ditonton di beberapa layanan streaming. Film ini jadi sensasi karena pesan feminisnya eksplisit, tetapi berhasil dikemas senatural mungkin.
There's Still Tomorrow berkutat pada sosok perempuan paruh baya bernama Delia (Paola Cortellesi) yang terjebak dalam pernikahan toksik dengan suaminya yang hobi melakukan kekerasan domestik. Sepanjang film, kita akan disuguhi pergolakan batin dan perjuangannya bertahan hidup di tengah disharmoni itu.
Penasaran? Sebelum nonton, kamu boleh baca dulu review film There's Still Tomorrow berikut ini. Siapa tahu langsung pengin segera menontonnya!
1. Berlatar Italia 1940-an yang dihantui trauma pascaperang dan kemiskinan

Setelah kalah di Perang Dunia II, Italia mengalami masa-masa berat. Itu yang kemudian menjelaskan munculnya film-film neorealis dengan ending getir macam Shoeshine (1946) Bicycle Thieves (1948), Miracle in Milan (1951), dan The Roof (1956).
Terinspirasi masa-masa sulit itu, Paola Cortellesi selaku sutradara membuat film serupa pada 2023. Bedanya, ia menitikberatkan perjuangan perempuan yang terlalu rawan dilupakan.
Cortellesi memerankan sendiri protagonis utama filmnya, Delia, ibu tiga anak yang harus hidup bersama suami yang gemar melakukan KDRT. Tak hanya harus melayani suami dan anak-anaknya, Delia juga diberi beban merawat ayah mertuanya yang hanya bisa berbaring di tempat tidur sambil memaki dunia dan nasibnya.
Menggunakan trauma pascaperang dan kemiskinan sebagai alasan untuk pendekatan kekerasannya, kesalahan setitik bakal jadi malapetaka untuk Delia. Tak jarang, kejadian itu disaksikan sendiri oleh ketiga anaknya.
2. Sebuah diskursus soal ibu dan mimpi-mimpi mereka yang terkubur

Di sinilah sosok Marcella (Romana Maggiora Vergano), si sulung dan satu-satunya anak perempuan di keluarga itu mulai diperkenalkan perannya. Sebagai sesama perempuan, kita bisa melihat ibu dan anak itu saling memproyeksikan nasib masing-masing. Delia jelas tak ingin memutus rantai ini dengan tak membiarkan Marcella bernasib sama dengannya. Sementara, Marcella muak dengan sikap submisif ibunya.
Namun, Delia adalah gambaran kebanyakan ibu yang akan mengorbankan apapun untuk anak-anaknya, termasuk mimpi dan egonya sendiri. Sebuah tradisi dan ajaran yang jarang diarahkan pada anak laki-laki dan akhirnya membentuk kecenderungan egois dan cuek seorang ayah dibanding ibu.
Alih-alih bicara mimpi, ambisi, dan hobi, Delia bahkan tak punya waktu untuk memikirkan apa yang benar-benar ia inginkan. Hidupnya dipenuhi tugas untuk memprioritaskan orang lain di atas dirinya sendiri. Salah satu sekuen terpahit adalah saat pacar Marcella datang untuk melamar bersama keluarga intinya. Delia bahkan hampir tak bisa duduk sepanjang sesi makan siang itu, karena harus melayani tamu dan keluarganya.
3. Sekuens akhir yang penuh ambiguitas, tetapi bermakna dalam

Namun, seiring berjalannya waktu ditambah gertakan dari Marcella, Delia mulai melakukan pemberontakan-pemberontakan kecil. Mulai dari diam-diam melakukan hal tanpa sepengetahuan suaminya sampai pada akhirnya menentukan nasibnya sendiri pada akhir film. Sekuens ini sempat bikin penonton bertanya-tanya, apakah akhirnya Delia benar-benar lepas dari cengkeraman suaminya?
Menariknya, Paola Cortellesi tidak memilih perubahan nasib dramatis untuk Delia. Ia membiarkan karakternya itu berkembang dengan pelan, tapi pasti. Dimulai dengan sebuah perubahan kecil yang harapannya akan membawanya merengkuh nasib yang lebih baik. Untuk beberapa orang ini mungkin terasa kurang menggertak. Namun, untuk orang-orang yang mengalami nasib serupa Delia, ini bisa jadi sebuah langkah yang berdampak besar.
Perlu jadi perhatian, orang-orang yang terjebak dalam kekerasan domestik punya risiko besar jadi korban femisida bila langsung melawan. Kesadaran ini yang kerap kita lupakan dan mengarah pada victim blaming —menganggap korban dengan sadar memang tak ingin keluar atau bahkan nyaman berada dalam hubungan toksik tersebut. Untuk kejeliannya itu, Paola Cortellesi layak dapat apresiasi setinggi-tingginya.
Tak banyak komentar untuk desain produksi, scoring, dan sinematografinya. Pada aspek estetika dan penyertaan sentuhan komedi, film ini seperti mesin waktu yang membawamu kembali ke semesta sinematik Vittorio de Sica.
Bedanya, untuk scoring, Cortellesi memilih menambahkan beberapa lagu kontemporer yang kontras dengan latarnya. Secara umum, There's Still Tomorrow memang layak jadi sensasi. Skor 4/5 bolehlah kita berikan untuk film feminis Italia itu.