Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sekuel Film Horor yang Ubah Konsep, tapi Tetap Laris dan Dipuji

adegan dalam film M3GAN 2.0. (dok. Blumhouse Productions/M3GAN 2.0)
Intinya sih...
  • M3GAN 2.0 hadir dengan evolusi konsep yang menarik, lebih mendekati Terminator 2, dengan adegan aksi bombastis dan dialog jenaka yang menyegarkan.
  • Sekuel film horor lainnya seperti Alien: Romulus (2024) dan Army of Darkness juga melakukan perubahan radikal pada konsep orisinal dari waralabanya.
  • Perubahan konsep ini membuktikan bahwa terkadang perubahan yang berani bisa menghasilkan karya cult classic yang dicintai oleh penonton.

Siapa yang bisa melupakan film horor tentang boneka AI ikonis, M3GAN, yang sukses bikin merinding pada 2022 lalu? Setelah penantian cukup panjang, sekuelnya, M3GAN 2.0, siap kembali meramaikan layar lebar pada 27 Juni 2025. Namun, kembalinya M3GAN kali ini bukan hanya sekadar melanjutkan kengerian, tetapi juga menjanjikan sebuah evolusi konsep yang menarik perhatian para penggemar.

Trailer M3GAN 2.0 yang telah dirilis memperlihatkan dengan jelas bahwa film ini tak lagi bermain di ranah horor domestik seperti pendahulunya. Dengan tampilan lebih kuat, cepat, dan bahkan lebih tinggi, M3GAN kini menjelma sebagai antihero yang siap menghadapi ancaman Android baru. Nuansanya pun lebih mendekati Terminator 2, lengkap dengan adegan aksi bombastis dan dialog jenaka yang menyegarkan.

Ternyata, M3GAN 2.0 bukanlah satu-satunya sekuel film horor yang berani melakukan perubahan radikal pada konsep orisinal dari waralabanya. Enam film horor berikut ini juga mengambil langkah serupa, bahkan meraih kesuksesan yang tak kalah gemilang dari film pertamanya. Penasaran? Yuk, kita intip bersama ulasan lengkapnya!

1. Aliens (1986)

adegan dalam film Aliens. (dok. 20th Century Fox/Aliens)

Apa yang paling kamu ingat dari Alien (1979) karya Ridley Scott? Mungkin atmosfer mencekam di dalam kapal Nostromo, ketegangan yang dibangun pelan tapi pasti, atau sosok Xenomorph yang jadi mimpi buruk banyak penonton. Yap, film pertama Alien tersebut berhasil menjadi standar baru dalam film horor fiksi ilmiah, di mana kengerian psikologis dan body horror berpadu apik, sekaligus memperkenalkan sosok pahlawan perempuan ikonis bernama Ellen Ripley (Sigourney Weaver).

Selang 7 tahun kemudian, sekuelnya yang berjudul Aliens hadir dengan pendekatan yang sangat berbeda. James Cameron (Titanic, Avatar), yang duduk di kursi sutradara, mengubah arah cerita dari horor mencekam menjadi aksi spektakuler. Menariknya, perubahan konsep ini terus diadaptasi hingga sekarang, termasuk lewat film terbarunya, Alien: Romulus (2024).

Dalam Aliens, Ripley kembali ke planet tempat kru sebelumnya menemukan telur Xenomorph, kali ini bersama pasukan Colonial Marines yang bersenjata lengkap. Awalnya mereka mengira misi ini hanya penyelamatan biasa, tapi nyatanya mereka harus menghadapi puluhan alien mematikan. Tak hanya menegangkan, film ini juga memadukan emosi lewat hubungan antara Ripley dan seorang anak kecil bernama Newt (Carrie Henn).

2. Army of Darkness (1992)

adegan dalam film Army of Darkness. (dok. Universal Pictures/Army of Darkness)

Army of Darkness, selaku film ketiga trilogi Evil Dead, hadir sebagai anomali unik dalam waralaba karya Sam Raimi tersebut. Jika dua film sebelumnya berfokus pada horor tentang kabin berhantu dan kekuatan jahat dari Necronomicon, Army of Darkness justru membawa sang protagonis, Ash Williams (Bruce Campbell), ke era abad pertengahan. Alih-alih bertahan hidup di hutan, Ash kini harus melawan pasukan Deadite (sebutan untuk mayat hidup dalam seri ini) di kerajaan kuno.

Perubahan tema di Army of Darkness sangat mencolok—dari horor splatter yang brutal menjadi petualangan fantasi komedik ala seri Monty Python. Unsur horor memang masih ada, tapi kini dibalut humor slapstick, dialog nyeleneh, dan aksi heboh yang lebih mendekati film pahlawan. Bahkan, adegan-adegan penuh darah pun terasa ringan karena dikemas dengan efek praktikal dan gaya visual ala kartun.

Keputusan Raimi untuk mengubah haluan genre ini ternyata berbuah manis. Army of Darkness tak hanya berhasil mempertahankan basis penggemar Evil Dead, tetapi juga menarik perhatian penonton baru yang mungkin kurang menyukai horor. Film ini membuktikan bahwa terkadang perubahan konsep yang berani justru bisa menghasilkan karya cult classic yang dicintai.

3. Book of Shadows: Blair Witch 2 (2000)

adegan dalam film Book of Shadows: Blair Witch 2. (dok. Lionsgate/Book of Shadows: Blair Witch 2)

Biasanya, waralaba film horor found footage selalu mempertahankan gaya dokumenter yang mentah dan realistisnya. Sebut saja Paranormal Activity atau V/H/S yang setia pada estetika rekaman amatir yang bikin merinding. Namun, siapa sangka kalau Blair Witch, sebagai franchise yang sering dielu-elukan sebagai “nenek moyang” dari horor found footage, justru pernah banting setir secara drastis lewat film keduanya, Book of Shadows: Blair Witch 2.

Secara tone, film ini jauh lebih mirip dengan horor remaja era 2000-an yang klise ketimbang atmosfer minimalis dan menyeramkan dari film pertamanya, The Blair Witch Project (1999). Film ini berkisah tentang sekelompok penggemar The Blair Witch Project yang pergi ke hutan Black Hills untuk menelusuri lokasi syuting film tersebut. Namun, apa yang awalnya tampak sebagai perjalanan seru berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka mulai kehilangan ingatan dan mengalami kejadian supranatural yang tak bisa dijelaskan.

Perubahan gaya visual, penghilangan format found footage, hingga elemen-elemen khas studio besar membuat film ini menuai pro dan kontra. Hal itu terlihat dari respons para penonton dan kritikus ketika film ini dirilis. Di Rotten Tomatoes, Blair Witch 2 hanya meraih skor 14 persen, sementara ketika bicara box office, film ini terbilang sukses dengan meraup pendapatan tiga kali lipat dari bujetnya, yakni 47,7 juta dolar AS.

4. The Purge: Anarchy (2014)

poster film The Purge: Anarchy. (dok. Blumhouse Productions/The Purge: Anarchy)

Seakan sadar kalau konsep home invasion yang diusung dalam film pertamanya berpotensi membosankan jika terus diulang dalam sekuelnya, The Purge: Anarchy hadir dengan gebrakan yang lebih luas. Film ini tak lagi mengurung karakter dalam satu rumah, melainkan membuka cakrawala narasi ke jalanan kota saat The Purge berlangsung. Hasilnya adalah perubahan konsep besar-besaran yang justru memperkuat fondasi waralaba ini.

Film ini mengikuti sekelompok orang asing yang harus bersatu demi bertahan hidup semalam penuh ketika kejahatan dihalalkan tanpa konsekuensi. Di tengah kekacauan, mereka dibantu oleh seorang pria misterius bernama Leo (Frank Grillo), yang awalnya punya misi pribadi. Sepanjang malam, kelompok ini harus menghadapi geng kriminal, tentara bayaran, hingga pemerintah yang ternyata punya agenda rahasia.

Perubahan arah ini membuat The Purge: Anarchy terasa seperti film aksi-survival dengan nuansa horor yang lebih intens dan dinamis. James DeMonaco, sebagai penulis dan sutradara, berhasil menyajikan tontonan yang tak hanya mendebarkan, tetapi juga relevan secara sosial. Hadirnya isu-isu penting, seperti ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang menjadi latar belakang adanya Purge, menjadi catatan positif tersendiri bagi para kritikus.

5. 10 Cloverfield Lane (2016)

adegan dalam film 10 Cloverfield Lane. (dok. Paramount Pictures/10 Cloverfield Lane)

Tak hanya Book of Shadows: Blair Witch 2, sekuel film horor yang juga melepas embel-embel found footage khas film pertamanya adalah 10 Cloverfield Lane. Film kedua dari waralaba Cloverfield ini mengusung gaya yang berlawanan dari pendahulunya yang penuh kekacauan dan efek visual berskala besar. Sementara Cloverfield (2008) menampilkan serangan monster raksasa di New York lewat kamera handheld, 10 Cloverfield Lane memilih ruang sempit dan nuansa psikologis yang lebih mencekam.

Kisahnya berfokus pada Michelle (Mary Elizabeth Winstead), yang terbangun setelah kecelakaan mobil dan mendapati dirinya terjebak di bunker bawah tanah. Ia tinggal bersama Howard (John Goodman) dan Emmett (John Gallagher Jr.), dua pria misterius yang mengklaim bahwa dunia luar sudah tidak aman karena serangan kimia atau alien. Namun, seiring waktu, Michelle mulai mencurigai bahwa ancaman sebenarnya justru ada di dalam bunker itu sendiri.

Perubahan konsep ini sempat mengejutkan penggemar Cloverfield, karena tak ada koneksi langsung antara dua film tersebut selain semesta yang sama. Namun, banyak yang justru menganggap 10 Cloverfield Lane sebagai peningkatan dari film pertamanya karena ceritanya yang lebih solid dan karakterisasinya yang kuat. Sayangnya, konsep serupa gagal ketika diaplikasikan ke film ketiganya, The Cloverfield Paradox (2018), yang dianggap terlemah dalam serinya.

6. Happy Death Day 2U (2019)

adegan dalam film Happy Death Day 2U. (dok. Blumhouse Productions/Happy Death Day 2U)

Dirilis pada 2017, Happy Death Day sukses menghibur penggemar film horor dengan konsepnya yang unik dan menegangkan. Film ini menggabungkan elemen slasher whodunit ala seri Scream dengan time loop ala film legendaris Groundhog Day (1993). Penonton diajak mengikuti kisah Tree Gelbman (Jessica Rothe), mahasiswi yang terjebak dalam putaran waktu, di mana ia berulang kali dibunuh pada hari ulang tahunnya oleh sosok bertopeng bayi yang misterius.

Namun, sekuelnya yang bertajuk Happy Death Day 2U mengambil arah yang sama sekali bersebrangan. Alih-alih melanjutkan nuansa slasher, film ini justru melompat ke genre fiksi ilmiah dengan sentuhan komedi yang jauh lebih kental. Perubahan ini cukup mencengangkan, tetapi juga memberi warna baru yang segar pada cerita Tree.

Di film kedua, diceritakan bahwa Tree kembali terjebak dalam putaran waktu, tapi dengan situasi yang jauh lebih kompleks: melibatkan dimensi paralel. Kali ini, fokus cerita tak lagi pada identitas pembunuh bertopeng bayi, melainkan pada pilihan emosional Tree terhadap realitas baru yang ia hadapi. Kamu sendiri lebih suka konsep dalam Happy Death Day atau Happy Death Day 2U, nih?

Melihat bagaimana enam sekuel film horor di atas berani melakukan perubahan konsep yang signifikan dan justru menuai kesuksesan, menarik untuk menantikan gebrakan yang akan disuguhkan M3GAN 2.0 nanti. Apakah evolusi dari teror psikologis ke sci-fi action ini akan diterima dengan baik oleh para penggemar dan penonton baru, atau justru akan dianggap menyimpang terlalu jauh dari pakem horor boneka ikonis yang kita kenal? Yuk, share pendapatmu di kolom komentar!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us