Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

3 Bentuk Diskriminasi Para Lajang di Dunia Kerja, Kamu Ngalamin Juga?

Ilustrasi karyawan lajang (pexels.com/cottonbro studio)

Pada dasarnya, diskriminasi adalah perbedaan perlakuan karena latar belakang ataupun status tertentu. Diskriminasi juga sering terjadi di tempat kerja, entah itu diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, suku, ras ataupun agama.

Bentuk diskriminasi yang belum sering dibahas di lingkungan kerja adalah diskriminasi yang kerap dihadapi oleh para karyawan berstatus lajang alias belum menikah. Sebenarnya, bentuk diskriminasi ini acap kali disebabkan karena sikap manipulatif rekan kerja ataupun atasan yang kurang bijak dalam pembagian beban kerja.

Sikap manipulatif ini akhirnya menjadikan status lajang karyawan sebagai alat pembenaran untuk menambah beban kerja para karyawan lajang tanpa mengedepankan nilai keadilan. 

1. Jadi sasaran utama yang harus menambah jam kerja

Ilustrasi karyawan lajang (pexels.com/ Christina Morillo)

Karyawan berstatus lajang sering kali dianggap lebih punya waktu luang dibandingkan dengan karyawan yang sudah menikah. Akibatnya, ini sering dijadikan alasan mutlak ditunjuknya karyawan lajang untuk membereskan beban kerja kantor yang belum terselesaikan.

Tentunya penunjukan ini sering diiringi kalimat-kalimat manipulatif yang tidak bijak, misalnya, "Mbak Mawar aja ya yang mengerjakan tugas tambahan ini, kalau saya kan sudah menikah, apalagi Mbak Melati kan sudah punya anak, jadi kasihan kalau harus over time. Kalau kamu kan belum berkeluarga jadi lebih fleksibel lah kalau harus nambah jam kerja."

Gimana, kamu relevan dengan situasi di atas? Kalau kamu juga pernah mengalaminya, kamu boleh kok speak up ke atasan, tentunya berargumen dengan tenang dan sopan.

Ungkapkan saja jika kamu pun ada urusan setelah jam kerja. Nyatakan juga bahwa bukan status perkawinan yang jadi acuan utama pembagian kerja, tapi sebaiknya juga mempertimbangkan latar belakang keahlian, ranah tanggung jawab dan hak pegawai.

Terlepas dari status perkawinannya, setiap karyawan berhak istirahat cukup!

2. Dianggap gak butuh libur karena belum berkeluarga

Ilustrasi karyawan lajang (pexels.com/ Andrea Piacquadio)

Ketika ada kegiatan tambahan di kantor yang bertepatan dengan hari libur nasional ataupun di akhir pekan, maka tentu saja karyawan lajang sering kali yang dijadikan sasaran untuk mengeksekusi kegiatan tersebut.

Hal ini karena karyawan lajang diberi stigma bahwa dirinya tidak memiliki beban moral ataupun tanggung jawab mengurus keluarga di hari libur. Padahal seorang lajang pun mempunyai kedua orang tua, teman, keponakan ataupun keluarga besar yang juga membutuhkan waktu libur bersama. 

Belum lagi untuk karyawan lajang di perantauan yang hak cutinya untuk pulang kampung sering kali dinomorduakan dibandingkan dengan karyawan yang sudah menikah. Biasanya, sih argumen yang dipakai seperti ini, "Cutimu ditolak ya. Minggu ini kamu stay di kantor dulu karena Bu Melati juga mengajukan cuti. Kasihan, kan Bu Melati udah gak ketemu suaminya dua bulan." Padahal si karyawan lajang pun sudah tidak bertemu orang tua dan sanak saudara selama dua bulan lebih.

Yang perlu kita semua sadari adalah, hak untuk menikmati libur adalah hak setiap pekerja, bukan hanya untuk yang berkeluarga saja.

3. Jadi prioritas 'ban serep' untuk rekan kerja yang sudah berkeluarga

Ilustrasi bekerja (pexels.com/Fox)

Kalau kamu berkerja di lingkungan kantor yang amat toxic dan kebetulan kamu masih belum menikah, maka kamu pasti sering dijadikan 'ban serep' alias sasaran untuk menggantikan pekerjaan rekan kantormu ataupun atasanmu. Ironisnya, sering kali pekerjaan rekan kantormu itu belum terselesaikan dengan alasan karena sedang banyak 'urusan keluarga'.

Tidak apa-apa jika misalkan rekan kantormu yang belum menyelesaikan pekerjaanya dikarenakan izin sesuai dengan aturan perusahaan/instansi untuk urusan keluarga yang memang sudah diatur, misalkana karena harus merawat istri yang sedang hamil, melahirkan, sakit atau sedang berduka cita.

Kacaunya, sering kali urusan keluarga hanya dijadikan tameng untuk menormalisasi keterlambatan datang ke kantor ataupun sebagai penyebab seorang karyawan belum bisa menyelesaikan pekerjaannya.

Karyawan lajang pun sering dipaksa memaklumi atau menormalisasi hal tersebut, "Kamu belum menikah, sih. Kalau sudah menikah pasti kamu paham. Kamu enak bisa fokus bekerja makanya kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu, kalau aku kan pulang kantor udah harus mikirin mau masak apa, PR anak gimana."

Harusnya budaya kantor tidak boleh menormalisasi kurang bertanggungjawabnya karyawan terhadap pekerjaan dengan asalan urusan keluarga. Karena ketika memutuskan untuk berkeluarga sekaligus juga bekerja seharusnya yang bersangkutan sudah harus mawas diri terhadap pilihan tanggung jawab di dua ranah tersebut.

Nah, gimana? Sekarang kamu sudah sadar belum, bahwa diskriminasi berdasarkan status perkawinan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat diterima. Karyawan memiliki hak untuk diperlakukan adil dan setara, terlepas dari status perkawinan mereka. Semoga budaya kantor yang buruk ini tidak lestari dan berhenti di generasi kita, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us