Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Mahasiswa Lebih Sering Lupa Makan daripada Lupa Deadline?

ilustrasi mengerjakan tugas (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Tekanan akademik lebih menyita perhatian daripada rasa laparMahasiswa terjebak dalam tekanan akademik yang besar, membuat rasa lapar tidak dianggap prioritas dan tertutup oleh beban pikiran.
  • Rasa takut akan kegagalan lebih kuat daripada rasa laparKetakutan akan nilai jelek menciptakan urgensi besar, membuat makan jadi terlupakan demi menghindari kegagalan.
  • Budaya produktif berlebihan, membuat makan terasa tidak pentingGaya hidup produktif berlebihan membuat mahasiswa menunda kebutuhan tubuh demi mengejar pencapaian, merusak keseimbangan tubuh dan pikiran.

Mahasiswa sering dikenal sebagai makhluk paling fleksibel sekaligus paling sibuk di kampus. Di balik jadwal padat, tugas numpuk, dan rapat organisasi, ada satu fenomena menarik yang sering terjadi yaitu lupa makan. Aneh tapi nyata, banyak mahasiswa yang bisa tahan lapar berjam-jam, tapi justru ingat betul kapan deadline tugas harus dikumpul. Kalau soal tugas, ingatan bisa sangat tajam, tapi urusan perut kadang justru dikesampingkan.

Fenomena ini bukan sekadar soal manajemen waktu, tapi menyentuh aspek psikologis, sosial, bahkan biologis. Saat masuk dunia perkuliahan, prioritas hidup berubah secara drastis. Mahasiswa yang dulunya teratur soal makan, jadi lebih mengutamakan tugas atau kegiatan kampus. Apa saja alasan yang bikin mahasiswa lebih sering lupa makan dibanding lupa deadline? Berikut beberapa penjelasan yang bisa membuka mata.

1. Tekanan akademik lebih menyita perhatian daripada rasa lapar

ilustrasi mengerjakan tugas (freepik.com/prostooleh)

Mahasiswa sering terjebak dalam tekanan akademik yang besar. Mulai dari tugas mingguan, presentasi kelompok, hingga skripsi yang menunggu di ujung semester. Semua itu menciptakan tekanan mental yang cukup tinggi, sehingga otak secara otomatis mengarahkan fokus pada hal yang dianggap lebih mendesak. Dalam situasi seperti ini, rasa lapar sering tidak dianggap sebagai prioritas, bahkan kadang tidak terasa sama sekali.

Rasa lapar sebenarnya adalah sinyal biologis, tapi sinyal itu bisa tertutup oleh beban pikiran yang berlebihan. Saat mahasiswa terlalu fokus mengerjakan sesuatu, tubuh bisa menunda respon terhadap sinyal lapar. Inilah sebabnya, banyak mahasiswa baru sadar belum makan setelah tugas selesai. Pikiran dipaksa terus bekerja, dan tubuh ikut patuh, meskipun butuh asupan.

2. Rasa takut akan kegagalan lebih kuat daripada rasa lapar

ilustrasi mengerjakan tugas (freepik.com/pressfoto)

Ketakutan gagal dalam tugas atau ujian bisa jadi lebih menakutkan daripada perut kosong. Mahasiswa tahu bahwa nilai jelek bisa mempengaruhi IPK, beasiswa, atau bahkan masa depan. Ketakutan semacam itu menciptakan urgensi yang besar, dan membuat hal-hal lain seperti makan, istirahat, atau bersosialisasi, jadi terlupakan.

Lapar dianggap bisa ditahan, tapi nilai jelek dianggap sebagai aib. Perasaan cemas akan nilai sering memunculkan perilaku kompulsif, seperti begadang atau terus membaca materi sampai lupa waktu. Dalam kondisi seperti ini, mahasiswa merasa makan hanya akan membuang waktu, padahal tubuh justru butuh energi agar bisa fokus lebih lama.

3. Budaya produktif berlebihan, membuat makan terasa tidak penting

ilustrasi mengerjakan tugas (freepik.com/freepik)

Budaya hustle atau produktivitas berlebihan sedang marak di kalangan mahasiswa. Banyak yang merasa bangga bisa kerja tanpa henti, nongkrong sambil ngerjain tugas, atau rapat organisasi sampai tengah malam. Dalam lingkungan seperti ini, makan sering dianggap sebagai jeda yang tidak efisien.

Mahasiswa jadi terbiasa menunda kebutuhan tubuh demi mengejar pencapaian. Bahkan, ada yang merasa bersalah saat berhenti sejenak untuk makan, karena merasa waktu itu seharusnya bisa dipakai untuk hal lain. Tanpa disadari, gaya hidup ini merusak keseimbangan tubuh dan pikiran. Makan seharusnya jadi kebutuhan dasar, bukan beban tambahan.

4. Pola hidup yang berantakan menyebabkan jadwal makan kacau

ilustrasi mengerjakan tugas (freepik.com/freepik)

Hidup mahasiswa sering kali gak punya ritme yang jelas. Jam tidur kacau, tugas datang silih berganti, dan jadwal kuliah berubah-ubah. Dalam kondisi seperti ini, makan pun jadi aktivitas yang gak punya waktu tetap. Kadang sarapan jam sebelas, kadang makan malam jam dua pagi, bahkan sering lupa sama sekali.

Tanpa rutinitas yang teratur, tubuh kesulitan mengatur waktu makan secara otomatis. Akibatnya, rasa lapar muncul secara tidak konsisten dan sering kali diabaikan. Hal ini diperparah kalau mahasiswa terbiasa menunda lapar dengan kopi atau camilan instan. Lama-kelamaan, tubuh terbiasa hidup tanpa makan yang layak.

5. Akses dan motivasi untuk makan sering terhambat

ilustrasi mengerjakan tugas (freepik.com/freepik)

Gak semua mahasiswa punya akses mudah ke makanan bergizi. Tinggal di kos dengan dapur seadanya, uang yang pas-pasan, dan jadwal yang padat sering jadi alasan utama. Akibatnya, makan jadi prioritas rendah, terutama jika harus keluar jauh hanya untuk beli makan.

Selain itu, motivasi untuk makan juga bisa menurun kalau mahasiswa sedang stres atau lelah secara mental. Dalam kondisi seperti itu, perut terasa tidak berselera, meskipun sebenarnya tubuh butuh energi. Hal ini sering terjadi menjelang deadline besar, saat mahasiswa merasa satu-satunya yang penting adalah menyelesaikan tugas.

Mengutamakan tugas memang penting, tapi mengabaikan kebutuhan dasar seperti makan bisa membawa dampak serius. Tubuh yang tidak diberi asupan, cukup bisa mengalami penurunan konsentrasi, daya tahan tubuh, dan kualitas tidur. Dalam jangka panjang, pola seperti ini bisa merusak kesehatan fisik maupun mental.

Menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kebutuhan tubuh adalah kunci agar tetap waras di tengah tekanan kuliah. Sesibuk apa pun, jangan sampai lupa bahwa makan bukan pilihan, tapi kebutuhan. Deadline penting, tapi tubuh juga punya batas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us