Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perbedaan Sistem Pendidikan Polandia Vs. Indonesia, Mana Lebih Baik?

Ilustrasi anak sekolah. (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Jakarta, IDN Times - Polandia menjadi salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Berdasarkan skor PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022, negara Eropa Timur tersebut menunjukkan skor di atas rata-rata dalam bidang numerasi, literasi, dan sains.

Keberhasilan Polandia dalam menciptakan sistem pendidikan turut diperkuat oleh pengalaman Fitria Anis Kurly, pengajar asal Indonesia yang berkesempatan menjadi guru di 9 sekolah di Polandia. Fitria berbagi pandangan terkait perbedaan sistem pendidikan Indonesia vs Polandia kepada IDN Times pada Jumat (25/4/25). Berikut adalah penjelasan lengkapnya! 

1. Mengenal pendidikan di Polandia

Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)

Sistem pendidikan di Polandia dimulai pada jenjang pre school atau przedszkole untuk anak usia 3-6 tahun. Berikutnya adalah jenjang pendidikan dasar atau szkola podstawowa selama 8 tahun.

Setelah menyelesaikan jenjang sekolah dasar, anak akan mengikuti 3 tahun pendidikan yang bersifat holistik dengan satu guru untuk semua pelajaran. Kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran yang lebih spesifik per mata pelajaran, kemudian siswa dapat memilih jalur akademik atau vokasi sebelum memasuki pendidikan tinggi. 

"Filosofi pendidikan di Polandia menempatkan anak sebagai subjek aktif. Anak-anak didorong berpikir kritis, berdiskusi, dan menyampaikan pendapat sejak dini. Sistem evaluasi tidak fokus pada ranking, melainkan pada proyek dan observasi. Di sekolah dasar, tidak ada peringkat, tujuannya adalah perkembangan personal, bukan kompetisi," ungkap Fitria. 

Fitria juga berpendapat, guru sangat dihormati namun tidak dimistifikasi. Selain itu, budaya kerja sesama pengajar juga terasa egaliter dan saling menghargai. Pendidikan inklusif juga sangat kuat, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas reguler dengan dukungan dari guru pendamping dan tenaga profesional.

"Keseluruhan sistem dibangun atas prinsip bahwa pendidikan adalah hak semua anak dan guru adalah fondasi perubahan sosial," tambahnya.

2. Sistem pendidikan di Polandia dirancang untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, tidak hanya fokus mengerjakan ujian

Ilustrasi sekolah (freepik.com/freepik)

Tujuan pendidikan menentukan arah kebijakan, kurikulum, dan strategi yang diterapkan. Pengembangan pendidikan diterapkan sesuai nilai dan kebutuhan masyarakatnya. Begitu pula sistem pendidikan di Polandia dan Indonesia, kedua negara memiliki perbedaan arah tujuan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. 

Fitria berpendapat, "Perbedaan paling mencolok antara sistem pendidikan di Polandia dan Indonesia adalah pada fokusnya. Polandia membentuk manusia, Indonesia sering kali membentuk peserta ujian. Di Polandia, pendidikan dirancang untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, berpikir kritis, dan keberanian berpendapat sejak usia dini. Anak-anak tak sekadar diminta tahu jawaban, tapi ditantang untuk bertanya, berdiskusi, dan mengevaluasi."

"Secara struktural, sistem di Polandia lebih stabil dan terencana jangka panjang. Kebijakan tidak banyak berubah saat menteri berganti. Sementara di Indonesia, perubahan sering terlalu cepat dan tidak dibarengi dengan pendampingan yang cukup bagi guru. Singkatnya, perbedaan utamanya adalah, di Polandia, anak diperlakukan sebagai subjek pendidikan yang aktif dan merdeka. Di Indonesia, anak masih sering dianggap objek sistem yang harus patuh, bukan tumbuh," tambahnya. 

3. Perbedaan peran guru di Polandia vs Indonesia: tak ada beban administrasi yang memberatkan, guru fokus mengajar

ilustrasi siswa di sekolah (pexels.com/Yan Krukau)

Bicara soal pengajar sebagai bagian penting pendidikan, menurut Fitria, edukator di Polandia memiliki peran yang spesifik. Berdasarkan pengalamannya, pengajar di Polandia fokus pada kegiatan belajar-mengajar di kelas dan tidak terbebani oleh urusan administrasi yang kompleks. 

"Guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, tapi aktor intelektual yang diberi ruang untuk berinovasi. Mereka tidak dibebani administratif berlebihan, dan dipercaya sebagai profesional. Berbeda dengan guru di Indonesia yang sering kali dibanjiri laporan, program yang berubah-ubah, dan kurikulum yang padat tapi dangkal. Guru di Indonesia lebih sering sibuk menyelesaikan kewajiban administratif dibanding merancang pembelajaran bermakna," ujarnya. 

Ia menegaskan, hal ini juga menjadi tantangan krusial bagi pendidikan di Indonesia, "Masalah utama yang dihadapi guru di Indonesia dibandingkan dengan guru di Polandia adalah beban kerja administratif, minimnya penghargaan profesional, dan kurangnya ruang otonomi dalam mengajar."

Persoalan lain yang dihadapi oleh guru di Indonesia adalah terkait apresiasi profesi tersebut. Menurut sudut pandang Fitria, di Polandia, guru adalah profesi yang dihormati, meski gaji mungkin tidak mewah, namun cukup untuk memiliki kehidupan layak. Selain itu, guru diperlakukan sebagai mitra setara dalam ekosistem pendidikan.

Hal ini tampak berbeda dengan kondisi pengajar di Indonesia. Menurutnya, guru masih sering diposisikan sebagai pelaksana kebijakan, bukan pemikir pendidikan. Banyak guru merasa tidak dihargai secara ekonomi maupun sosial, apalagi yang bekerja di daerah terpencil.

Terakhir, Fitria berpendapat mengenai kendala lain yang dihadapi oleh sistem pendidikan di tanah air, "Guru di Polandia memiliki kebebasan pedagogis. Mereka diberi ruang untuk menyesuaikan metode mengajar sesuai kebutuhan murid dan konteks lokal. Di Indonesia, kurikulum sering sangat teknis dan kaku, membuat guru sulit berinovasi atau mengembangkan pendekatan kreatif." 

Ia menegaskan, permasalahan di atas tidak bersumber dari pribadi guru, akan tetapi berhubungan erat dengan sistem. Selama sistem pendidikan Indonesia tidak memperlakukan guru sebagai aktor perubahan dan hanya menempatkan guru sebagai pihak yang menyampaikan materi satu arah, maka perbaikan pendidikan akan selalu setengah jalan.

4. Tidak ada ujian nasional di Polandia, anak-anak sekolah tanpa fokus memikirkan rangking

Ilustrasi anak-anak sedang berjalan menuju sekolah (freepik.com/freepik)

Perbedaan juga dirasakan dari sistem penilaian akhir. Bila di Indonesia pelajar harus melaksanakan ujian kelulusan pada tahun terakhir sekolah, hal ini tak diterapkan di Polandia, khususnya pada jenjang usia dasar. 

"Dalam hal sistem evaluasi, Polandia tidak menekankan rangking atau ujian nasional ketat di usia dasar. Penilaian lebih banyak berbasis proyek, observasi, dan dialog antara guru, siswa, dan orang tua. Sementara di Indonesia, meski ujian nasional sudah dihapus, budaya 'angka' dan 'peringkat' masih mendominasi cara berpikir kita soal pendidikan," kata Fitria. 

5. Orangtua berperan aktif di sekolah mendukung berbagai aspek perkembangan anak

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Naomi Shi)

Pendidikan menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter seseorang. Akan tetapi, meningkatkan potensi dan kemampuan anak bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak, khususnya sekolah, namun juga penting untuk melibatkan peran orangtua. 

Ditanya soal peran orangtua dalam pendidikan anak, Fitria menerangkan, "Di Polandia, orang tua terlibat aktif dalam pendidikan anak, bukan hanya hadir saat terima rapor, tapi benar-benar menjadi mitra sekolah. Komunikasi antara guru dan orang tua rutin, terbuka, dan membahas perkembangan anak secara menyeluruh, termasuk aspek sosial dan emosional. Orangtua juga berperan di rumah, membaca bersama, membantu proyek sekolah, dan menumbuhkan kebiasaan belajar. Sekolah pun terbuka terhadap masukan mereka."

Bagi Fitria hal ini sedikit berbeda dengan pendidikan di Indonesia. Peran orang tua masih sering bersifat administratif dan reaktif. Padahal, pendidikan yang kuat butuh kolaborasi erat antara sekolah, guru, dan keluarga, bukan kerja satu pihak saja.

6. Merespons kemajuan teknologi: AI masuk kurikulum di Indonesia, bagaimana dengan Polandia?

ilustrasi pendidikan (pexels.com/Thirdman)

Kemajuan teknologi turut mempengaruhi pendidikan di Indonesia. Berdasar pengamatan Fitria, sekolah-sekolah di Polandia merespons kemajuan teknologi, termasuk artificial intelligence relatif adaptif dan progresif. Sekolah membuka ruang diskusi kritis tentang AI, bukan sekadar melarang atau mengagung-agungkan.

Di beberapa sekolah, guru bahkan mengajak siswa untuk mengeksplorasi cara menggunakan AI secara etis dan produktif, misalnya untuk membantu riset, brainstorming ide, atau belajar coding. Teknologi diposisikan sebagai alat bantu belajar, bukan ancaman, tambah Fitria. 

"Yang paling menarik adalah pendekatan mereka yang tetap humanis. AI dipakai untuk mendukung guru, bukan menggantikan. Misalnya, dalam menganalisis hasil belajar atau menyesuaikan materi dengan gaya belajar siswa. Tapi interaksi guru dan murid tetap jadi pusat, karena pembelajaran sejati tidak hanya soal informasi, tapi juga relasi," kata Fitria. 

Saat ini AI memang menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Merespons perkembangan teknologi, Kemendisdakmen akan mengenalkan pelajaran coding dan kecerdasan buatan atau AI dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Nantinya akan menjadi mata pelajaran pilihan bagi siswa SD hingga SMA. 

"Menurut saya, pemanfaatan AI di pendidikan Indonesia harus dimulai dari literasi digital untuk guru dan siswa, bukan hanya cara pakai, tapi juga kapan, untuk apa, dan batasannya di mana. Kedua, kita perlu mengembangkan kurikulum yang tidak hanya adaptif terhadap teknologi, tapi juga kritis terhadap dampaknya. Jangan sampai kita menghasilkan generasi yang pintar menggunakan AI, tapi kehilangan kemampuan berpikir, empati, dan tanggung jawab moral. AI adalah alat, bukan arah. Arah tetap harus ditentukan manusia, dan itulah tugas pendidikan, membentuk manusia yang mampu mengambil keputusan bijak di tengah dunia yang serba otomatis," ujar Fitria. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
Dina Fadillah Salma
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us