5 Rekomendasi Buku Nonfiksi untuk Penikmat Musik

- Internet mengubah industri musik, dipelajari dari perspektif musisi indie
- Momen krusial tahun 1990-an dalam industri musik dan fenomena band indie yang menerima tawaran label besar
- Studi perkembangan musik, hubungan genre dengan stigma dan ras, serta pengalaman perempuan di industri musik
Tidak ada yang salah dengan punya lebih dari satu minat dan hobi untuk ditekuni. Misalnya, kamu bisa jadi pencinta buku yang suka mendengarkan musik atau sebaliknya, musisi yang suka baca buku. Kalau kebetulan kamu salah satunya atau memang ingin mengupas lebih dalam skena musik di berbagai belahan dunia, kelima buku nonfiksi berikut bisa jadi pilihan menarik.
Gak terbatas pada biografi musisi, tidak sedikit pula yang berupa analisa dan temuan jurnalis musik lewat pengalaman liputan mereka bertahun-tahun. Membuka mata dan memperkaya wawasan. Silakan baca.
1. Songs in the Key of MP3: The New Icons of Internet Age (Liam Inscoe-Jones)

Kita tahu internet mengubah industri musik selamanya. Internet sempat membuat radio dan toko musik kelabakan. Namun, pernahkah kamu mengulik bagaimana momentum itu dilihat dari perspektif musisi?
Inscoe-Jones dalam buku ini mencoba mengupas proses itu lewat lima musisi: Devonté Hynes ( Blood Orange), FKA Twigs, Oneohtrix Point Never, Earl Sweatshirt dan SOPHIE. Mereka adalah beberapa contoh musisi indie yang berhasil dapat audiens memanfaatkan perkembangan masif internet.
2. Sellout: The Major-Label Feeding Frenzy That Swept Punk, Emo, and Hardcore (Dan Ozzi)

Tahun 1990-an adalah momen krusial dalam industri musik. Musisi-musisi dari skena punk, rock, grunge, hingga emo dan hardcore berjaya betul saat itu. Didorong pula oleh keberhasilan Nirvana merangsek ke ranah arus utama, label-label rekaman besar pun mulai melirik band-band yang mengusung genre itu.
Masalahnya, band-band itu awalnya terbentuk dengan prinsip independen alias antikemapanan. Namun, siapa sangka justru banyak yang akhirnya menerima tawaran label itu. Fenomena ini yang kemudian melambungkan nama-nama prominen, seperti Green Day, My Chemical Romance, Jimmy Eat World, Blink-182, dan lain sebagainya. Liputan Dan Ozzi selaku jurnalis musik ini cukup mencerahkan.
3. How Music Works (David Byrne)

Dikenal sebagai personel band Talking Heads, David Bryne punya banyak proyek lain yang ia kerjakan. Jadi aktivis lingkungan sampai menulis buku. Salah satunya How Music Works, sebuah studi dan observasi yang ia lakukan tentang perkembangan musik. Ia membedah musik yang ia buat sendiri, kemudian proyek kolaborasinya dengan beberapa musisi lain, hingga akhirnya menemukan sebuah argumen tentang relasi musik dengan evolusi manusia.
4. Major Labels: A History of Popular Music in Seven Genres (Kelefa Sanneh)

Pernahkah kamu menilik hubungan erat genre musik dengan stigma dan ras tertentu? Ini yang coba dibedah Sanneh dalam buku Major Labels. Mengupas orang-orang dan skena musik dari tujuh genre berbeda, ia menemukan beberapa pola tertentu.
Musik juga punya peran dalam membentuk opini dan perspektif. Ia bisa menyatukan, memecah, mendorong perdamaian, tetapi bisa juga bikin orang terjerembab dalam kebatilan. Kalau kamu suka musik dan isu sosial, buku ini bisa dicomot.
5. Rebel Girl: My Life as a Feminist Punk (Kathleen Hanna)

Perempuan adalah minoritas dalam industri musik, apalagi di genre tertentu, seperti punk-rock. Kathleen Hanna adalah salah satu yang punya pengalaman langsung soal ini.
Tergabung dalam band Bikini Kill yang aktif pada 1990-an, Hanna punya banyak teman sesama musisi yang ia ceritakan di buku ini. Ia juga menyenggol gerakan Riot Grrrl yang berkembang pesat di New York saat itu, merujuk pada musisi-musisi punk perempuan. Semua ia tulis rapi dalam format memoar dimulai dengan perkenalannya dengan musik saat belia.
Sebagai bagian dari industri hiburan, musik adalah salah satu bisnis lukratif yang menggiurkan, tetapi juga punya sisi gelapnya. Buku-buku tadi bisa jadi modalmu melihat musik dari sisi lain, terutama dari balik layar sebelum produknya kamu nikmati di sela-sela aktivitas.