5 Fakta Mengejutkan Jadi Anak Bungsu, Gak Selamanya Happy Ending

Si bungsu yang seringkali tidak merasakan masa jaya orangtua dan dihadapkan dengan usia mereka yang semakin hari semakin menua. Hal tersebut membuat mereka seolah-olah harus bersaing dengan usia mereka yang terus bertambah. Setidaknya si bungsu harus bisa memanfaatkan perannya untuk agar menjadi anak yang berhasil. 

Dalam situasi lain terkadang si bungsu ini kurang diakui, oleh sebab itu sebagai bungsu harus membuktikan agar mendapat peran penting dalam keluarganya. Tekanan umur membuat si bungsu harus bisa memanfaatkan waktunya dengan baik untuk meraih pendidikan, karier, serta perannya sebagai anak yang mampu berbakti kepada orangtuanya.

Sebagai anak terakhir, si bungsu seringkali dianggap sebagai anak kecil bahkan setelah mereka tumbuh dewasa. Pendapatnya dalam memutuskan suatu hal seringkali diragukan. Beberapa hal yang ia lakukan pun terkadang selalu mendapat pertentangan.

Pola asuh sedari kecil yang membedakan cara asuh anak pertama dan anak terakhir dapat menjadi salah satu faktor mengapa mereka sulit melepaskan citra anak bungsu.

Padahal, tidak semua anak terakhir penuh dengan kehidupan yang dimanja. Sebagian dari mereka bahkan memilih untuk belajar hidup mandiri agar tidak ketergantungan pada stereotip tersebut. 

Setelah gagalnya kakak, anak terakhir seringkali diharapkan untuk memenuhi harapan yang belum tercapai oleh kakaknya. Biasannya si bungsu menjadi harapan terakhir agar bisa menyamai ataupun lebih baik dari kakaknya.

Hal tersebut terkadang menjadi tekanan bagi si bungsu karena harus mengejar berbagai prestasi maupun pencapaian untuk memenuhi ekspektasi keluarga.

Tak jarang si bungsu merasa gelisah apakah harus mengejar impiannya atau memenuhi ekspektasi keluarga. Meskipun terkadang mereka tidak menuntut secara langsung, namun dalam situasi tertentu perasaan tersebut tetap dapat dirasakan secara emosional.

Dengan situasi tersebut bungsu harus bisa membuktikan bahwa meskipun mereka sering dilabeli dengan 'anak kecil yang selalu dimanja' mereka pun dapat sukses dan mandiri seperti kakaknya. 

Selain menjadi harapan terakhir, si bungsu dituntut untuk menemani masa tua mereka. Meskipun mereka tidak menuntut secara langsung, namun sebagai anak terakhir pun terkadang mempunyai pikiran 'siapa yang akan merawat masa tua mereka jika bukan si bungsu'. Dalam budaya sosial pun ada yang masih beranggapan bahwa anak terakhir mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk merawat mereka di masa tuanya.

Kondisi tersebut seringkali menjadi bumerang si bungsu untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan. Beberapa diantara mereka pun mengurungkan niat untuk merantau agar bisa tetap dekat dengan orangtua. Sebagian lainnya ada yang rela mengubur mimpi-mimpimya demi tetap membersamai masa tua mereka. 

Kedekatan emosional antara si bungsu dan orang tua secara tidak langsung menciptakan ikatan yang kuat antar keduanya. Tidak heran jika mereka lebih leluasa untuk bertukar pikiran kepada si bungsu.

Faktor lain biasanya karena si bungsu yang seringkali lebih punya banyak waktu di rumah dibandingkan dengan kakak-kakaknya yang sudah sibuk dengan pekerjaan maupun keluarganya sendiri. 

Si bungsu dianggap sebagian pendengar yang baik serta lebih berempati terhadap masalah. Tidak banyak menuntut, si bungsu seringkali akan mendukung keputusan orang tuanya jika dirasa tepat. Inilah alasan mengapa mereka lebih nyaman curhat dengan si bungsu. 

Banyak yang mengira menjadi bungsu selalu mendapatkan enaknya jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Padahal tidak jarang yang tahu, bahwa si bungsu sering menyimpan bebannya sendiri. Merasa menjadi harapan terakhir yang harus bisa mandiri dan mengangkat derajat keluarganya.

Meskipun sering dianggap seperti anak kecil, namun tekadnya selalu ingin mandiri dan berhasil seperti kakak-kakaknya. Teruntuk anak bungsu, semoga lebih dikuatkan lagi pundaknya untuk menghadapi kenyataan, ya!