5 Cara Komunikasi yang Netral dalam Coparenting, Hindari Paksaan!

- Fokus pada fakta, bukan perasaan
- Gunakan platform komunikasi yang tepat
- Jangan gunakan anak sebagai perantara
Perceraian memang berat, apalagi ketika kamu dan mantan pasangan punya satu peran besar, yakni menjadi orangtua. Coparenting bukan sekadar soal pembagian jadwal antar jemput atau siapa yang bayar kebutuhan. Lebih dari itu, coparenting juga menjaga komunikasi tetap sehat dan netral demi kesejahteraan anak.
Di tengah emosi yang mungkin masih naik turun, menjaga agar anak tak terjebak dalam konflik loyalitas adalah tantangan besar. Anak berhak tumbuh dalam suasana yang damai, tak diseret ke dalam drama yang bahkan ia sendiri tak mengerti. Berikut lima cara komunikasi netral dalam coparenting yang bikin anak gak harus memihak!
1. Fokus pada fakta, bukan perasaan

Ketika berbicara soal kebutuhan anak, penting untuk tetap berpegang pada data, bukan emosi. Jadi, hindari kalimat seperti “Kamu selalu telat jemput!” atau “Kamu gak pernah peduli sama anak!”, karena nada seperti itu justru menyulut konflik dan membuat diskusi jadi gak produktif.
Alih-alih menyalahkan, cobalah ubah pendekatan menjadi lebih objektif. Misalnya, “Kemarin jadwal jemput berubah, jadi perlu kita evaluasi bareng supaya ke depan gak telat lagi.” Dengan begini, komunikasi tetap berjalan dengan tenang dan berorientasi solusi. Anak pun tidak akan merasakan ketegangan di antara kalian.
2. Gunakan platform komunikasi yang tepat

Tidak semua orang nyaman ngobrol lewat telepon atau bertemu langsung, apalagi jika suasana hati masih belum stabil. Nah, kamu bisa pilih media komunikasi yang minim risiko konflik. Misalnya lewat email atau aplikasi parenting bersama yang memang dirancang untuk coparenting.
Beberapa aplikasi bahkan punya fitur log jadwal, riwayat percakapan, sampai pengingat tugas orangtua. Tujuannya bukan cuma supaya kamu bisa menghindari drama, tapi juga untuk membangun sistem komunikasi yang tertata dan bisa ditinjau ulang kalau sewaktu-waktu ada miskomunikasi.
3. Jangan gunakan anak sebagai perantara

Salah satu kesalahan yang sering terjadi dalam coparenting adalah menjadikan anak sebagai “kurir” pesan. Misalnya, kamu bilang ke anak, “Kasih tahu ayahmu, jangan lupa transfer uang sekolah,” atau sebaliknya. Ini biasa terjadi, tapi sebenarnya menempatkan anak dalam posisi serba salah.
Ia akan merasa seperti harus berpihak, atau bahkan merasa bersalah jika pesan itu menimbulkan konflik. Padahal, anak gak seharusnya dijadikan sebagai jembatan komunikasi. Apa pun yang perlu dibicarakan, sampaikan langsung ke mantan pasanganmu. Anak seharusnya hanya terlibat dalam konteks yang positif, bukan menjadi bagian dari dinamika emosional.
4. Tetapkan batasan yang jelas

Netralitas dalam coparenting berarti memahami batasan. Tidak semua hal harus dibahas, apalagi kalau sudah menyangkut kehidupan pribadi masing-masing setelah berpisah. Tetapkan batas komunikasi yang sehat, bicarakan soal anak, tapi hindari membawa hal-hal personal yang tak relevan.
Setelah berpisah, kamu berhak menjaga ruang privasimu, begitu juga sebaliknya. Semakin jelas batasan ini, semakin minim potensi konflik nantinya. Anak juga tak akan merasa seperti berada di tengah-tengah dunia orang dewasa yang terlalu rumit.
5. Validasi perasaan anak, bukan mengontrolnya

Anak punya hak untuk mencintai kedua orangtuanya tanpa rasa bersalah. Kalau kamu sering secara halus atau terang-terangan membandingkan peranmu dengan mantan pasangan, anak bisa merasa harus memilih. Ini akan membuatnya bingung, sekaligus merusak kestabilan emosionalnya dalam jangka panjang.
Daripada menekankan kekurangan mantan pasangan di depan anak, validasi saja perasaannya. Misalnya, saat anak bilang kangen ayah atau ibunya, cukup jawab, “Wajar kok kalau kamu kangen. Nanti kita atur waktu supaya kamu bisa ketemu.” Kalimat seperti ini membuat anak merasa dimengerti dan tetap mencintai kedua orangtuanya.
Menjalani coparenting setelah perpisahan butuh usaha keras. Kamu dan mantan pasangan tak sedang berkompetisi menjadi orangtua terbaik, tapi bekerja sama membesarkan anak dengan hati yang utuh. Jadi, jangan paksa anak memilih, ya!