Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Dampak Buruk Saat Orangtua Enggan Minta Maaf ke Anak 

ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Sebagai orangtua, kamu tentu ingin menjadi teladan terbaik bagi anak. Namun, tak jarang, tanpa disadari, orangtua bisa melakukan kesalahan dalam bersikap atau berkata-kata. Sayangnya, banyak yang menganggap bahwa meminta maaf kepada anak akan mengurangi wibawa atau menunjukkan kelemahan. Padahal, justru sebaliknya, meminta maaf adalah salah satu bentuk kekuatan dan kedewasaan emosional yang sangat dibutuhkan dalam hubungan keluarga.

Menghindari permintaan maaf bukan hanya berdampak pada hubungan jangka pendek, tapi juga dapat meninggalkan bekas psikologis mendalam dalam diri anak. Anak-anak belajar dari contoh, bukan dari kata-kata. Jika mereka tidak pernah melihat kamu mengakui kesalahan, mereka pun tumbuh tanpa memahami pentingnya kerendahan hati dan tanggung jawab. Berikut ini enam dampak buruk yang bisa terjadi jika kamu enggan meminta maaf kepada anak.

1. Anak belajar bahwa meminta maaf itu tidak penting

ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/Julia M Cameron)
ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Ketika anak melihat bahwa kamu tidak pernah meminta maaf meski melakukan kesalahan, mereka menyerap pesan bahwa mengakui kesalahan bukanlah hal yang penting. Sikap ini bisa tertanam kuat dan terbawa hingga dewasa, membentuk karakter yang sulit bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Anak pun bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak peka terhadap kesalahan yang ia lakukan terhadap orang lain.

Lebih buruk lagi, mereka bisa meniru sikap tersebut dalam hubungan sosialnya. Jika permintaan maaf tidak dianggap penting dalam lingkungan keluarga, anak akan kesulitan membangun relasi yang sehat karena tak terbiasa mengakui kesalahan dan memperbaiki diri. Pada akhirnya, ini bisa menghambat kemampuan mereka untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat.

2. Hubungan emosional dengan anak jadi renggang

ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Saat anak diperlakukan tidak adil tanpa ada pengakuan atau permintaan maaf dari orangtua, rasa kecewa bisa tumbuh diam-diam. Anak mungkin tidak langsung mengekspresikannya, tapi luka kecil itu bisa menumpuk dari waktu ke waktu. Jika dibiarkan, hubungan emosional yang seharusnya hangat bisa berubah menjadi kaku dan penuh jarak.

Kamu mungkin berpikir hubungan masih baik-baik saja karena anak tampak patuh atau tidak banyak protes. Tapi di balik itu, bisa jadi ada rasa sakit yang tidak tersampaikan. Permintaan maaf bukan hanya soal etika, melainkan cara untuk menyembuhkan dan menjaga koneksi batin antara orangtua dan anak agar tetap kuat dan tulus.

3. Anak merasa suaranya tidak dianggap

ilustrasi anak yang merasa suaranya tidak dianggap (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi anak yang merasa suaranya tidak dianggap (pexels.com/cottonbro studio)

Setiap kali kamu melukai hati anak—baik lewat kata, sikap, atau keputusan—dan tidak mengakuinya, anak bisa merasa bahwa perasaannya tidak penting. Mereka mungkin mulai berpikir bahwa yang mereka rasakan tak layak didengar atau dipedulikan. Ini bisa membuat mereka menarik diri dan enggan mengekspresikan emosi secara terbuka.

Jika hal ini terus terjadi, kepercayaan diri anak pun bisa terkikis. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu dalam mengungkapkan perasaan, baik kepada keluarga maupun orang lain. Anak yang merasa suaranya tidak dianggap di rumah, akan kesulitan merasa berharga di luar rumah. Padahal, setiap anak butuh merasa didengar dan dihargai untuk bisa tumbuh dengan sehat secara emosional.

4. Anak sulit membedakan antara otoritas dan arogansi

ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi orang tua dengan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Menjadi orangtua memang berarti menjadi figur otoritas bagi anak. Namun, otoritas bukan berarti tak pernah salah. Ketika kamu menolak mengakui kesalahan, anak bisa menyamakan otoritas dengan arogansi. Mereka melihat bahwa posisi lebih tinggi di rumah hanya digunakan untuk “menang”, bukan untuk membimbing.

Akibatnya, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang keras kepala, meniru gaya dominan yang mereka lihat. Atau sebaliknya, mereka menjadi terlalu takut untuk berbicara karena merasa suaranya tidak akan pernah dianggap penting. Hubungan yang seharusnya penuh bimbingan dan kasih sayang justru berubah menjadi relasi yang penuh tekanan dan jarak emosional.

5. Anak bisa memendam luka batin

ilustrasi anak yang memendam luka batin (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi anak yang memendam luka batin (pexels.com/Mikhail Nilov)

Kesalahan kecil yang tak pernah diakui bisa meninggalkan bekas mendalam, terutama jika terjadi berulang. Anak mungkin terlihat biasa saja di luar, tapi di dalam hati, mereka menyimpan rasa terluka yang belum terselesaikan. Luka batin ini bisa terbawa hingga dewasa, memengaruhi cara mereka memandang hubungan dan membangun kepercayaan.

Permintaan maaf dari orangtua bisa menjadi proses penyembuhan yang sangat kuat. Kata “maaf” yang tulus memberi validasi atas perasaan anak dan menunjukkan bahwa mereka layak dihormati. Dengan begitu, luka bisa perlahan pulih dan anak belajar bahwa relasi sehat membutuhkan keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

6. Anak enggan terbuka pada orangtua

ilustrasi anak yang enggan terbuka pada orang tua (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi anak yang enggan terbuka pada orang tua (pexels.com/Kindel Media)

Ketika orangtua enggan minta maaf, anak bisa merasa bahwa mereka tidak bisa berbicara secara jujur tanpa takut disalahkan atau diabaikan. Perlahan-lahan, mereka akan memilih untuk menyimpan masalah sendiri, bahkan untuk hal-hal penting sekalipun. Rasa aman yang seharusnya ada dalam komunikasi keluarga pun menghilang.

Ketertutupan ini bisa menciptakan jarak yang sulit dijembatani. Anak kehilangan sosok orangtua sebagai tempat berlindung dan bercerita. Padahal, momen-momen dialog dan kejujuran adalah fondasi dari hubungan yang sehat. Satu permintaan maaf yang sederhana bisa membuka pintu bagi keterbukaan dan kepercayaan yang lebih besar.

Mengakui kesalahan dan meminta maaf bukan tanda kelemahan, tapi bukti kedewasaan dan cinta sejati dari orangtua. Dengan keberanian untuk minta maaf, kamu sedang mengajarkan nilai penting kepada anak: bahwa tidak ada yang sempurna, tapi semua bisa belajar dan memperbaiki diri demi hubungan yang lebih sehat dan penuh kasih.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us