Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Didikan Orang Tua Zaman Dulu yang Ternyata Bikin Milenial Tersiksa

default-image.png
Default Image IDN

Banyak milenial dibesarkan dengan nilai-nilai dan pola asuh yang saat itu dianggap ideal oleh orang tua mereka. Fokus pada prestasi, ketertiban, dan kepatuhan menjadi hal utama, sementara ruang untuk berekspresi atau memahami diri sendiri sering kali diabaikan. Meski niat orang tua mungkin baik, dampaknya terasa berbeda di kemudian hari.

Banyak dari mereka kini mulai menyadari bahwa beberapa ajaran di masa kecil justru menjadi beban emosional yang tersimpan diam-diam. Di balik keberhasilan dan kemandirian mereka, tersimpan perasaan tidak nyaman terhadap beberapa hal yang dulu dianggap biasa. Enam di antaranya berikut ini menjadi titik sorotan karena selama ini dirasakan menyiksa.

1. Tekanan akademik yang terlalu berat

default-image.png
Default Image IDN

Banyak milenial tumbuh dengan tekanan akademik yang sangat tinggi. Prestasi di sekolah dianggap belum cukup jika tidak dibarengi dengan ikut lomba, tampil di pentas seni, atau menjadi atlet. Mereka didorong untuk masuk universitas bergengsi seolah-olah itu satu-satunya jalan menuju kesuksesan.

Sayangnya, realita hidup setelah lulus kuliah sering kali tidak sesuai harapan, apalagi dengan dunia kerja yang kompetitif dan kondisi ekonomi yang tak menentu. Tekanan itu pun tidak hilang begitu saja ketika mereka dewasa.

Menurut survei Deloitte tahun 2024, 45 persen milenial mengaku mengalami burnout di tempat kerja. Mereka masih membawa stres yang sama dari masa sekolah, hanya dalam bentuk baru. Tekanan untuk terus membuktikan diri dan bersaing di dunia global membuat milenial lebih rentan mengalami kelelahan mental dan emosional.

2. Dihukum karena menunjukkan emosi

default-image.png
Default Image IDN

Orang tua generasi sebelumnya sering kali lebih mengedepankan ketegasan daripada kepekaan emosional. Anak-anak milenial belajar bahwa menangis atau mengeluh adalah tanda kelemahan. Padahal, perasaan itu wajar dan manusiawi. Alhasil, mereka tumbuh dengan kesulitan mengungkapkan emosi dan sering merasa terputus secara emosional dari orang-orang di sekitar.

Kini, milenial sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Mereka mulai belajar bahwa menjadi sensitif bukan berarti lemah, melainkan bentuk keberanian untuk menjadi otentik. Namun di balik proses penyembuhan itu, tersimpan rasa kesal karena harus mempelajari semua ini sendiri tanpa bekal yang cukup dari masa kecil.

3. Orang tua yang terlalu protektif

default-image.png
Default Image IDN

Banyak milenial dibesarkan dalam lingkungan yang sangat protektif. Orang tua mereka sangat khawatir terhadap bahaya sehingga melarang banyak hal demi alasan keamanan. Inilah yang memunculkan istilah “helicopter parent” atau orang tua yang terus-menerus mengawasi anaknya dan mengambil alih setiap tantangan yang seharusnya menjadi pelajaran hidup.

Meski niatnya baik, gaya pengasuhan seperti ini justru menghambat kemandirian anak. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini cenderung kesulitan membuat keputusan sendiri dan tidak siap menghadapi konflik. Akibatnya, saat dewasa mereka jadi pribadi yang canggung, takut mengambil risiko, dan sulit bangkit ketika menghadapi kegagalan.

4. Terjebak dalam stereotip gender

default-image.png
Default Image IDN

Milenial tumbuh dalam lingkungan yang sangat terikat pada stereotip gender. Laki-laki dilarang menangis, sementara perempuan diajarkan untuk selalu bersikap manis dan mengutamakan kebutuhan orang lain. Tidak banyak ruang untuk mengeksplorasi identitas diri di luar batasan yang sudah ditentukan sejak kecil.

Berbeda dengan Gen Z yang lebih bebas berekspresi, milenial baru bisa mempertanyakan norma-norma ini setelah dewasa. Mereka mulai menyadari betapa banyak potensi yang terhambat hanya karena dipaksa menyesuaikan diri dengan harapan yang tidak realistis. Banyak dari mereka masih menyimpan kekesalan karena masa kecilnya tidak memberi ruang untuk menjadi diri sendiri.

5. Tidak diajarkan cara menetapkan batasan

default-image.png
Default Image IDN

Banyak milenial mengaku kesulitan mengatakan "tidak" karena tidak pernah diajarkan tentang pentingnya batasan sehat. Mereka terbiasa menuruti keinginan orang lain, bahkan jika itu merugikan diri sendiri. Akibatnya, banyak yang merasa lelah, dimanfaatkan, dan akhirnya menyimpan rasa kesal tanpa tahu bagaimana cara mengatasinya.

Tidak adanya batasan adalah resep pasti untuk menumbuhkan rasa kecewa. Ketika seseorang tidak punya kendali atas hidupnya sendiri, ia akan terus-menerus merasa tidak dihargai. Milenial kini sedang belajar untuk berkata jujur pada diri sendiri, menetapkan batas, dan menjaga energi mereka agar tidak terus terkuras untuk menyenangkan orang lain.

Didikan orang tua zaman dulu mungkin bermaksud baik, tetapi bagi banyak milenial, hal-hal tersebut meninggalkan bekas yang masih terasa hingga kini. Mereka tumbuh dengan tekanan, ekspektasi, dan batasan yang perlahan-lahan mulai disadari tidak harus diwarisi. Kamu sendiri sebagai milenial pakah juga merasakannya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us