Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Kesalahan Orang Tua dalam Mengasuh Anak Laki-Laki, Bikin Mental Down

ilustrasi ayah memarahi anak (pexels.com/August de Richelieu)

Menjadi orang tua bagi anak laki-laki adalah tanggung jawab besar yang mempengaruhi masa depan mereka. Sayangnya, banyak orang tua tanpa sadar melakukan pola asuh yang kurang tepat, seperti membebani anak dengan ekspektasi tertentu. Kesalahan kecil yang berulang dapat memengaruhi perkembangan emosional, karakter, dan hubungan sosial mereka secara keseluruhan. 

Anak laki-laki kerap menghadapi tuntutan yang membentuk cara pandang mereka terhadap diri sendiri dan lingkungan. Jika dibiarkan, ekspektasi yang berlebihan dapat membatasi potensi mereka. Untuk membantu anak laki-laki berkembang optimal, penting bagi orang tua memahami beberapa kesalahan umum dalam pola asuh yang sebaiknya dihindari. Jangan dilakukan, ya!

1. Mengabaikan perasaan anak

ilustrasi anak murung (freepik.com/freepik)

Menganggap anak laki-laki harus selalu kuat adalah salah satu pola pikir yang keliru. Banyak orang tua melarang mereka menangis atau menunjukkan emosi karena dianggap tidak sesuai dengan citra “laki-laki sejati.” Akibatnya, anak merasa perasaannya tidak penting dan cenderung menutup diri saat merasa rentan.

Jika emosi anak sering diabaikan, mereka akan kesulitan mengelola perasaan dan empati terhadap orang lain. Anak laki-laki juga membutuhkan ruang untuk mengekspresikan apa yang dirasakan tanpa takut dihakimi. Membiasakan anak berbicara tentang emosinya adalah langkah penting untuk membangun kecerdasan emosional sejak dini.

2. Memberikan standar gender yang kaku

ilustrasi anak dan ayah bermain bola (freepik.com/freepik)

Anak laki-laki kerap dibatasi hanya melakukan hal-hal yang dianggap maskulin. Contohnya, melarang mereka membantu pekerjaan rumah atau memilih hobi yang tidak mencerminkan kejantanan. Pembatasan ini menghambat eksplorasi, kreativitas, dan pengembangan minat mereka.

Standar gender yang kaku juga membuat anak takut mencoba hal baru. Padahal, setiap aktivitas adalah bagian dari proses belajar dan menemukan potensi diri. Mengajarkan bahwa semua aktivitas bernilai adalah cara mendukung anak tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan terbuka.

3. Menganggap wajar kenakalan anak laki-laki

ilustrasi anak membantah (pexels.com/Kindel Media)

Kenakalan anak laki-laki sering dianggap lumrah oleh orang tua, bahkan dinormalisasi sebagai bagian dari masa tumbuh kembang. Sikap ini membuat anak tidak memahami batasan antara perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Pada akhirnya, mereka bisa mengabaikan aturan dan tanggung jawab.

Jika kenakalan dibiarkan terus-menerus, anak akan kesulitan memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Orang tua perlu menetapkan batasan yang jelas dan memberikan pengertian tentang mana yang benar dan salah. Pendekatan seperti ini membantu anak menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab.

4. Menggunakan kekerasan sebagai cara disiplin

ilustrasi anak dimarahi oleh ayah (freepik.com/freepik)

Beberapa orang tua masih menganggap kekerasan sebagai metode efektif untuk mendisiplinkan anak. Mereka percaya bahwa hukuman fisik akan membuat anak lebih patuh. Kenyataannya, kekerasan hanya meninggalkan luka psikologis yang sulit hilang.

Anak yang sering dihukum secara fisik cenderung tumbuh menjadi individu yang agresif atau kehilangan rasa percaya diri. Pendekatan yang lebih baik adalah berdiskusi dan memberikan penjelasan tentang kesalahan mereka. Cara ini tidak hanya mengajarkan tanggung jawab tetapi juga mempererat hubungan antara orang tua dan anak.

5. Kurang memberikan apresiasi

ilustrasi anak memohon pada orangtua (pexels.com/Ron Lach)

Orang tua sering kali lupa mengapresiasi usaha yang dilakukan anak laki-laki. Banyak yang menganggap hal itu sudah menjadi kewajiban anak, sehingga pujian dirasa tidak perlu. Sayangnya, sikap ini membuat anak merasa tidak dihargai.

Pujian sederhana, seperti mengakui upaya mereka menyelesaikan tugas atau belajar hal baru, sangat berarti bagi anak. Apresiasi kecil ini dapat memotivasi mereka untuk terus mencoba dan mengembangkan diri. Anak yang merasa dihargai akan tumbuh menjadi pribadi optimis. 

6. Kurangnya komunikasi terbuka

ilustrasi ayah bekerja saat anak makan (freepik.com/freepik)

Anak laki-laki sering dibiasakan menyimpan masalah sendiri, seolah berbicara tentang perasaan adalah hal yang tabu. Pola ini membuat hubungan emosional antara anak dan orangtua menjadi renggang. Akibatnya, anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan kesulitan meminta bantuan saat menghadapi masalah.

Membangun komunikasi yang terbuka adalah kunci untuk mempererat hubungan dengan anak. Orang tua dapat memulainya dengan bertanya tentang hal-hal sederhana, seperti bagaimana harinya atau apa yang sedang dirasakan. Anak yang merasa nyaman berbicara dengan orangtua akan lebih mudah mengelola emosinya.

7. Membebaninya dengan banyak tanggung jawab

ilustrasi anak frustrasi (freepik.com/freepik)

Anak laki-laki kerap diberi tanggung jawab besar dengan alasan mereka lebih mampu dibandingkan perempuan. Misalnya, mereka diminta menjaga adik, membantu pekerjaan rumah berat, atau bahkan menyelesaikan masalah keluarga. Beban ini membuat mereka kehilangan waktu untuk menikmati masa kanak-kanak. 

Tanggung jawab yang berlebihan dapat membuat anak merasa stres secara fisik dan mental. Selain itu, mereka juga bisa merasa bersalah jika gagal memenuhi ekspektasi orangtua. Sebaiknya, orang tua memberikan tanggung jawab yang sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Ini memastikan mereka tetap bisa belajar tanpa kehilangan kebahagiaan. 

Kesalahan dalam mengasuh anak laki-laki bisa berdampak pada perkembangan mereka, baik secara fisik, emosional, maupun sosial. Sebaliknya, pola asuh yang tepat membantu anak tumbuh menjadi individu yang percaya diri. Maka dari itu, mari introspeksi pola asuh kita dan berikan ruang bagi mereka untuk tumbuh sesuai potensinya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ken Ameera
EditorKen Ameera
Follow Us