5 Kesalahan Orangtua saat Jelaskan Kondisi Keuangan pada Anak

- Mengatakan hal yang terlalu ekstrem, seperti "Mama Papa gak punya uang sama sekali," bisa membuat anak panik dan merasa tidak aman.
- Terlalu menutup-nutupi keadaan keuangan keluarga bisa membuat anak salah paham dan merasa ada masalah lain di rumah.
- Membuat anak merasa bersalah dengan kalimat seperti "Mama gak bisa beli mainan itu karena uangnya habis buat bayar sekolah kamu" dapat menimbulkan rasa bersalah yang mendalam pada anak.
Setiap keluarga pasti punya masa naik-turun dalam hal keuangan. Kadang lancar, kadang terasa berat. Saat kondisi sedang sulit, sebagian orangtua memilih jujur kepada anak, sementara yang lain memilih diam agar anak tidak khawatir. Tapi tanpa disadari, cara orangtua menyampaikan kondisi finansial bisa berdampak besar pada cara anak memandang uang, keamanan, bahkan kepercayaan terhadap orangtua.
Mengajarkan anak tentang kondisi keuangan sebenarnya bukan hal tabu. Justru, ini bisa jadi momen penting untuk menanamkan nilai kejujuran dan rasa tanggung jawab. Namun, ada beberapa kesalahan umum yang sering dilakukan tanpa sadar dan bisa membuat anak salah paham atau bahkan merasa tidak aman. Berikut lima kesalahan orangtua saat jelaskan kondisi keuangan pada anak. Hindari agar komunikasi soal keuangan bisa tetap sehat dan penuh kasih.
1. Mengatakan hal yang terlalu ekstrem

Beberapa orangtua, karena stres, kadang tanpa sadar berkata, “Mama Papa gak punya uang sama sekali,” atau “Kalau terus begini, kita bisa gak makan!” Kalimat semacam ini bisa membuat anak panik dan merasa dunia mereka akan runtuh. Meskipun niatnya agar anak lebih mengerti situasi, kata-kata yang terlalu ekstrem justru bisa menimbulkan rasa takut dan tidak aman.
Anak tidak punya kapasitas untuk memahami konteks penuh seperti orang dewasa. Karena itu, penting untuk tetap menyampaikan realita dengan tenang. Gunakan kalimat seperti, “Sekarang kita sedang berhemat supaya bisa tetap memenuhi hal-hal penting.” Dengan begitu, anak belajar bahwa keuangan bisa naik-turun tanpa perlu merasa hidupnya dalam bahaya.
2. Terlalu menutup-nutupi keadaan

Sebagian orangtua berpikir, anak tidak perlu tahu apa pun soal kondisi keuangan agar tetap tenang. Padahal, anak bisa merasakan perubahan di rumah, mulai dari wajah orangtua yang lebih murung, kebiasaan belanja yang berubah, hingga kegiatan keluarga yang berkurang. Kalau tidak dijelaskan, anak bisa salah paham dan mengira orangtuanya sedang bertengkar atau ada masalah lain.
Menutup-nutupi juga bisa membuat anak kehilangan kesempatan belajar tentang realita hidup. Tidak perlu menjelaskan semua detail, cukup beri pengertian sederhana bahwa keluarga sedang berusaha mengatur pengeluaran agar lebih hemat. Dengan begitu, anak tetap merasa aman, tapi juga memahami bahwa setiap keluarga punya fase berbeda dalam keuangan.
3. Membuat anak merasa bersalah

Kadang tanpa sadar, orangtua melontarkan kalimat seperti, “Mama gak bisa beli mainan itu karena uangnya habis buat bayar sekolah kamu.” Meski tidak bermaksud menyalahkan, kalimat seperti ini bisa menimbulkan rasa bersalah yang mendalam pada anak. Mereka bisa merasa jadi beban atau penyebab utama kesulitan keluarga.
Sebaiknya, ubah cara penyampaian menjadi lebih positif. Misalnya, “Sekolah itu penting, makanya Mama Papa lagi fokus memenuhi kebutuhan itu dulu, ya.” Dengan begitu, anak tetap merasa dihargai dan tidak terbebani. Anak yang tumbuh tanpa rasa bersalah terhadap uang akan lebih percaya diri dan punya hubungan yang lebih sehat dengan konsep finansial.
4. Membandingkan dengan keluarga lain

Membandingkan kondisi keluarga sendiri dengan orang lain, seperti “Temanmu bisa liburan karena orangtuanya kaya, kita gak bisa,” hanya akan membuat anak merasa rendah diri atau iri. Perbandingan seperti ini bukan hanya tidak produktif, tapi juga bisa menanamkan persepsi keliru bahwa kebahagiaan bergantung pada uang dan status sosial.
Daripada membandingkan, lebih baik arahkan anak untuk bersyukur. Jelaskan bahwa setiap keluarga punya prioritas dan perjalanan berbeda. Katakan, “Sekarang kita belum bisa melakukan itu, tapi nanti kalau sudah waktunya, kita coba, ya.” Anak pun belajar menghargai proses dan tidak menilai kebahagiaan dari ukuran materi.
5. Tidak menunjukkan sikap optimis

Ketika orangtua menghadapi kesulitan finansial, anak bisa ikut merasakan atmosfernya. Jika yang mereka lihat hanya keluhan, stres, dan pesimisme, mereka bisa menyerap energi negatif itu dan tumbuh dengan rasa takut terhadap masalah keuangan. Anak belajar dari contoh, bukan hanya dari kata-kata.
Karena itu, penting untuk tetap menunjukkan sikap optimis dan penuh harapan. Tidak harus pura-pura semuanya baik-baik saja, cukup tunjukkan bahwa kamu dan pasangan sedang berusaha mencari solusi. Katakan, “Sekarang memang lagi banyak tantangan, tapi kita pasti bisa melewatinya bersama.” Dari sikap ini, anak akan belajar bahwa setiap kesulitan bisa dihadapi dengan usaha dan semangat, bukan dengan rasa putus asa.
Jika kamu sedang menghadapi masalah finansial yang sulit, hindari lima kesalahan orangtua saat jelaskan kondisi keuangan pada anak seperti penjelasan di artikel ini. Tujuannya agar anak tidak merasa cemas atau terbebani. Dengan komunikasi yang jujur, positif, dan penuh kasih, kamu bisa membuat anak tetap merasa aman sekaligus belajar nilai penting tentang kehidupan: bahwa uang bisa datang dan pergi, tapi kebersamaan keluarga akan selalu jadi hal yang paling berharga.



















