#MahakaryaAyahIbu: Untuk Mereka, Sebuah Rumah Sederhana yang Penuh Cinta

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik.
Jika ada yang bertanya siapa cinta pertamaku, dia adalah Ayah. Darinya aku belajar untuk selalu berprasangka baik, bekerja keras dan berbahagia dengan hal-hal yang sederhana. Dia selalu tersenyum tidak peduli apapun masalah yang melanda. Baginya, segala sesuatu bisa diselesaikan dengan usaha, doa dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Sepanjang ingatanku, Ayah selalu bekerja, bekerja dan bekerja. Sekalipun tubuhnya lelah, sakit, dan bahkan terluka, Ayah tidak pernah mengeluh.
Di bawah terik matahari dan dingin hujan, Ayah selalu berjuang demi keluarga dan anak-anak tercinta. Ayahku seorang tukang kayu. Dia mengerjakan banyak hal: membuat lemari, ranjang, meja, kursi, daun pintu, juga jendela. Bahkan meskipun tidak pernah mempelajari arsitektur, dia bisa merancang dan menyusun hitung-hitungan untuk membangun rumah sederhana. Di sampingnya, sosok perempuan sederhana dengan hati sekuat baja menjadi pendamping setia.
Jika ada yang bertanya padaku siapa perempuan paling hebat di dunia, maka jawabanku adalah dia, ibuku. Ibu mengajarkanku untuk tidak hanya pandai berkata-kata, tapi juga pandai mendengarkan. Darinya aku belajar kesabaran yang luar biasa. Sabar menghadapi berbagai macam watak manusia. Sabar menerima garis takdir yang sudah diputuskan. Sabar menjadi sosok yang tetap tegar ketika keluarga kami terguncang.
Ayah dan Ibu, dua sosok sederhana tapi dengan hati yang luar biasa. Entah sudah berapa barang yang ayah buat. Entah sudah berapa rumah yang ayah bangun. Tangan yang dulu cekatan itu kini mulai keriput dimakan waktu. Punggung yang dulu kuat itu kini semakin layu. Tubuh yang dulu kokoh itu kini makin menua, tidak lagi setegak dulu. Tapi senyum ayah masih sama menenangkan. Tatap matanya juga masih sama meneduhkan.
Entah sudah berapa air mata yang diam-diam Ibu teteskan. Entah sudah berapa keajaiban yang Ibu ciptakan di dalam rumah kami yang sederhana. Sama seperti Ayah, Ibu pun menua bersama waktu. Wajah yang cantik itu mulai berkeriput. Rambut hitamnya mulai memutih. Tapi senyumnya masih sama menghangatkan. Belaiannya masih menjadi hal yang paling kurindukan.
Aku, putri kecilnya ini, belum bisa memberikan apa-apa sekalipun ayah dan ibu memang tidak pernah meminta. Jalan yang kulalui baru dimulai. Ayah dan Ibu yang telah membukakan jalanku dengan kerja keras dan air mata, mengantarkanku mencapai pendidikan yang mereka sendiri tidak pernah melampauinya. Aku percaya doa ayah dan ibu akan selalu mengiringi. Jika jalan ini berhasil kulalui, aku ingin mempersembahkan sesuatu bagi mereka. Sesuatu yang aku yakin tidak akan sebanding dengan cinta ayah dan ibu, tapi setidaknya bisa menjadi satu tanda terimakasih yang kuberikan.
Selama ini, kami tidak bisa menghitung lagi berapa rumah yang telah ayah dirikan, rumah-rumah yang elok dan menyenangkan. Di tengah segala keterbatasan, ayah belum sanggup membangun rumah kami sendiri. Rumah kami tetap berdiri dengan sederhana dan dipenuhi begitu banyak cinta. Jika waktu dan takdir mengizinkan, aku ingin mempersembahkan sebuah mahakarya untuk Ayah dan Ibu, sebuah rumah yang kubangun dengan cinta dan kasih untuk mereka.
Aku ingin mempersembahkan sebuah rumah yang kokoh, sekokoh kerja keras ayah dan ibu untuk membesarkan dan mengantarkanku hingga bisa menapaki jalan ini. Barangkali mimpi itu memang masih jauh. Tapi Ayah dan Ibu mewariskan kesabaran dan kerja keras yang tidak akan kulepaskan dari hidupku, yang semoga akan mengantarkanku menggapai mimpi indah itu.