Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Dewasa Menghadapi Orangtua yang Terlalu Ikut Campur

Ilustrasi keluarga (Pexels.com/Julia M Cameron)
Ilustrasi keluarga (Pexels.com/Julia M Cameron)
Intinya sih...
  • Orangtua berbicara dari kekhawatiran, bukan kepercayaan
  • Membaca pola komunikasi untuk merespons dengan bijak
  • Menetapkan batasan sebagai bentuk menjaga harga diri dan arah hidup

Kadang yang bikin hubungan dengan orangtua jadi rumit bukan karena niat mereka yang jahat, tapi karena bentuk kasih sayang yang belum tentu cocok dengan versi dewasa kamu hari ini. Misalnya, orangtua yang terlalu ikut campur soal pilihan karier, pasangan, bahkan cara berpakaian, bisa terasa mengganggu padahal maksudnya mereka hanya ingin kamu “bahagia” versi mereka. Sayangnya, ketika kamu tumbuh dan mulai punya nilai hidup sendiri, batas antara peduli dan mengontrol bisa jadi sangat tipis. Dan kalau gak dihadapi dengan cara yang dewasa, situasi ini bisa bikin kamu frustrasi, atau justru menjauh dari mereka diam-diam.

Tapi jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri atau memutus komunikasi. Kenyataannya, banyak dari kita yang tumbuh dengan pola asuh di mana "taat" dianggap bentuk cinta, bukan komunikasi dua arah. Sekarang saatnya kita ubah pola itu secara strategis—tanpa drama, tanpa emosi meledak-ledak. Karena kedewasaan bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang bisa menavigasi konflik tanpa kehilangan arah. Berikut ini lima cara dewasa yang bisa kamu praktikkan untuk menghadapi orangtua yang terlalu ikut campur, supaya relasi tetap sehat dan kamu tetap punya ruang untuk menjadi dirimu sendiri.

1. Pahami pola komunikasi mereka, bukan hanya isi ucapannya

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)

Orangtua sering kali berbicara dari tempat kekhawatiran, bukan dari tempat kepercayaan. Ketika mereka menyarankan (atau menyuruh) kamu melakukan sesuatu, bisa jadi itu adalah bentuk dari rasa takut: takut kamu gagal, takut kamu sakit hati, atau takut kamu tidak hidup “seaman” yang mereka bayangkan. Sebelum kamu langsung menolak atau membalas dengan nada tinggi, coba baca dulu pola komunikasi mereka. Misalnya, apakah mereka sering menyela? Apakah mereka terbiasa memberi nasihat tanpa diminta? Dengan mengenali pola ini, kamu bisa lebih siap merespons secara bijak tanpa merasa kewalahan.

Membaca pola komunikasi ini ibarat memahami peta sebelum memulai perjalanan. Kamu gak bisa mengubah jalan yang mereka pilih, tapi kamu bisa menentukan rute terbaik agar tidak tersesat dalam konflik. Daripada tersulut emosi karena ucapan mereka yang terlalu langsung atau terdengar menyakitkan, kamu bisa melihatnya sebagai sinyal untuk memperkuat batas. Dewasa itu bukan tentang menghindari percakapan sulit, tapi tentang tahu kapan harus mendengarkan, kapan harus bicara, dan kapan harus diam tanpa mengalahkan diri sendiri.

2. Tegaskan batasan tanpa melukai hubungan

Ilustrasi dua orang wanita (Pexels.com/SHVETS Production)
Ilustrasi dua orang wanita (Pexels.com/SHVETS Production)

Menetapkan batasan bukanlah bentuk pembangkangan, tapi cara sehat untuk menjaga harga diri dan arah hidupmu. Misalnya, jika orangtuamu terlalu sering ikut campur soal hubungan percintaanmu, kamu bisa berkata, “Aku tahu Ibu/Bapak peduli, tapi aku butuh ruang untuk belajar dan memilih dengan caraku sendiri.” Kalimat seperti ini terdengar sopan, jujur, tapi tetap menunjukkan bahwa kamu ingin dihargai sebagai individu yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Banyak orang takut memasang batas karena merasa bersalah atau takut membuat orangtua sedih. Padahal, batasan bukanlah tembok yang memisahkan, tapi pagar yang menjaga. Pagar itu bisa kamu buka dan tutup sesuai situasi, tapi keberadaannya penting agar kamu tidak kehilangan arah atau terus-menerus merasa terjajah secara emosional. Kamu bisa tetap hormat sambil berkata “tidak” dengan cara yang dewasa. Ini bukan tentang membatasi cinta, tapi mengarahkan cinta agar tidak menelan identitas kamu sendiri.

3. Gunakan bahasa emosional yang terbuka dan reflektif

Ilustrasi seorang ayah dan seorang anak laki-laki (Pexels.com/Kindel Media)
Ilustrasi seorang ayah dan seorang anak laki-laki (Pexels.com/Kindel Media)

Ketimbang membalas dengan defensif atau diam seribu bahasa, cobalah bicarakan isi hatimu dengan cara yang membuka ruang dialog. Gunakan kalimat yang diawali dengan “aku merasa...” seperti, “Aku merasa bingung waktu Ibu sering membandingkan aku dengan anak tetangga. Aku jadi kurang percaya diri.” Kalimat seperti ini lebih mudah diterima karena kamu tidak sedang menyalahkan, tapi berbagi perasaan. Ini bukan sekadar tentang menyampaikan pesan, tapi juga membangun koneksi emosional.

Bahasa emosional yang reflektif ibarat mengajak orangtua masuk ke dalam duniamu tanpa membuat mereka merasa diserang. Kamu menjadi jembatan antara perbedaan generasi, bukan jurang pemisah. Tentu perlu keberanian dan latihan, apalagi jika kamu dibesarkan di keluarga yang terbiasa menyimpan perasaan. Tapi percayalah, mengutarakan isi hati dengan jujur dan tenang bisa jadi awal dari hubungan yang lebih sehat, lebih setara, dan lebih manusiawi.

4. Bangun kemandirian sebagai bukti, bukan sekadar kata-kata

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sering kali, orangtua terlalu ikut campur karena mereka belum melihat bukti bahwa kamu bisa berdiri sendiri. Maka daripada terus berdebat soal hak atas hidupmu, lebih baik tunjukkan lewat tindakan. Mulai dari hal kecil seperti mengelola keuangan pribadi, membuat keputusan tanpa drama, hingga konsisten dalam pilihan hidup yang kamu ambil. Semakin kamu stabil dan percaya diri dalam pilihanmu, semakin kecil kemungkinan mereka merasa perlu “mengatur” hidupmu.

Tindakan ini adalah bentuk komunikasi non-verbal yang sangat kuat. Kamu tidak perlu berkoar-koar untuk membuktikan bahwa kamu dewasa, cukup dengan menjadi versi terbaik dari dirimu secara konsisten. Semakin kamu mandiri, semakin kamu punya daya tawar dalam relasi dengan orangtua. ketika mereka mulai melihat hasilnya, kamu bahagia, sehat, dan tidak tergantung pada mereka, maka campur tangan itu akan berkurang dengan sendirinya. Karena pada akhirnya, kemandirian bukan hanya tentang menjauh dari orangtua, tapi tentang berdiri kuat tanpa melupakan akar.

5. Pelihara empati, tapi jangan korbankan diri sendiri

Ilustrasi seorang ibu dan seorang anak laki-laki (Pexels.com/Julia M Cameron)
Ilustrasi seorang ibu dan seorang anak laki-laki (Pexels.com/Julia M Cameron)

Kamu bisa tetap peduli tanpa harus selalu setuju. Itu kuncinya. Banyak dari kita yang terjebak antara ingin membahagiakan orangtua dan ingin jujur pada diri sendiri. Tapi sebenarnya, kamu gak harus memilih salah satu dan kehilangan yang lain. Kunci utamanya adalah empati–memahami bahwa mereka mungkin juga punya luka, kekhawatiran, atau nilai yang berbeda. Tapi empati itu tidak berarti kamu harus membiarkan diri terus disetir.

Anggap saja hubungan dengan orangtua itu seperti menari berpasangan. Kadang kamu harus mengikuti ritme mereka, tapi ada saatnya juga kamu perlu memimpin langkahmu sendiri. Selama kamu menjaga nada bicara, sikap hormat, dan konsistensi dalam tindakan, kamu bisa membangun relasi yang sehat tanpa kehilangan arah. Ingat, menjadi anak yang baik tidak sama dengan menjadi anak yang selalu patuh. Kedewasaan adalah saat kamu tahu caranya mencintai orang lain tanpa mengkhianati diri sendiri.

Menghadapi orangtua yang terlalu ikut campur memang bukan hal yang mudah, apalagi jika kamu dibesarkan dalam budaya yang menempatkan orangtua di atas segalanya. Tapi justru karena itulah, penting untuk belajar menavigasi relasi ini dengan cerdas dan hati yang terbuka. Kamu bisa tetap berbakti tanpa kehilangan suara, tetap menghargai tanpa mengorbankan prinsip, dan tetap dekat tanpa merasa dikendalikan. Jangan takut menjadi dewasa dalam relasi ini, karena kedewasaan bukan hanya soal usia, tapi tentang bagaimana kamu memelihara batas, komunikasi, dan kasih sayang secara seimbang. Kamu berhak tumbuh menjadi dirimu sendiri, dan itu tidak menjadikanmu anak yang durhaka. Justru itu adalah bentuk cinta yang paling matang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us