Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Pengorbanan Anak untuk Orangtua yang Jarang Disadari

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Karolina Kaboompics)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Karolina Kaboompics)
Intinya sih...
  • Orangtua berkorban menafkahi dan mendidik anak
  • Anak harus memberi ruang, menahan diri, dan meminta maaf
  • Hubungan anak-orangtua masih konsevatif, butuh pembelajaran terbuka

Pengorbanan dalam hubungan orangtua dan anak itu tak hanya dari sisi orangtua saja, lho. Orangtua jelas berkorban banyak untuk sang anak, yakni menafkahi hingga mendidik dari kecil hingga dewasa.

Lantas, apa pengorbanan anak untuk orangtuanya? Hal ini perlu menjadi bahan evaluasi berasama, khsusunya bagi orangtua dengan pemikiran yang tertutup. Berikut ulasan selengkapnya.

1. Dituntut memahami suasana hati orangtua, tapi tak jarang orangtua tak mau belajar melakukannya

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Anastasia Shuraeva)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Anastasia Shuraeva)

Ketika anak ingin berinteraksi dengan orangtuanya sendiri, tak jarang harus memperhatikan beberapa hal. Contoh sederhananya, jangan mengajak diskusi orangtua di saat pulang kerja.

Ya, seorang anak dituntut untuk paham dan belajar memberi ruang kepada orangtuanya bisa beristirahat setelah lelah bekerja. Sayangnya, tak jarang orangtua tidak bisa melakukan hal yang sebaliknya terhadap anaknya.

Umumnya, dengan dalih paling berkuasa atas anak sebagai orangtua yang menghidupinya. Maka, mau anak sedang banyak pikiran, sibuk dengan urusan pribadinya, saat dipanggil orangtua dalam kondisi suasana hati buruk pun tetap harus hadir.

Tak jarang juga sering disuruh ini dan itu, harus mau, setuju atau pun tidak. Semua itu merupakan wujud pengorbanan anak, menahan dirinya demi sopan santun kepada orangtuanya.

2. Dituntut menahan diri dari omelan orangtua yang tak jarang jadi pelampiasan lelahnya orangtua

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Pernahkah kamu mendengar istilah bahwa saat orangtua berbicara 1 paragraf, anak tak boleh menjawab lebih dari 1 kalimat? Semua itu wujud rasa sopan santun terhadap orangtua. Padahal, tak jarang anak ingin sekali memberi penjelasan saat apa yang dikatakan oleh orangtuanya itu salah. 

Menahan diri untuk tidak melakukan pembelaan atas dasar sopan santun ialah pengorbanan yang cukup menguras emosi, ya. Apalagi jika nyatanya omelan yang dalihnya sebagai perbaikan untuk anak itu nyatanya hanya pelampiasan orangtua yang lelah dengan masalah personalnya.

3. Dituntut meminta maaf terlebih dahulu atas dasar sopan santun

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Kaboompics.com)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Kaboompics.com)

Mau salah atau tidak, meminta maaf ialah kunci perdamaian dari perdebatan anak dengan orangtuanya. Orangtua dengan pengalamannya yang lebih matang dari sang anak, merasa jauh lebih paham terkait kehidupan.

Padahal, bukankah kehidupan itu dinamis? Hanya saja, anak tetap dituntut untuk tidak membantah demi rasa sopan santun. Jika silap dan perbuatan anak terasa salah di mata orangtua, maka tak perlu sudut pandang anak, hanya perlu mengucapkan maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bukankah butuh pengorbanan dan jiwa yang berlapang dada tinggi untuk menjadi anak sosok yang seperti ini? Hebat, ya.

4. Menahan diri dari gengsinya orangtua yang tidak mau mengakui kesalahan karena merasa berkuasa

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/cottonbro studio)

Menjadi sosok orangtua, bertanggung jawab atas kehidupan anaknya, merasa menjadi pembimbing anaknya. Jiwa pemimpin ini tak jarang membentuk karakter ingin dihormati, dijadikan panutan, dan berakhir punya ego dan gengsi yang tinggi.

Cara pikirnya, mana ada pembimbing yang berbuat kesalahan? Apalagi meminta maaf. Jika merasa salah, cukup mengatakan niat awalnya baik untuk mendidik anaknya, gak perlu fokus pada kesalahan. 

Sebagai anak yang menghormati orangtuanya, diharapkan tak boleh menuntut permintaan maaf dari sang orangtua. Di sinilah pengorbanan anak untuk menahan diri demi sopan santun ke orangtua atas nama melindungi rasa gengsi sang orangtua.

5. Menahan diri untuk tidak mendominasi di segala situasi, termasuk saat terhimpit

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Antoni Shkraba)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Antoni Shkraba)

Hubungan anak dan orangtua, tak jarang masih konsevatif bak atasan dan bawahan. Anak sebagai bawahan tentu tak boleh mendominasi atasannya, ya. 

Selain itu, anak juga dituntut untuk nurut dengan orangtua. Kalau menolak, siap-siap saja dengan cap anak nakal yang akan melekat di dirinya.

Alhasil, dalam kondisi terhimpit anak kerap menahan diri untuk tetap mengikuti arahan oranhgtuanya. Semua pengorbanan ini dilakukan atas dasar bakti akan sopan santun ke orangtua.

Ulasan di atas umumnya terjadi pada pola asuh orangtua dengan pemikiran yang tertutup, ya. Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran berharga untuk anak dan orangtua bisa sama-sama belajar berpikiran terbuka.

Orangtua tak perlu diktaktor untuk mendapatkan hormat serta sopan santun dari anaknya. Dengan begitu, anak juga bisa menjadikan orangtua sebagai rumah pelindung, bukan sebaliknya yang terasa menakutkan dengan dalih rasa berbakti.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us