Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Akibat Fatal Menjadikan Kesibukan Sebagai Pelarian, Segera Hentikan!

ilustrasi wanita
ilustrasi wanita (pexels.com/Mikhail Nilov)
Intinya sih...
  • Kesibukan menyebabkan kehilangan kontak dengan diri sendiri.
  • Kehadiran fisik tidak menjamin kehadiran emosional dalam hubungan.
  • Pencapaian tidak memberi kebahagiaan sejati, menciptakan gambar diri yang tidak sehat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tanpa disadari, banyak orang menjadikan kesibukan sebagai tameng untuk bersembunyi dari perasaannya sendiri. Entah perasaan sedih, patah hati, kecewa, atau duka—tiap dihantui perasaan sulit, alih-alih menghadapinya dengan berani, kamu malah bersembunyi di balik pekerjaan dan kesibukan.

Padahal, ini bisa jadi cara yang toksik dalam mengelola perasaan sendiri. Bukannya belajar untuk menghadapi dan menyelesaikan, kamu malah dengan sengaja menghindar. Bukannya sembuh, kamu justru “mematikan” perasaanmu. Berikut akibat yang akan kamu tanggung bila terus lari dari perasaan.

1. Gak benar-benar kenal diri sendiri

ilustrasi wanita merenung
ilustrasi wanita merenung (pexels.com/George Milton)

Bila setiap waktu kamu habiskan untuk bekerja dan melakukan sesuatu, kamu kehilangan kontak dengan kebutuhan, keinginan, dan perasaanmu yang sebenarnya. Kamu jadi gak yakin apa yang sebenarnya kamu inginkan, atau yang kamu butuhkan. Fokusmu mengejar hal eksternal terlalu kuat, hingga lambat laun kehilangan energi untuk mengenali diri sendiri.

Harus seimbang antara bekerja dan menyediakan waktu untuk dirimu. Kalau kesibukan kerap jadi pelarian dari perasaan, secara gak langsung menciptakan jarak dengan dirimu.

2. Hubungan yang berjarak dengan orang terdekat

ilustrasi dua wanita mengobrol
ilustrasi dua wanita mengobrol (pexels.com/George Milton)

Kehadiran secara fisik tidak menjamin kehadiran emosional. Kamu bisa berada di ruangan yang sama dengan pasangan atau keluarga, tapi tetap tenggelam dalam kesibukanmu sendiri. Ironi bukan, kamu bekerja dengan harapan memenuhi kebutuhan orang yang kamu sayang, tapi di saat yang sama kamu tidak benar-benar hadir untuk mereka.

Nantinya, kamu sendiri yang akan menyesal. Waktu gak bisa diputar ulang. Ketika semua sudah terlambat, kamu baru sadar bahwa kesibukanmu dulu tidak berarti apa-apa.

3. Gak benar-benar tahu apa yang dikejar

ilustrasi wanita di kelas
ilustrasi wanita di kelas (pexels.com/cottonbro studio)

Bukannya salah punya visi dan ambisi yang tinggi. Tapi, kamu juga harus tahu kenapa kamu mengejar visi itu. Bila kamu hanya menyibukkan diri dengan terus bekerja tanpa benar-benar paham alasannya, itu bisa menjadi bumerang yang menyakiti dirimu.

Kamu mungkin bisa mencapai ini dan itu, tapi semua terasa hampa. Senangnya pun sementara, lalu selanjutnya kamu tenggelam dalam kekosongankarena tidak benar-benar mengerti apa tujuan semua ini.

4. Gak merasakan kebahagiaan sejati

ilustrasi wanita di tempat kerja
ilustrasi wanita di tempat kerja (pexels.com/Los Muertos Crew)

Pencapaian memang bisa memberi rasa bahagia dan kepuasan. Tapi, hal itu hanya bertahan sementara. Kebahagiaan sejati datang dari kehadiran, koneksi, dan makna.

Ketika kamu terus-menerus fokus pada “apa yang harus aku lakukan selanjutnya” tanpa memberi waktu untuk diam dan refleksi, kamu bisa saja melewatkan momen indah dalam hidup. Apa arti kesibukan kalau itu malah membuatmu merasa semakin hampa?

5. Gambar diri yang gak sehat

ilustrasi bekerja di cafe
ilustrasi bekerja di cafe (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Seseorang yang menjadikan kesibukan sebagai tameng dari perasaan pasti menilai diri dari pencapaian yang diraih. Saat kegagalan datang, kamu pasti akan menyalahkan dirimu. Begitu banyak tuntutan dan ekspetasi pada diri sendiri, kamu lupa cara untuk merasa cukup.

Gambar diri yang gak sehat bisa menciptakan hubungan toksik antara kamu dengan dirimu. Sebanyak apa pun yang kamu capai, kamu gak akan pernah merasa puas. Yang ada, malah terus membandingkan diri dengan orang lain.

Ada banyak konsekuensi ketika kamu menjadikan kesibukan sebagai tameng dari perasaan. Gak seharusnya perasaan dihindari, justru itu sinyal dari dirimu bahwa ada sesuatu yang gak beres. Bagaimana kamu bisa jujur pada diri sendiri, kalau kamu kerap membungkam dirimu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Cara Mencatat Pengeluaran Liburan dengan Mudah, Gak Bikin Pusing

15 Des 2025, 16:28 WIBLife