Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Dampak Psikologis dari Soft Blocking yang Perlu Kamu Tahu

Ilustrasi seorang pria memegang ponsel (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Di era media sosial, interaksi digital bisa jadi seintim atau seberjarak yang kita inginkan. Fenomena yang sering terjadi adalah soft blocking, yaitu tindakan memblokir seseorang lalu segera membuka blokiran itu kembali agar mereka otomatis berhenti mengikuti kita. Ini sering dianggap solusi “halus” untuk menjaga ruang pribadi tanpa konfrontasi langsung.

Tapi, pernahkah kamu berpikir tentang dampak psikologis dari tindakan ini? Meski tampak sepele, soft blocking bisa meninggalkan jejak emosional yang cukup dalam, terutama jika dilakukan dalam hubungan yang dekat. Tanpa komunikasi yang jelas, soft blocking sering kali menimbulkan tanda tanya besar bagi pihak yang terkena. Dampak emosional ini bisa memicu berbagai perasaan negatif yang berlarut-larut. Yuk, kita bahas lima dampak psikologis yang perlu kamu pahami sebelum memutuskan untuk soft block seseorang!

1. Rasa ditolak dan tidak berharga

Ilustrasi seorang wanita melihat ponsel (Pexels.com/Anna Shvets)

Saat seseorang menyadari bahwa mereka telah di-soft block, rasa penolakan bisa muncul dengan kuat. Meskipun tindakan ini tidak dilakukan dengan niat jahat, otak kita sering kali menerjemahkannya sebagai tanda bahwa kita tidak diinginkan atau dihargai. Ini bisa mengganggu kepercayaan diri dan membuat seseorang merasa tidak cukup baik, terutama jika dilakukan oleh teman dekat atau pasangan.

Terlebih lagi, tanpa adanya penjelasan, mereka bisa mulai overthinking dan menyalahkan diri sendiri. Perasaan ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental, terutama bagi mereka yang sudah memiliki kecenderungan cemas atau rendah diri. Jadi, penting untuk mempertimbangkan bagaimana tindakan ini bisa memengaruhi orang lain sebelum melakukannya.

2. Kebingungan dan overthinking berlebihan

Ilustrasi seorang wanita banyak berpikir (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Tiba-tiba tidak bisa mengakses akun seseorang tanpa penjelasan dapat memicu kebingungan besar. Ini bisa membuat seseorang mulai menganalisis ulang setiap percakapan, interaksi, atau bahkan postingan terakhir mereka. Mereka akan bertanya-tanya apakah mereka melakukan sesuatu yang salah atau apakah ini hanya kesalahpahaman.

Overthinking ini bisa menguras energi emosional dan bahkan berdampak pada produktivitas sehari-hari. Ketidakpastian yang ditinggalkan oleh soft blocking sering kali lebih menyakitkan dibandingkan pemutusan hubungan yang jelas, karena tidak ada kejelasan untuk move on.

3. Perasaan kehilangan yang tidak terselesaikan

Ilustrasi seorang wanita memainkan ponsel (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Berbeda dengan unfollow atau unfriend yang masih terasa seperti keputusan sadar, soft blocking menciptakan rasa kehilangan yang tiba-tiba dan ambigu. Orang yang terkena mungkin merasa seolah-olah hubungan mereka dengan kamu hilang begitu saja tanpa peringatan.

Kehilangan yang tidak terselesaikan ini bisa membuat seseorang sulit untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidup. Mereka mungkin terus-menerus mencari jawaban atau bahkan mencoba menghubungi kamu untuk klarifikasi, yang akhirnya malah menambah beban emosional bagi kedua belah pihak.

4. Dampak pada kepercayaan dalam hubungan sosial

Ilustrasi seorang pria memainkan ponsel (Pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Setelah mengalami soft blocking, seseorang bisa mulai mempertanyakan hubungan mereka dengan orang lain. Mereka mungkin berpikir, “Kalau dia bisa melakukan ini, apakah orang lain juga bisa?” Akibatnya, mereka bisa menjadi lebih defensif, kurang percaya, atau bahkan menarik diri dari hubungan sosial.

Bagi beberapa orang, pengalaman ini bisa memperkuat perasaan bahwa mereka tidak bisa benar-benar mempercayai orang lain, terutama di dunia digital yang serba cepat ini. Ini bisa berdampak jangka panjang pada cara mereka membangun dan mempertahankan hubungan.

5. Kecenderungan untuk melakukan hal yang sama

Ilustrasi seorang wanita memainkan ponsel (Pexels.com/Sam Lion)

Saat seseorang mengalami soft blocking, mereka bisa saja akhirnya menormalisasi tindakan ini sebagai cara menghindari konflik. Mereka mungkin berpikir, “Oke, kalau orang lain bisa melakukan ini, aku juga bisa.” Akhirnya, siklus soft blocking ini bisa berulang dan menjadi kebiasaan dalam interaksi sosial mereka.

Padahal, komunikasi terbuka jauh lebih sehat daripada memutus interaksi secara diam-diam. Jika terus dilakukan, kebiasaan ini bisa menghambat kemampuan seseorang dalam menghadapi konflik secara matang dan membangun hubungan yang lebih kuat.

Soft blocking memang terlihat seperti solusi instan untuk menjaga jarak, tapi dampak psikologisnya tidak bisa dianggap remeh. Sebelum melakukannya, coba tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini satu-satunya cara? Apakah ada cara lain yang lebih sehat untuk mengomunikasikan perasaanmu? Jika memang perlu menjauh, mungkin lebih baik berbicara langsung atau setidaknya memberi sinyal yang lebih jelas. Pada akhirnya, komunikasi yang baik selalu lebih bermanfaat daripada menghilang tanpa jejak. Dengan lebih peduli pada perasaan orang lain, kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang lebih suportif dan sehat, baik di dunia nyata maupun digital. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Afifah
EditorAfifah
Follow Us