5 Filosofi Hidup Angklung, Harmonisasi Bersumber dari Kearifan Lokal

Angklung merupakan salah satu alat musik tradisional dari Indonesia yang sudah banyak dikenal di seluruh Nusantara hingga mancanegara. Eksistensi alat musik yang terbuat dari bambu ini pun menjadi kebanggaan tersendiri dari sisi keunikan harmonisasi nada yang tercipta.
Selain harmonisasi yang unik, ternyata angklung juga memiliki filosofi mendalam. Berikut ini beberapa filosofi hidup angklung, harmonisasi yang bersumber dari kearifan lokal.
1. Hidup harus saling melengkapi

Bagi urang Sunda, filosofi angklung dikaitkan dengan kehidupan manusia yabg harus saling melengkapi. Bukan tanpa alasan, hal ini dijadikan pondasi mengingat hidup itu tidak selalu sempurna hingga butuh dilengkapi.
Munculnya konsep hidup ini berawal dari makna kata angklung itu sendiri. Secara harafiah, angklung memiliki arti nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap. Hal inilah yang menjadi rujukan atas filosofi ketidaksempurnaan.
Dari angklung, ketidaksempurnaan yang ada justru menciptakan harmonisasi musik yang indah karena saling melengkapi. Begitu juga dengan hidup yang akan terasa sempurna dan penuh makna saat mau saling melengkapi satu sama lain.
2. Harmoni bisa tercipta dari perbedaan yang menyatu

Angklung juga hadir dengan filosofi penyatuan perbedaan yang berujung pada harmoni. Konsep ini merujuk pada bentuk tabung angklung yang terdiri dari berbagai ukuran dan not yang berbeda. Setiap not nada tersebut berdiri sendiri dan bahkan berbeda satu dengan lainnya.
Saat disatukan, setiap not nada justru menjadi harmoni yang utuh hingga mampu menciptakan sebuah lagu saat dimainkan secara teratur bersama-sama.
Tanpa disadari, cara angklung berbunyi menjadi kumpulan nada harmonis sejalan dengan perkembangan hidup manusia. Manusia yang berbeda tetapi mau dan mampu menyatu akan menciptakan harmoni kehidupan yabg berjalan beriringan.
3. Kekompakan, kesabaran, dan tenggang rasa menjadi kunci hidup harmonis

Dalam memainkan alat musik angklung, butuh kekompakan, kesabaran, dan tenggang rasa agar bisa membawakan lagu yang utuh. Setiap not tidak selalu berbunyi bersamaan hingga harus tahu kapan berhenti dan bermain menyesuaikn kebutuhan nada sesuai irama.
Sama halnya dengan menjalani hidup, manusia juga harus menerapkan kekompakan, kesabaran, dan tenggang rasa jika ingin membangun keharmonisan sosial. Jika dalam angklung menahan untuk membunyikan not, dalam hidup harus bisa menahan ego untuk selalu mendapat spotlight.
4. Keberhasilan membutuhkan konsentrasi tinggi

Filosifi angklung selanjutnya berhubungan dengan cara meraih keberhasilan yang membutuhkan fokus. Bukan asal menggoyangkan bambu, membangun harmonisasi nada dari angklung membutuhkan konsentrasi yang tinggi.
Setiap pemain memiliki "jatah" untuk membunyikan nadanya masing-masing sesuai arahan konduktor. Satu saja not melenceng, harmoni lagu akan buyar dan berdampak pada keseluruhan performa kelompok. Oleh karena itu, perlu kerelaan untuk mengikuti arahan pemimpin, baik dalam angklung maupun kehidupan.
5. Pemimpin menjadi pusat keselarasan

Dalam angklung, keselarasan musik juga bergantung pada pemimpin di depan. Tim angklung bisa sukses saat kepemimpinan konduktor menjadi pondasi utama dalam menyelaraskan perbedaan not untuk dibunyikan sesuai notasi lagu.
Tanggung jawab pemimpin cukup besar dalam menyatukan perbedaan. Bukan dengan memerintah tetapi merangkul anggota kelompok agar memiliki kesadaran untuk mengikuti arahan.
Belajar dari filosofi hidup angklung yang memiliki makna mendalam bagi kehidupan, harmonisasi akan bisa tercipta bagi mereka yang mau memahami. Dari kearifan lokal berbentuk musik berbahan bambu, apakah kamu sudah mampu mengambil setiap pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan?