Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Keyakinan Keliru yang Diam-diam Mengikis Harga Dirimu

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/ShotPot)
Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/ShotPot)
Intinya sih...
  • Harga diri berasal dari keyakinan internal, bukan pencapaian atau validasi eksternal.
  • Kehidupan di era 'hustle culture' bisa menyebabkan burnout dan merasa tidak berharga saat tidak sibuk.
  • Mengatakan 'tidak' adalah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri, dan gagal adalah bagian alami dari proses belajar.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah gak kamu merasa seperti ada yang salah, tapi gak tahu apa? Kamu rajin, kamu berusaha, kamu terlihat baik-baik saja dari luar. Tapi di dalam hati, ada rasa gak puas, minder, bahkan kadang ngerasa gak layak dihargai. Kalau iya, bisa jadi masalahnya bukan di seberapa keras kamu bekerja, tapi di keyakinan yang diam-diam kamu pegang tentang dirimu sendiri. Keyakinan ini gak selalu kelihatan jelas. Justru karena itu, mereka bisa tumbuh dan bertahan lama tanpa kamu sadari—sambil pelan-pelan mengikis harga dirimu dari dalam.

Harga diri itu bukan tentang seberapa populer kamu, bukan soal pencapaian atau validasi dari orang lain. Harga diri adalah tentang bagaimana kamu melihat dan menghargai dirimu sendiri. Sayangnya, kita tumbuh di lingkungan yang sering menormalisasi pola pikir keliru, bahkan menjadikannya standar. Akibatnya, kita belajar menyalahkan diri, membandingkan terus, dan merasa selalu kurang. Padahal, keyakinan keliru ini bisa dicegah, bahkan dibongkar. Yuk, kita bahas satu per satu biar kamu bisa lebih sadar dan mulai menguatkan harga dirimu dari sekarang.

1. "Aku harus selalu produktif biar merasa berharga"

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Banyak dari kita tumbuh dengan mindset bahwa nilai diri tergantung pada hasil. Gak heran kalau kamu sering merasa bersalah saat istirahat atau ngerasa gagal saat gak sibuk. Kita hidup di era hustle culture yang memuja produktivitas sampai-sampai lupa bahwa manusia bukan mesin. Keyakinan bahwa kamu cuma berharga saat kamu sibuk itu berbahaya. Lama-lama kamu jadi terjebak dalam siklus burnout, ngerasa gak pernah cukup, dan kehilangan koneksi sama diri sendiri. Padahal, kamu tetap bernilai bahkan saat sedang diam dan gak melakukan apa-apa.

Belajar istirahat itu bukan berarti kamu lemah. Justru itu tanda kamu sadar batas dan menghargai tubuh serta mentalmu. Jangan ukur harga dirimu dari to-do list. Kamu bukan cuma “apa yang kamu capai”, tapi juga “siapa kamu saat kamu berhenti sejenak.” Saat kamu bisa berdamai dengan diam dan tetap merasa cukup, di situ harga dirimu mulai tumbuh sehat.

2. "Kalau aku nolak, nanti dibilang egois"

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Los Muertos Crew)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Los Muertos Crew)

Kamu pernah ngerasa gak enakan? Sampai akhirnya kamu bilang “iya” untuk hal-hal yang sebenarnya kamu gak mau? Ini sering terjadi karena kita tumbuh dengan keyakinan bahwa menolak orang lain itu buruk, egois, dan bisa bikin kita dijauhi. Padahal, mengatakan “tidak” itu bukan berarti kamu jahat. Itu bentuk batas yang sehat. Kalau kamu terus memprioritaskan orang lain tanpa mendengarkan dirimu sendiri, lama-lama kamu bisa kehilangan arah dan jati diri.

Belajar bilang “tidak” adalah bentuk penghormatan terhadap dirimu sendiri. Ini bukan tentang jadi keras kepala atau menutup diri, tapi tentang mengerti kapan kamu harus hadir untuk orang lain dan kapan kamu harus hadir untuk dirimu sendiri. Kamu gak harus jadi orang yang selalu menyenangkan semua orang. Kamu cukup jadi orang yang jujur terhadap diri sendiri. Dan itu bukan egois—itu sehat.

3. "Kalau aku gagal, berarti gak kompeten"

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Ron Lach)

Kegagalan itu gak enak, iya. Tapi bukan berarti gagal = kamu bodoh atau gak berbakat. Sayangnya, banyak dari kita terlalu mengikat identitas diri pada hasil. Jadi ketika gagal, kita bukan hanya kecewa pada hasilnya, tapi juga mulai mempertanyakan seluruh nilai diri. Ini bahaya. Kamu bisa jadi takut mencoba, ragu ambil peluang, atau bahkan menghindari tantangan karena gak mau “terbukti” gagal.

Padahal, gagal itu bagian alami dari proses belajar. Bahkan orang-orang sukses pun pasti pernah jatuh, dan bukan cuma sekali. Yang bikin mereka terus maju adalah keyakinan bahwa gagal bukan definisi akhir. Gagal cuma data, bukan identitas. Kalau kamu bisa melihat kegagalan sebagai feedback, bukan serangan pribadi, kamu akan lebih tahan banting dan lebih percaya pada proses.

4. "Aku harus jadi sempurna biar orang lain bisa terima"

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)

Perfeksionisme sering dikira standar tinggi. Tapi sering kali, itu justru jebakan yang bikin kamu gak pernah puas. Kamu jadi takut salah, terlalu kritis terhadap diri sendiri, dan gak bisa menikmati hasil kerja kerasmu. Kamu berpikir harus selalu ‘oke’ agar orang lain gak ilfeel, padahal kenyataannya, orang lebih terkoneksi dengan kejujuran dan keotentikan, bukan kesempurnaan.

Kita semua manusia. Kita tumbuh, belajar, dan kadang berantakan. Justru dari ketidaksempurnaan itu kamu bisa tumbuh dan punya empati. Berani tampil apa adanya bukan berarti kamu pasrah, tapi kamu berani nerima bahwa kamu cukup layak dihargai meskipun belum sempurna. Jangan kejar validasi dari kesempurnaan. Kejar keberanian untuk jujur jadi dirimu sendiri.

5. "Harus selalu membandingkan diri biar berkembang"

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Ron Lach)

Banyak orang percaya bahwa perbandingan itu motivasi. Tapi hati-hati, membandingkan diri terus-menerus bisa bikin kamu kehilangan rasa syukur. Kamu jadi fokus sama kekuranganmu, dan lupa menghargai progresmu sendiri. Padahal, setiap orang punya garis start yang beda, konteks yang beda, dan jalan yang beda. Kalau kamu ukur dirimu pakai penggaris orang lain, kamu akan terus merasa kurang, bahkan saat kamu sebenarnya sudah jauh lebih baik dari dulu.

Perbandingan yang sehat itu bukan soal “siapa lebih unggul,” tapi soal “sejauh apa aku sudah berkembang dari diriku yang kemarin.” Bandingin diri dengan masa lalumu, bukan dengan hidup orang lain yang kamu lihat di media sosial. Karena yang kamu lihat di luar itu cuma highlight, bukan realita utuh. Fokus ke dirimu, rayakan tiap langkah kecil. Di situ letak pertumbuhan yang sebenarnya.

Harga diri yang sehat bukan datang dari luar, tapi tumbuh dari dalam—dari cara kamu memperlakukan dan memahami dirimu sendiri. Keyakinan keliru yang selama ini kamu anggap normal bisa pelan-pelan membentuk cara pikir yang menyabotase dirimu tanpa disadari. Tapi kabar baiknya, semua itu bisa diubah.

Kamu berhak merasa cukup, berhak bilang tidak, berhak gagal, dan tetap berharga tanpa harus jadi versi sempurna dari ekspektasi siapa pun. Jadi, mulai hari ini, coba dengarkan dirimu lebih dalam. Bukan untuk jadi egois, tapi untuk hidup lebih jujur, lebih sadar, dan lebih seimbang. Karena saat kamu mulai berdamai dengan dirimu sendiri, di situlah harga dirimu mulai pulih.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us