Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tantangan saat Belajar Menerapkan Slow Living, Malah Jadi Cemas?

ilustrasi minum kopi (pexels.com/Gustavo Fring)

Slow living atau cara hidup yang lebih lambat kini sedang menjadi tren. Banyak orang mulai menyadari bahwa hidup dengan irama yang terlalu cepat tidak baik buat kesehatan fisik, psikis, serta hubungan dengan orang-orang terdekat seperti keluarga. Mereka tidak mau waktunya habis hanya untuk bekerja.

Kegiatan yang juga gak mungkin dilakukan seumur hidup mereka. Dengan menerapkan slow living, kualitas hidup diharapkan meningkat serta mengurangi kemungkinan mengalami post power syndrome setelah pensiun. Mereka lebih menyadari berjalannya hari demi hari, menikmati waktu yang dimiliki, serta mencapai keseimbangan hidup.

Namun, jika kamu juga ingin melambatkan irama hidupmu mungkin tidak langsung berhasil. Bahkan, terkadang dirimu lantas memilih kembali ke cara hidup lama yang selalu terburu-buru. Berikut lima tantangan yang dihadapi. Slow living  tidak selalu bisa dijalankan berdasarkan keinginanmu saja.

1. Tuntutan pekerjaan belum tentu memungkinkan buat slow living

ilustrasi bangun tidur (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Semua keputusan dalam hidupmu memang ada di tanganmu. Akan tetapi, kamu juga bagian dari berbagai sistem yang lebih besar. Salah satu sistem yang berpengaruh kuat ialah pekerjaan. Dirimu yang bekerja secara tetap di sebuah kantor dan punya begitu banyak tugas tidak bebas mengubah cara hidup menjadi slow living.

Contohnya, dalam sepekan saja kamu dapat ditugaskan ke luar kota lebih dari sekali. Dirimu makan malam dan sarapan di kota yang berbeda. Saat kamu tidak ditugaskan ke luar negeri, dirimu tak hanya lembur di kantor. Pekerjaan pun selalu ada yang dibawa ke rumah dan menjadi bagian dari akhir pekanmu.

Tuntutan pekerjaan yang begitu tinggi menyulitkanmu buat menjajal cara hidup yang lebih lambat. Sekalipun kamu sangat menginginkannya, selama pekerjaanmu sama mungkin tidak akan pernah terlaksana. Pekerja lepas atau karyawan yang jam kerjanya jelas lebih mudah buat beralih ke slow living. Sementara mengambil langkah resign juga gak baik untukmu bila tak dibarengi adanya pekerjaan pengganti atau jaminan kesejahteraan dari pasangan.

2. Malah bingung mau ngapain lagi setiap melihat jam

ilustrasi menuang kopi (pexels.com/Los Muertos Crew)

Kalaupun kamu berhasil mengatur ulang pekerjaanmu, belum tentu di minggu-minggu pertama slow living  terasa nyaman untukmu. Bayanganmu tentang hidup yang gak terlalu cepat ternyata agak lain dari kenyataan. Dirimu berpikir slow living bakal membuatmu otomatis lebih bahagia. Faktanya, kamu justru merasa gelisah setiap menyadari waktu yang berjalan lebih pelan.

Contohnya, dirimu terbiasa berangkat kantor pada pagi hari dengan setengah berlari-lari. Kamu harus segera mengejar jadwal KRL. Boro-boro bikin kopi dulu di rumah, sesimpel buang air besar saja mungkin gak pernah sempat meski perut terasa tidak enak. Fokusmu setiap pagi hanyalah mengejar jam tiba di kantor. 

Jangan sampai dirimu terlambat dan uang makan dipotong atau kena peringatan. Namun setelah dengan satu dan lain cara kamu berhasil memiliki pekerjaan yang lebih santai, hari demi hari malah menjadi siksaan baru. Sehabis menyeduh dan menikmati kopi di pagi hari misalnya, dirimu tak tahu harus melakukan apa lagi. 

Kamu sudah berolahraga, bersih-bersih rumah, dan mandi. Akan tetapi, jam kerjamu baru akan dimulai 1 atau 2 jam lagi. Jika dirimu berangkat sekarang juga, tiba di sana masih kepagian. Belum ada teman dan sok sibuk lebih awal membuatmu merasa konyol.

3. Cemas kalau-kalau menjadi manusia yang gak berguna

ilustrasi cemas di rumah (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ini karena kamu sudah terbiasa sangat sibuk. Setiap kesibukanmu juga jelas mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Kehadiran bahkan sekadar tanda tangan, persetujuan, atau arahanmu selalu dinantikan rekan-rekan kerja. Setiap hari dirimu hidup dalam suasana harus melakukan sesuatu yang bertujuan jelas dan hasilnya terukur.

Ketika kecepatan hidupmu diturunkan, kecemasan pun melanda. Kegelisahanmu bukan lagi soal waktu yang seolah-olah tidak pernah cukup seperti saat kesibukanmu amat tinggi. Kamu malah cemas jangan-jangan sekarang dirimu bukan lagi manusia yang berguna. 

Tidak ada orang yang menunggu kehadiran, tanda tangan, persetujuan, atau arahanmu begitu matahari terbit. Benarkah semua itu hanya bisa menunggu sampai agak siang? Ataukah, sebetulnya dirimu memang tak pernah sepenting bayanganmu selama ini? Kamu khawatir slow living justru menurunkan kontribusimu dalam berbagai aspek kehidupan.

4. Anggapan negatif dari orang-orang di sekitar

ilustrasi membaca (pexels.com/Ksenia Chernaya)

Seperti disebutkan di awal, kamu adalah bagian dari sistem yang lebih besar. Selain sistem pekerjaan, juga sistem masyarakat. Apabila dirimu berada di tengah orang-orang yang menilai kesuksesan dari tingginya kesibukan dan hidup yang terburu-buru, slow living akan membuatmu tampak aneh.

Walaupun mereka pernah mendengar konsep hidup ini, boleh jadi di mata mereka dirimu tidak lebih dari pemalas. Mereka heran akan alasan kamu berubah dari jalan hidup yang benar menjadi semundur ini. Kamu menukar kerja keras dari pagi sampai malam bahkan hingga hampir pagi dengan lebih banyak duduk-duduk di rumah.

Dirimu tidak memperoleh dukungan dari lingkungan. Sekalipun alasanmu menjalani slow living demi kehidupan yang lebih seimbang, bermakna, dan sehat secara fisik maupun mental. Bagi mereka, kamu sedang melakukan kesalahan besar dalam hidup. Dirimu dituduh menyembunyikan kemalasan di balik seluruh dalih tersebut. 

5. Penurunan pendapatan

ilustrasi slow living (pexels.com/Yan Krukau)

Apabila mengubah kehidupanmu dari serba cepat menjadi lebih lambat berdampak besar pada pendapatan, berarti ada yang keliru. Mending jika penghasilan sekarang juga masih terbilang tinggi untuk ukuran rata-rata upah masyarakat Indonesia. Contohnya, kamu seorang pekerja lepas.

Saat hidupmu serba cepat sampai istirahat pun selalu kurang, pendapatanmu tembus Rp8 juta per bulan. Setelah kamu mencoba melambatkan irama hidup, penghasilanmu turun menjadi Rp7 juta atau Rp7,5 juta. Selisih uang yang terkumpul dalam sebulan belum terlalu berpengaruh ke pemenuhan kebutuhan dan keinginanmu.

Akan tetapi, jika selepas menjalani slow living pendapatan menurun sampai hampir 50 persen, kamu pasti merasa stres. Bila ini terjadi, jangan-jangan benar anggapan orang-orang di sekitarmu seperti dalam poin 4. Dirimu tanpa sadar jatuh ke dalam kemalasan berdalih slow living. Evaluasi dan peningkatan kembali semangat kerja mendesak buat dilakukan. 

Mengubah cara menjalani hidup memang tidak mudah dan tetap butuh penyesuaian diri. Namun, slow living diperlukan jika rasa penatmu terhadap kehidupan yang serba cepat tak lagi tertahankan. Melambatkan irama hidup penting sebagai upaya penyelamatan sebelum kamu telanjur burnout. Lakukan perubahan secara bertahap untuk mengurangi rasa gak nyaman yang timbul.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Marliana Kuswanti
EditorMarliana Kuswanti
Follow Us