Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Sebab Seseorang Tidak Bisa Memenuhi Standar yang Diciptakan Sendiri

ilustrasi merasa tertekan (unsplash.com/Christian Erfurt)
ilustrasi merasa tertekan (unsplash.com/Christian Erfurt)

Bolehkah kita memiliki standar tertentu atas suatu pencapaian? Jawabannya boleh saja. Keberadaan standar tertentu sekaligus menjadi tolok ukur. Kita bisa mengetahui kemajuan secara tepat dan terperinci. Namun demikian, tidak semua orang mampu memenuhi standar yang diciptakan.

Beberapa di antaranya justru berakhir dengan kegagalan atau memiliki pencapaian tapi masih kurang maksimal. Ternyata ada beberapa sebab seseorang tidak bisa memenuhi standar yang diciptakan sendiri. Mari kenali secara detail agar kita bisa mengantisipasi kemungkinan tersebut.

1. Tidak mampu mengelola sumber daya

ilustrasi kelelahan (pexels.com/RODNAE Priductions)
ilustrasi kelelahan (pexels.com/RODNAE Priductions)

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaan suatu standar. Justru menjadi motivasi agar kita mengarahkan kemampuan dengan optimal. Di sisi lain, beberapa orang justru tidak bisa memenuhi standar yang sudah diciptakan sendiri.

Mengapa bisa seperti ini? Barangkali dipengaruhi oleh cara dalam mengelola sumber daya. Seseorang tidak mampu mengalokasikan secara tepat dan efektif. Akibatnya, keberadaan sumber daya tidak bisa dimanfaatkan untuk meraih tujuan dalam skala besar.

2. Standar yang dibuat terlalu tinggi

ilustrasi orang perfeksionis (pexels.com/Dana Tentis)
ilustrasi orang perfeksionis (pexels.com/Dana Tentis)

Terkadang kita heran mengapa standar ini sudah diciptakan sendiri tidak bisa tercapai secara optimal. Bahkan jauh dari ekspektasi semula. Situasi demikian turut dipengaruhi oleh beberapa sebab. Mari kita cari tahu agar dapat berbenah ke arah yang lebih baik.

Di antaranya standar yang dibuat terlalu tinggi. Seseorang hanya menuruti tuntutan ambisi dan kepuasan sesaat. Namun tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain yang menyangkut kemampuan diri. Tidak heran jika standar yang dibuat hanya berakhir sebagai wacana.

3. Memiliki tuntutan yang terlalu tinggi namun minim evaluasi

ilustrasi sosok perfeksionis (pexels.com/Mikael blomkvist)
ilustrasi sosok perfeksionis (pexels.com/Mikael blomkvist)

Pernahkah menuntut diri secara berlebihan dalam meraih suatu tujuan? Contohnya, keberhasilan mutlak harus dicapai. Maupun mensyaratkan standar-standar tertentu sebagai tolok ukur pencapaian. Namun demikian, mengapa standar yang sudah dibuat justru tidak tercapai?

Barangkali kita memiliki tuntutan yang terlalu tinggi namun minin evaluasi. Kondisi demikian mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan pikiran. Dalam upaya meraih keberhasilan, seringkali melakukan kecerobohan.

4. Kurangnya keterampilan yang mendukung

ilustrasi merasa pusing (pexels.com/Thirdman)
ilustrasi merasa pusing (pexels.com/Thirdman)

Kekecewaan muncul saat sadar tidak bisa menciptakan standar yang sudah diciptakan sendiri. Bahkan merasa usaha yang dilakukan sia-sia. Atau malah menyalahkan takdir tidak berpihak. Mengapa kita tidak introspeksi diri untuk mencari penyebabnya?

Kegagalan meraih standar bisa dipengaruhi oleh keterampilan yang kurang mendukung. Terkadang, seseorang tidak memiliki kemampuan untuk meraih standar yang ditetapkan. Tidak jarang hanya mengandalkan bekerja keras, namun mengabaikan konsep kerja cerdas.

5. Tidak mampu mengontrol sifat perfeksionis

ilustrasi sosok perfeksionis (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi sosok perfeksionis (pexels.com/Mikhail Nilov)

Bolehkah kita memiliki sifat perfeksionis dalam diri? Jawabannya tentu boleh. Sifat perfeksionis justru menjadi sumber motivasi meraih pencapaian terbaik. Ini bisa terjadi ketika kita mengelola standar kesempurnaan secara bijaksana.

Tapi apa yang terjadi ketika seseorang tidak mampu mengontrol sifat perfeksionis? Di sinilah sebab tidak bisa memenuhi standar yang sudah diciptakan sendiri. Seseorang selalu merasa hasil yang sudah dicapai kurang maksimal. Kondisi seperti ini bisa memicu sikap pesimis dan rendah diri.

6. Prinsip dan pendirian yang mudah berubah

ilustrasi sosok plin-plan (pexels.com/Thirdman)
ilustrasi sosok plin-plan (pexels.com/Thirdman)

Prinsip dan pendirian merupakan dua pondasi utama agar tidak terombang-ambing. Apalagi kita dihadapkan dengan lingkungan yang susah ditebak. Tapi apa yang terjadi ketika prinsip dan pendirian justru gampang berubah?

Tentu menjadi tantangan utama. Sekaligus menjadi sebab seseorang tidak bisa memenuhi standar yang diciptakan sendiri. Saat prinsip dan pendirian memudar, akan lebih mudah terbawa arus lingkungan yang menjerumuskan.

Rasa puas dan bahagia muncul ketika berhasil meraih standar yang sudah diciptakan. Tapi apa jadinya jika berakhir dengan kegagalan? Rasa putus asa dan pesimis mungkin mendominasi. Ternyata di balik situasi tersebut juga ada penyebabnya. Dengan menyadari keenam hal di atas, semoga kita lebih mawas diri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Mutiatuz Zahro
EditorMutiatuz Zahro
Follow Us