8 Ciri Mentor Red Flag, Mending Out dari Kelas dan Belajar Sendiri

Tidak semua orang mampu tekun dan fokus untuk mempelajari sendiri sesuatu. Mentor kadang dibutuhkan buat mempercepat proses belajar. Adanya mentor juga membuatmu punya tempat bertanya sekaligus teman untuk berdiskusi. Tanpa mentor, dirimu perlu usaha lebih keras buat memecahkan berbagai kebingungan dalam belajar.
Kamu juga akan lebih sering melakukan kesalahan sampai berhasil menemukan cara yang tepat. Namun, apakah menggunakan jasa mentor menjamin keberhasilanmu di suatu bidang? Tanpa bermaksud menakut-nakuti, sebaiknya dirimu lebih berhati-hati bila hendak mengikuti mentoring.
Cari informasi dulu sebanyak mungkin tentang beberapa mentor. Jangan sampai kamu sudah mengeluarkan cukup banyak uang, tetapi tak mendapatkan manfaat yang sepadan dari program mentoring tersebut. Mentor dengan delapan ciri ini patut diwaspadai bahkan sebaiknya tak usah dihubungi lagi.
1. Habis kamu bayar, dia malah menghilang

Ini sih, sudah red flag parah. Sebenarnya membayar seluruh biaya mentoring di awal gak masalah. Sama seperti kamu mau kursus, sekolah, atau kuliah juga biasa seperti itu. Namun, mentor abal-abal malah memakai sistem ini buat menipu calon-calon muridnya.
Pekerjaannya sebenarnya bukan mentor, melainkan sekadar melakukan penipuan berkedok mentoring. Jika nilai uang yang dibayarkan cukup besar dan korbannya banyak, cari dia sampai ditemukan. Akan tetapi, bila kamu merasa ini sulit dilakukan, ke depan lebih berhati-hati dalam memilih mentor. Kalaupun suatu saat ia kembali muncul dengan program mentoring serupa atau berbeda, jangan sampai dirimu mendaftar lagi.
2. Semua materinya bisa dicari via internet

Kamu sudah telanjur mengikuti mentoring. Anehnya, semua materi yang disampaikannya dapat dengan mudah ditemukan dengan penelusuran via internet. Sekalipun apa yang disampaikannya juga ada di banyak sumber sehingga lebih tepercaya, sebetulnya kualitas mentoringnya menjadi rendah. Mentor itu gak memiliki materinya sendiri.
Kemungkinan dia cuma mengambil materi dari sana sini dan menyampaikannya di kelas. Kalau cuma begini sih, kamu bisa mencarinya sendiri bahkan barangkali sudah tahu. Materi yang pasaran juga menandakan mentor tak punya jam terbang yang tinggi di bidang yang diajarkannya. Ia hanya tahu hal-hal yang umum dan bisa dicari di internet. Bukan hal-hal yang lebih spesifik berdasarkan pengalamannya sendiri.
3. Ujung-ujungnya sibuk jualan produk atau karya sendiri

Mentor tentu perlu punya produk atau karya yang sesuai dengan bidang yang diajarkannya. Misalnya, mentor menulis seharusnya juga sudah menerbitkan beberapa buku. Begitu pula mentor UMKM punya usaha sendiri dan sebagainya. Akan tetapi, mentor yang baik tidak boleh mencampuradukkan sesi mengajar dengan berjualan produk atau karyanya sendiri.
Apabila fokusnya lebih ke menjual produk atau karya sendiri, materinya menjadi sangat bias. Seperti penulis hanya mengacu pada tulisannya sendiri sebagai contoh karya yang baik. Padahal karya tulis di dunia ini banyak sekali bahkan lebih terkenal, laku, dan lintas zaman daripada karyanya. Mentor yang sedikit-sedikit menganjurkan kamu buat membeli produk atau karyanya patut diragukan.
4. Mentoring jadi ajang merayu lawan jenis

Belajar seharusnya bisa dari siapa saja. Tak perlu memandang perbedaan jenis kelamin selama orangnya berkompeten sebagai mentor. Sayangnya, kadang ada oknum mentor yang memanfaatkan semangat belajar peserta mentoring buat tujuan pribadinya. Bukannya ia mengajar dengan sungguh-sungguh malah mendekati peserta yang ditaksirnya.
Baik itu kamu atau bukan, ini telah menjadi tanda bahwa mentor bersikap tidak profesional. Bahkan dia dapat berujung melakukan pelecehan seksual pada murid tersebut.
Ada dua hal yang bisa dirimu lakukan. Pertama, kamu berusaha melindungi teman yang menjadi sasaran PDKT-nya. Kedua, kalian atau dirimu saja yang keluar dari program mentoring itu bila teman tetap ingin bertahan.
5. Hobi menciptakan drama di kelas yang bikin suasana gak kondusif

Belajar memerlukan konsentrasi yang tinggi kalau ingin hasilnya lebih memuaskan. Jangan malah mentor sendiri yang menciptakan terlalu banyak drama. Baik kelasnya online maupun offline bakal gak nyaman bila ada banyak drama. Drama itu misalnya, dia senang membesar-besarkan masalah dengan salah satu peserta mentoring.
Mungkin peserta itu paling sulit disuruh mengerjakan tugas. Kemudian mentor tidak henti-hentinya menyindirnya. Bisa juga, ia mengevaluasi tugas peserta mentoring dengan cara yang cenderung mencela. Kritik dan saran gak disampaikan dengan baik sehingga kerap terjadi gesekan dengan murid-muridnya termasuk kamu.
Mentor seperti ini belum selesai dengan dirinya. Keinginannya untuk dihormati dan diakui sebagai orang yang lebih ahli masih sangat tinggi. Supaya dirimu bisa belajar dengan baik, kamu butuh mentor yang lebih tenang dalam menangani dan mengondisikan kelas.
6. Tak peduli pada tujuan yang ingin kamu capai

Sebelum kamu mendaftar program mentoring tentu sudah ada uraian tentang apa saja yang akan diajarkan. Namun bukan lantas setelah mentoring berjalan, mentor gak peduli dengan tujuan peserta yang lebih spesifik. Sama-sama kelas menulis misalnya, ada peserta yang hanya ingin sampai ke mampu menuliskan gagasannya.
Selama ini ia terkendala mengubah ide dalam kepala menjadi kalimat-kalimat. Sementara itu, tujuanmu lebih jauh lagi yaitu agar suatu saat nanti tulisanmu dapat menembus media massa. Mentor yang baik tahu bahwa dia perlu agak membedakan materi untukmu dengan peserta lainnya. Selain dasar-dasar menulis, dirimu juga mesti punya kepekaan akan tulisan-tulisan yang dibutuhkan serta disukai setiap media massa.
7. Minta tambahan biaya ini itu

Biaya mentoring seharusnya sudah jelas di awal. Misalnya, per paket terdiri dari sekian pertemuan dengan biaya tertentu. Baik pembayarannya mesti seluruhnya di awal atau bisa dicicil beberapa kali, semestinya gak ada lagi biaya lain-lain. Repot apabila di tengah mentoring kamu masih dimintai uang untuk ini itu.
Kamu hendak menolaknya pun pasti merasa khawatir kalau-kalau itu menghambat proses mentoring selanjutnya. Dirimu cenderung akan mengikuti permintaannya saja. Namun boleh jadi setelah permintaan uang tambahan dipenuhi, kamu malah tak memperoleh sesuatu yang dijanjikannya.
8. Tidak berpengalaman di bidang yang diajarkan

Mentor bukan sekadar penyampai isi buku. Ia harus mampu mendampingimu secara langsung dalam praktik sampai kamu menguasai apa diajarkannya. Maka kemampuan mentor tidak boleh cuma berbagi teori melainkan tips-tips yang lebih praktis. Kemampuan terakhir ini tak akan dimiliki oleh mentor yang gak punya pengalaman langsung.
Sebagai contoh, kamu ikut kelas penulisan dengan pengajar yang hanya sering menjadi penanggung jawab event menulis. Dia bukan penulis yang sesungguhnya. Karya tulisnya tidak ada. Kalaupun ada hanya berupa status-statusnya di media sosial.
Bukan buku ratusan halaman, artikel, dan cerita pendek yang terbit di media massa atau laku dijual di platform. Ia bukan orang yang tepat untuk menjadi mentormu dalam menulis. Kecuali, kamu hendak mempelajari cara membuat lomba menulis. Baru dirimu dapat berguru padanya.
Belajar bersama mentor bisa efektif hanya bila dia benar-benar berkompeten. Jika dirimu sudah lebih dari sekali punya pengalaman tidak menyenangkan ketika mengikuti mentoring, mungkin sebaiknya kamu belajar sendiri saja. Hasilnya dapat jauh lebih baik ketimbang dirimu berganti-ganti mentor yang red flag.