Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Career Shifter Lebih Rentan Burnout Dibanding Fresh Graduate

ilustrasi career shifter rentan burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi career shifter rentan burnout (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Pindah karier atau menjadi career shifter kini semakin umum dilakukan banyak orang. Mereka meninggalkan zona nyaman di bidang lama untuk mencoba hal baru yang lebih menjanjikan atau sesuai minat. Namun, proses ini seringnya membawa tantangan tersendiri, terutama terkait beban mental dan fisik yang tidak bisa diprediksi.

Career shifter kerap menghadapi tekanan yang berbeda dibanding fresh graduate yang memulai karier dari nol. Career shifter cenderung membawa pengalaman sebelumnya yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan budaya dan tuntutan baru. Berikut lima alasan career shifter lebih rentan mengalami burnout dibanding fresh graduate.

1. Adanya harapan pribadi yang tinggi

ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/energepic.com)
ilustrasi merasa tertekan (pexels.com/energepic.com)

Career shifter biasanya memiliki standar tinggi untuk diri sendiri karena ingin cepat berhasil di bidang baru. Ekspektasi ini bisa menimbulkan tekanan ekstra yang memengaruhi kesejahteraan mental. Akibatnya, mereka cenderung bekerja melebihi kemampuan fisik dan mental.

Selain itu, menetapkan harapan tinggi juga seringnya tidak realistis karena ada banyak hal di bidang baru yang sebenarnya belum mereka kuasai. Perbandingan dengan pengalaman sebelumnya membuat mereka merasa harus lebih cepat sukses. Tekanan internal ini menjadi salah satu penyebab burnout yang sering muncul.

2. Adaptasi terhadap budaya kerja baru

ilustrasi adaptasi dengan ritme kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi adaptasi dengan ritme kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)

Setiap perusahaan memiliki budaya kerja yang berbeda, mulai dari jam kerja, cara berkomunikasi, hingga ekspektasi kinerja. Career shifter harus menyesuaikan diri dengan cepat agar bisa diterima dan dianggap kompeten. Proses adaptasi ini bisa menguras energi, terutama jika mereka membandingkan diri dengan rekan yang sudah lama bekerja.

Selain itu, kurangnya pengalaman di bidang baru bisa membuat mereka rentan merasa cemas atau tidak percaya diri. Tekanan untuk cepat beradaptasi menambah risiko kelelahan mental. Dengan begitu, kemampuan mengelola stres menjadi kunci agar tidak burnout.

3. Kurangnya dukungan sosial di lingkungan baru

ilustrasi merasa terisolasi dari rekan kerja (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi merasa terisolasi dari rekan kerja (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Fresh graduate biasanya masih memiliki jaringan mentor atau teman kuliah yang bisa memberi dukungan. Sementara career shifter sering memulai dari nol di lingkungan baru tanpa teman atau mentor dekat. Hal ini membuat mereka menghadapi tantangan sendirian dan lebih mudah merasa tertekan.

Kecenderungan kurang dukungan ini dapat menimbulkan perasaan terisolasi yang bisa memengaruhi kesehatan mental. Mereka harus berusaha ekstra untuk membangun koneksi sambil mengerjakan pekerjaan baru. Kombinasi ini membuat burnout menjadi risiko nyata bagi career shifter.

4. Adanya perasaan harus tahu segalanya

ilustrasi career shifter menghadapi tantangan (pexels.com/Anna Tarazevich)
ilustrasi career shifter menghadapi tantangan (pexels.com/Anna Tarazevich)

Karena sudah punya pengalaman sebelumnya, career shifter kerap merasa harus segera menguasai semua hal di bidang baru. Tekanan untuk cepat mengerti proses, software, atau prosedur baru bisa menguras energi mental. Mereka sering membandingkan diri dengan rekan lain yang lebih berpengalaman, sehingga menambah beban psikologis.

Perasaan ini membuat mereka sulit meminta bantuan atau melakukan delegasi tugas. Akibatnya, stres akan menumpuk dan risiko kelelahan meningkat. Mengelola ekspektasi dan memberi diri waktu belajar sangat penting untuk mencegah burnout.

5. Adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan kehidupan lama dan baru

ilustrasi career shifter (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)
ilustrasi career shifter (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Career shifter tidak hanya menghadapi pekerjaan baru, tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup baru yang mungkin berbeda dari sebelumnya. Menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan kesehatan diri menjadi lebih rumit. Tekanan untuk tetap produktif di pekerjaan baru sering membuat mereka mengorbankan waktu istirahat.

Kombinasi adaptasi, ekspektasi tinggi, dan tuntutan kehidupan pribadi membuat risiko burnout meningkat. Tanpa strategi manajemen stres yang baik, career shifter bisa merasa cepat lelah. Mengatur prioritas dan batasan menjadi kunci agar tetap sehat secara fisik dan mental.

Burnout pada career shifter lebih mungkin terjadi karena tekanan internal, adaptasi baru, dan ekspektasi tinggi. Kesadaran akan risiko ini penting agar kita bisa menyiapkan strategi mengelola stres sejak awal. Dengan begitu, career shifter tetap bisa sukses di bidang baru tanpa kehilangan kesejahteraan mental.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Model Lampu Tidur Unik, Bikin Tidur Makin Nyaman

13 Okt 2025, 15:15 WIBLife