5 Alasan Ruang Bermain Harus Jadi Hak Dasar Anak Indonesia

Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia tidak bisa hanya dilihat hanya dari skor PISA (skor untuk mengukur kualitas pendidikan dan potensi SDM suatu negara), jumlah sarjana, atau pun data indeks kebugaran nasional saja. Sebelum semua itu, masyarakat perlu sebuah ruang untuk menjadi anak-anak secara utuh terlebih dahulu dan ruang bermain menjadi bentuk paling awal dari infrastruktur sosial yang berfungsi membentuk karakter bangsa guna menuju Indonesia Emas 2045. Ruang bermain harusnya bukan dipandang sekadar lahan kosong berisi perosotan maupun ayunan saja, melainkan bisa menjadi arena pertama anak-anak belajar menjadi warga negara.
Dalam kerangka Asta Cita, khususnya dalam penguatan SDM melalui pendekatan multidimensi yang mencakup pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, serta penguatan kelompok rentan, ruang bermain menyentuh hampir seluruh aspek tersebut. Hak anak atas ruang bermain di Indonesia bukan proyek tambahan tapi merupakan parameter utama dalam menilai sejauh mana negara berpihak pada masa depan. Oleh karenanya, berikut lima alasan ruang bermain harus jadi hak dasar anak Indonesia.
1. Ruang bermain merupakan sekolah kewarganegaraan pertama bagi anak

Sebelum seorang anak memahami konsep demokrasi, hukum, atau toleransi dari pelajaran di sekolah, mereka telah lebih dulu mengalaminya secara intuitif melalui interaksi saat bermain. Dalam ruang bermain, anak belajar bergiliran, tunduk pada aturan main, menyelesaikan konflik kecil secara mandiri, dan menghadapi perbedaan latar belakang sosial teman bermainnya. UNESCO dalam rilisannya bertajuk Learning to Live Together (2020) menegaskan bahwa partisipasi anak dalam permainan bersama lintas kelompok mampu menurunkan bias sosial dan membentuk nilai empati yang berkelanjutan hingga dewasa.
Jika ruang bermain hanya tersedia untuk kelompok tertentu dan tidak merata secara geografis maupun sosial-ekonomi, kita justru mencetak generasi yang tidak terbiasa menghadapi perbedaan. Artinya, ketimpangan akses terhadap ruang bermain sama dengan membiarkan anak tumbuh dalam ruang homogen yang sempit, yang bertolak belakang dari cita-cita masyarakat demokratis dan inklusif. Dalam jangka panjang, ini bisa melemahkan kohesi sosial karena warga negara tumbuh tanpa pengalaman hidup bersama yang beragam sejak usia dini.
2. Memfasilitasi pertumbuhan otak yang tidak bisa digantikan sekolah

Perkembangan kognitif anak bukan hanya bergantung pada metode belajar di ruang kelas. Penelitian terbaru dari Psychology & Behavior (2025) juga menegaskan bahwa permainan aktif di luar ruangan secara signifikan meningkatkan fungsi eksekutif otak, terutama pengendalian impuls, daya ingat kerja, dan fleksibilitas kognitif. Aspek-aspek ini menjadi pondasi untuk keberhasilan akademik jangka panjang bagi anak-anak.
Di sisi lain, bisa kita lihat adanya lonjakan paparan layar pada anak usia dini pascapandemik, yang menyebabkan penurunan atensi dan gangguan tidur. Anak yang kehilangan ruang bermain digantikan oleh dunia digital yang begitu pasif. Bila tidak segera dikoreksi, generasi yang tumbuh tanpa pengalaman sensorik dan sosial nyata akan kesulitan dalam membangun nalar, emosi, dan kapasitas relasi jangka panjang.
3. Ruang bermain inklusif adalah standar minimal, bukan kemewahan

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, jumlah anak penyandang disabilitas mencapai lebih dari 2 juta jiwa. Namun hingga hari ini, mayoritas ruang bermain di Indonesia belum memenuhi standar inklusif. Desain taman kerap tidak mempertimbangkan kebutuhan pengguna kursi roda, tidak menyediakan petunjuk visual atau audio, serta tidak memiliki permainan adaptif yang bisa diakses anak dengan gangguan motorik atau sensorik.
Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas melalui UU No. 11 Tahun 2005 dan juga UU No. 19 Tahun 2011. Artinya, menyediakan ruang bermain yang bisa diakses oleh semua anak di Indonesia merupakan mandat konstitusional, bukan pilihan yang harus dikesampingkan. Ketika anak dengan disabilitas tidak bisa bermain di ruang publik, kita bukan hanya gagal memenuhi hak mereka, tetapi juga gagal memberi kesempatan pada masyarakat untuk belajar hidup berdampingan secara utuh sejak dini.
4. Ketimpangan ruang bermain mereproduksi ketimpangan sosial antar generasi

Akses terhadap ruang bermain saat ini mencerminkan ketimpangan kelas yang semakin mengakar. Anak-anak dari keluarga menengah atas bermain di area privat yang aman, tertata, dan bersih, sementara anak dari keluarga biasa harus bermain di gang sempit, lapangan parkir, atau bahkan di jalan raya. Studi dari International Journal of Urban Policy and Planning (2024) menyebutkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan keterbatasan ruang publik cenderung mengalami keterlambatan sosial dan rendahnya partisipasi sipil saat dewasa.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ATR/BPN telah menetapkan target 30 persen ruang terbuka hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun realisasinya masih jauh dari merata. Di kota besar seperti Jakarta, proporsi RTH per kapita hanya sekitar 7,65 meter persegi, yang mana angka tersebut masih jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan minimal 9 meter persegi. Jika negara tidak segera hadir untuk mengintervensi ketimpangan ini, kita sedang memperkuat segregasi sosial sejak dini, bukan mengatasinya.
5. Ruang bermain membangun ketahanan mental anak Indonesia

Permainan di ruang terbuka berkontribusi langsung terhadap kesehatan mental anak. Di tengah meningkatnya tekanan akademik, paparan media sosial, hingga dampak jangka panjang dari pandemik, ruang bermain justru dapat berfungsi sebagai katup pelepas stres yang sehat dan aman bagi anak-anak. University of Cambridge (2012) dalam jurnal The Importance of Play menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki akses bermain bebas di luar ruangan menunjukkan tingkat stres 40 persen lebih rendah, serta kemampuan penyelesaian masalah yang lebih baik.
Di Indonesia, berdasarkan temuan dari Departemen Psikologi RSUD Wanagaya Denpasar Bali (2021) mencatat adanya gangguan kesehatan mental selama dan pascapandemik berupa perubahan emosi dan perilaku, depresi, anxiety, dan insomnia. Maka, ruang bermain bukan hanya soal infrastruktur, tetapi bagian dari sistem layanan kesehatan mental preventif untuk anak. Jika negara serius ingin membangun SDM yang tahan banting, tangguh, dan sehat secara mental, maka menyediakan ruang bermain harus menjadi bagian dari kebijakan strategis lintas sektor.
Ruang bermain bisa jadi investasi paling murah untuk masa depan paling mahal bagi anak-anak Indonesia. Indonesia. Pembangunan ruang bermain di Indonesia tidak boleh dilihat sebagai proyek tambahan jika anggaran cukup sebab ruang bermain anak harus dianggap sebagai bentuk kehadiran negara yang paling konkret dalam kehidupan anak. Negara yang berhasil menciptakan ruang bermain yang merata, aman, dan inklusif tidak hanya membangun taman bermain melainkan sedang membentuk masyarakat yang tangguh, adil, dan siap menghadapi masa depan. Jika Asta Cita merupakan blue print masa depan Indonesia yang adil dan setara, maka ruang bermain adalah fondasi yang harus ditanam hari ini bukan tahun depan, bukan setelah rapat APBD tapi sekarang, selagi anak-anak masih percaya bahwa dunia adalah tempat yang bisa mereka tempati dengan bebas, tanpa rasa takut, tanpa rasa malu, dan tanpa dibatasi oleh siapa pun.