5 Alasan Selalu Kehilangan Rasa Percaya Diri setelah Menerima Kritik

- Menerima kritik sebagai serangan, bukan proses
- Cerminan pengalaman masa lalu yang buruk
- Keberadaan standar diri yang terlalu tinggi
Menerima kritik sebenarnya adalah bagian wajar dari proses tumbuh dan belajar. Kritik menjadikan kita sebagai individu yang paham akan keunggulan dan kelemahan diri. Namun tidak semua orang bisa menyaring kritik dengan tenang. Ada yang langsung merasa kecil, minder, atau bahkan mempertanyakan seluruh kemampuan dirinya.
Setelah menerima kritik, rasa percaya diri mengalami penurunan drastis. Bahkan seseorang akan meragukan prinsip, sudut pandang, maupun keterampilan yang dimiliki. Mengapa seseorang selalu kehilangan rasa percaya diri setelah menerima kritik? Berikut alasan di baliknya.
1. Menganggap kritik sebagai serangan, bukan sebuah proses

Banyak orang yang cenderung mempersonalisasi kritik. Alih-alih melihatnya sebagai masukan untuk memperbaiki hal tertentu, mereka justru merasa seluruh dirinya sedang diserang. Ketika seseorang sudah terbiasa mengidentifikasi diri dengan penilaian orang lain, kritik kecil sekalipun bisa terasa seperti ancaman besar.
Ketidakmampuan menerima kritik dengan objektif ini membuat rasa percaya diri runtuh seketika. Karena yang diserang terasa seperti identitas, bukan tindakan. Ini membuat mereka lebih sibuk mempertanyakan nilai diri dibanding melihat kritik secara objektif.
2. Cerminan dari pengalaman masa lalu yang buruk

Rasa tidak nyaman terhadap kritik sering kali merupakan cerminan pengalaman masa lalu. Barangkali kita pernah tumbuh di lingkungan penuh tuntutan. Atau mungkin lingkungan yang mudah melempar kesalahan. Lingkungan demikian ini akan mengembangkan pola pikir bahwa kesalahan berarti buruk, dan dikritik berarti tidak cukup baik.
Setiap kritik baru memunculkan kembali emosi lama. Terdapat perasaan takut salah, takut mengecewakan, atau takut tidak diterima. Rasa cemas muncul, membuat seseorang merasa gagal sebelum sempat mencerna maksud kritik sebenarnya.
3. Keberadaan standar diri yang terlalu tinggi

Orang dengan standar diri tinggi cenderung perfeksionis. Mereka ingin hasil sempurna, dan ketika ada yang menunjukkan kekurangan, justru terasa seperti bukti bahwa dirinya belum cukup baik. Perfeksionisme demikian ini menciptakan jebakan emosional.
Tekanan tidak boleh salah, harus tampil sempurna, dan harus diterima semua orang menjadi sebuah standar. Akibatnya, kritik menjadi sesuatu yang sangat mengancam kepercayaan diri. Apalagi saatbertentangan dengan citra ideal yang sedang dikejar. Satu komentar saja bisa membuat seseorang mempertanyakan seluruh kemampuan diri.
4. Tidak terbiasa dalam mengolah emosi negatif

Menerima kritik menjadi bagian dari proses tumbuh dan berkembang. Namun demikian, kritikan kerap memicu emosi dan penurunan rasa percaya diri. Seperti kecewa, malu, tersinggung, sedih, atau takut gagal. Banyak orang tidak dilatih untuk mengelola emosi tersebut. Mereka cenderung menahan, menghindari, atau membiarkannya meledak.
Kurangnya kemampuan mengelola emosi membuat kritik terasa jauh lebih berat daripada yang sebenarnya. Alih-alih memprosesnya, justru larut dalam gejolak emosi negatif. Rasa percaya diri runtuh bukan karena isi kritiknya, tetapi karena gelombang emosi negatif yang tidak dapat ditangani dengan baik.
5. Menganggap penilaian orang lain sebagai cerminan utama nilai diri

Kehidupan di era digital membuat kita ketergantungan pada validasi eksternal. Termasuk mengukur nilai diri berdasarkan penilaian orang lain, bukan dari keyakinan internal. Kita menjadikan penerimaan dan validasi sebagai tujuan utama. Akibatnya, kritik berubah menjadi ancaman yang sangat besar.
Satu kalimat miring saja bisa cukup untuk meruntuhkan seluruh pondasi kepercayaan diri. Setiap kritik terdengar seperti tuduhan, bukan masukan. Kita tumbuh menjadi individu yang mudah hilang arah, merasa tidak layak, dan kehilangan motivasi untuk berkembang.
Rasa percaya diri yang runtuh setelah menerima kritik bukan tanda seseorang lemah. Tapi menjadi tanda emosi sekaligus pola pikir yang perlu ditata ulang. Ketika seseorang belajar memisahkan kritik dari identitas diri, menurunkan standar perfeksionis, dan membangun kekuatan dari dalam, kritik tidak lagi terasa mengancam. Ia bisa berubah menjadi batu loncatan yang menumbuhkan kemampuan.


















