Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Itu Antiintelektualisme dan Mengapa Trennya Naik?

serial Cunk on Earth (dok. BBC/Cunk on Earth)

Apa itu antiintelektualisme? Menurut definisi perpustakaan EBSCO, istilah itu merujuk pada sikap skeptis kepada pemikiran-pemikiran intelektual dan hal-hal yang berhubungan dengannya, yakni orang-orang berpendidikan. Ada anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu terlalu teoritis dan tidak punya fungsi serta hubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. 

Masalahnya, sikap antiintelektualisme sedang naik trennya seiring dengan kemunculan beberapa fenomena yang terjadi di dunia. Mulai dari pemilu AS 2016, Brexit, COVID-19, sampai sentimen terhadap kelompok elite alias kelas atas. Mengapa trennya bisa naik? Apakah ini juga terjadi di Indonesia?

1. Antiintelektualisme mengalami kenaikan tren bersamaan dengan pemilu Amerika Serikat 2016

ilustrasi meja kerja periset (Pexels.com/Ron Lach)

Seperti sudah disinggung sebelumnya, antiintelektualisme mengalami kenaikan tren seiring terjadinya fenomena-fenomena tertentu. Di Amerika Serikat, sentimen terhadap hal berbau intelek naik sejak pemilu 2016. Donald Trump dan Partai Republik sering mendeskreditkan jurnalis dan akademisi yang mengkritik argumennya. Ini diamini akademisi Matt Motta yang menulis buku Anti-Scientific Americans. 

Menurutnya Trump sengaja memanfaatkan sentimen antiintelektualisme untuk menggaet kelompok-kelompok tertentu dan meraih suara. Misalnya kelompok konservatif dan kapitalis yang menganggap krisis iklim adalah mitos. Mirisnya, keberhasilan taktik Partai Republik AS memenangkan Trump ditiru banyak partai sayap kanan di dunia. Contohnya, Brasil dan Filipina pada periode yang berdekatan.

Saat pandemik COVID-19, sikap ini menjadi-jadi ditandai dengan kemunculan konspirasi soal penyakit menular itu. Jargon-jargon antivaksin pun bertebaran. Tak hanya di Amerika Serikat, konspirasi itu menyebar secara global, seolah melawan bukti-bukti saintifik yang ada. 

2. Philomena Cunk dan komentar sarkasmenya terhadap antiintelektualisme

Di Inggris, antiintelektualisme beririsan dengan isu kelas. Brexit misalnya dipercaya sebagai fenomena yang mencerminkan rasa muak orang terhadap kelompok elite yang identik dengan intelektualisme dan mayoritas pro Uni Eropa. Kemunculan Philomena Cunk, persona yang diperankan komedian Diane Morgan dalam serial garapan Charlie Brooker (dikenal pula lewat serial laris Black Mirror) adalah bukti keresahan terhadap antiintelektualisme tersebut. 

Dalam acara talkshow-nya tersebut, Cunk sengaja melontarkan pertanyaan dan respon yang terkesan "bodoh" dan tidak nyambung seolah sedang mempermainkan para ilmuwan dan ahli yang ia undang. Kepolosannya itu dilontarkannya dengan aksen asli Morgan yang lekat dengan kelas pekerja. Sehingga tak jarang yang melihatnya sebagai bentuk perlawanan dan kritik terhadap eksklusivitas kaum intelek yang mayoritas diisi posh, alias kelompok elite atau kelas atas Inggris (dalam artian bisa mengakses pendidikan dan informasi terbaik). 

3. Opsi dapat uang mudah turut memperkuat sikap antiintelektualisme

lukisan di museum (Pexels.com/Lokman Sevim)

Satu aspek lagi yang bikin ide-ide antiintelektualisme merajalela, yaitu opsi dapat uang instan. Media sosial dan platform semacamnya memungkinkan siapa saja (tanpa melihat latar belakang pendidikan) dapat penghasilan dengan membuat konten. Ini perlahan memunculkan anggapan kalau pendidikan tak lagi sepenting dulu. Diperparah pula dengan kondisi di beberapa negara, termasuk Indonesia, yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan kenaikan jabatan apalagi penghasilan. 

Ini sempat memicu munculnya narasi-narasi antiintelektualisme seperti, "kuliah tak lagi penting", "teori tidak sepenting praktik", dan lainnya pada 2024 lalu. Apalagi biaya pendidikan dan ilmu pengetahuan (seperti buku, jurnal, kursus, karya jurnalistik independen, dll.) makin mahal sehingga menyuburkan sentimen antipengetahuan di masyarakat. Ini sayangnya sangat rawan dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang diuntungkan oleh ketidaktahuan dan apatisme.

Antiintelektualisme bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ini adalah pertanda buruk karena melanggengkan kesesatan pikir. Namun, di sisi lain bisa dilihat sebagi kritik atas ketimpangan akses pendidikan dan informasi. Susah ditampik, selama ini pengetahuan kerap dikuasai satu kaum tertentu dan mengesampingkan kelompok lainnya. Artinya, ada urgensi untuk memperluas akses pendidikan dan ilmu pengetahuan agar bisa diakses semua kalangan. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us