Kenapa Banyak Baca Malah Bikin Pikiran makin Berisik?

- Informasi yang masuk terlalu banyak dalam waktu singkat membuat otak bekerja lebih keras dan menumpuk begitu saja, sehingga kepala terasa lebih berisik setelah membaca.
- Cara pandang baru membuat hidup terasa perlu ditata ulang, memicu kecemasan dan perbandingan yang sebenarnya tidak diperlukan.
- Emosi dalam buku ikut menggerakkan emosi pembacanya, memicu overthinking dan membuat seseorang merasa rentan terhadap hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan realitas.
Membaca sering dianggap cara sederhana untuk menenangkan diri, padahal bagi sebagian orang justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Ketika sebuah buku membuka sudut pandang baru, pikiran bekerja lebih aktif untuk menghubungkannya dengan pengalaman hidup. Proses ini membuat kepala terasa penuh karena ada terlalu banyak hal yang harus diberi tempat.
Bagi beberapa orang, setelah banyak baca malah bikin pikiran makin berisik dibanding saat membaca itu sendiri. Mereka mulai membandingkan, menganalisis, atau memikirkan kembali hal-hal kecil yang sebelumnya tidak dianggap penting. Maka dari itu, berikut penjelasan lebih lengkapnya!
1. Informasi yang masuk terlalu banyak dalam waktu singkat

Membaca beberapa topik sekaligus membuat otak bekerja lebih keras untuk memproses detail-detail kecil yang datang berurutan. Setiap informasi terasa penting, meskipun sebenarnya tidak semuanya relevan. Pikiran yang tidak sempat memilahnya akan menumpuk begitu saja, sehingga wajar kalau kepala terasa lebih berisik setelah membaca. Kondisi ini sering terjadi tanpa disadari, terutama ketika kamu membaca saat sedang lelah atau sedang memikirkan hal lain.
Di sisi lain, otak hanya bisa menyimpan sebagian kecil dari apa yang dibaca. Saat ia mencoba mempertahankan informasi sebanyak mungkin, muncul rasa seperti ada banyak hal yang perlu segera dimengerti. Dorongan ini membuat fokus terpecah dan membuka jalan bagi overthinking. Alurnya sederhana yakni terlalu banyak yang masuk, tidak cukup waktu untuk mengolahnya, dan akhirnya kamu terpancing merenung lebih dalam dari yang seharusnya.
2. Cara pandang baru membuat hidup terasa perlu ditata ulang

Setiap buku membawa informasi baru yang mendorong pembacanya melihat hidup dari sisi berbeda. Ketika kamu menyerap terlalu banyak perspektif, pikiran jadi sibuk mempertanyakan keputusan sendiri. Situasi ini tidak selalu buruk, tapi bisa membuat seseorang merasa hidupnya perlu disesuaikan dengan standar yang baru ditemui. Perubahan kecil dalam cara melihat sesuatu saja bisa memicu kecemasan.
Hal ini terutama terasa saat isi buku berkaitan dengan hubungan, karier, atau pilihan hidup. Pikiran mulai membuat perbandingan yang sebenarnya tidak kamu butuhkan. Namun perbandingan itu tetap muncul karena otak berusaha menempatkan informasi ke dalam kehidupan sehari-hari. Dari luar mungkin kamu terlihat seperti merenung, tetapi di dalam kepala terasa seperti mau pecah.
3. Emosi dalam buku ikut menggerakkan emosi pembacanya

Bacaan yang membawa konflik sering memicu respons yang kuat. Saat kamu terlalu terlibat dalam cerita atau pengalaman penulis, batas antara emosi pembaca dan emosi dalam buku jadi tipis. Inilah yang membuat seseorang tiba-tiba merasa gelisah meskipun tidak mengalami masalah apa pun. Buku yang intens memang mudah menggerakkan imajinasi sekaligus meningkatkan sensitivitas seseorang.
Ketika hal ini terjadi berulang, pikiran mulai membuat skenario tambahan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan hidupmu. Kamu merasakan hal-hal yang terpicu oleh cerita, bukan oleh realitas. Kamu jadi lebih rentan terhadap overthinking. Prosesnya seperti ikut hidup di dunia lain lalu kembali tanpa benar-benar memisahkan perasaan yang terbawa.
4. Kebiasaan menghubungkan informasi dengan masalah pribadi

Saat membaca, otak otomatis mencari kaitan antara isi buku dan pengalaman hidup. Ini terjadi karena otak bekerja dengan asosiasi, bukan dengan kotak-kotak yang terpisah. Ketika satu paragraf menggambarkan situasi yang mirip dengan pengalamanmu, pikiran bergerak lebih cepat dari biasanya. Kamu mulai memikirkan ulang kejadian lama yang sebelumnya sudah selesai.
Jika ini berlangsung lama, membaca justru memperluas ruang bagi kekhawatiran yang tidak seharusnya muncul. Pikiran memunculkan kembali hal-hal yang ingin dilupakan hanya karena ada pemicunya dalam buku. Tidak semua orang menyadari pola ini, tetapi efeknya terasa jelas yakni semakin banyak membaca, semakin banyak hal kecil yang ikut dibongkar.
5. Merasa perlu untuk memahami segalanya

Ada pembaca yang merasa perlu memahami setiap detail yang mereka temui. Tidak ingin ada bagian yang terlewat atau salah dimaknai, mereka justru menambah overthinking pada diri sendiri. Alih-alih menikmati membaca, pikiran mereka terjebak pada tuntutan untuk menguasai semua isi buku.
Pada akhirnya, membaca bukan lagi proses menikmati isi cerita, tapi proses mengejar pemahaman yang tidak ada habisnya. Ketika standar terlalu tinggi, sedikit saja informasi yang tidak masuk akal, pikiran langsung berputar mencari jawaban. Dari situ muncul overthinking yang tidak berhenti sampai kamu merasa benar-benar memahami apa pun yang sedang dibaca.
Ketika banyak baca malah bikin pikiran makin berisik bukanlah tanda kamu salah pilih buku, melainkan cara otak merespons informasi yang datang terlalu cepat atau terlalu banyak. Ketika pikiran belum sempat menyelesaikan satu hal, buku berikutnya sudah membuka topik lain. Apakah kamu pernah mengalami hal serupa?


















