Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Gen Z Jago Chatting Tapi Canggung Saat Ketemu? Ini 5 Alasannya!

ilustrasi gen-z chatting melalui handphone (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Terbiasa berkomunikasi lewat layar sejak kecil, membuat Gen Z lebih nyaman dengan chatting daripada interaksi tatap muka.
  • Takut salah bicara atau tidak sesuai ekspektasi dari chatting bisa membuat Gen Z merasa canggung saat bertemu langsung.
  • Kurangnya latihan interaksi sosial dan terlalu banyak ekspektasi dari chatting juga menjadi alasan mengapa Gen Z canggung saat bertemu.

Gen Z dikenal sebagai generasi yang paling fasih dalam berkomunikasi lewat teks. Chatting bisa mengalir tanpa hambatan, penuh emoji, dan kadang terasa lebih ekspresif dibanding obrolan langsung. Tapi, saat bertemu di dunia nyata, tiba-tiba suasana jadi canggung. Fenomena ini bukan hal yang aneh. Banyak Gen Z yang merasa lebih nyaman berbicara lewat layar daripada berhadapan langsung. Ada alasan yang membuat interaksi tatap muka terasa lebih sulit dibanding chatting. Berikut lima alasan utama kenapa Gen Z bisa jago chatting tapi malah kikuk saat bertemu!

1. Terbiasa berkomunikasi lewat layar

ilustrasi gen-z chatting melalui handphone (pexels.com/Thirdman)

Sejak kecil, Gen Z sudah terbiasa menggunakan teknologi untuk berkomunikasi. Chatting, voice note, dan video call jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Interaksi lewat teks terasa lebih mudah karena bisa dipikirkan dulu sebelum dikirim. Saat bertemu langsung, tidak ada waktu untuk menyusun kata-kata dengan sempurna. Percakapan harus mengalir secara spontan, dan itu bisa bikin gugup. Apalagi kalau lawan bicara bereaksi dengan ekspresi yang sulit ditebak. Selain itu, komunikasi lewat layar memberikan rasa aman karena tidak ada tekanan untuk langsung merespons. Jika seseorang tidak tahu harus menjawab apa, mereka bisa berpikir dulu sebelum mengetik. Berbeda dengan percakapan langsung yang mengharuskan respons cepat, sehingga bisa membuat seseorang merasa tertekan.

2. Takut salah bicara atau tidak sesuai ekspektasi

ilustrasi gen-z chatting melalui handphone (pexels.com/Wendy Wei)

Saat chatting, semua bisa dikontrol. Kata-kata bisa diedit sebelum dikirim, emoji bisa membantu menyampaikan maksud, dan kalau bingung, bisa cari referensi dulu. Tapi, saat bertemu langsung, semua harus terjadi secara real-time. Banyak Gen Z yang takut salah bicara atau memberikan kesan yang berbeda dari yang mereka tunjukkan di chat. Kekhawatiran ini bisa bikin mereka lebih diam dan canggung saat bertemu. Selain itu, ekspektasi yang terbentuk dari chatting bisa berbeda dengan kenyataan. Seseorang yang terlihat humoris dan percaya diri saat chatting bisa jadi lebih pendiam saat bertemu langsung. Perbedaan ini bisa membuat kedua pihak merasa canggung karena harus menyesuaikan diri dengan versi asli dari lawan bicara.

3. Kurangnya latihan interaksi sosial

ilustrasi gen-z chatting melalui handphone (pexels.com/cottonbro studio)

Interaksi sosial secara langsung membutuhkan keterampilan yang berbeda dibanding chatting. Tatap muka melibatkan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan nada suara yang tidak bisa ditiru lewat teks. Gen Z yang lebih sering berkomunikasi lewat layar mungkin kurang terbiasa dengan dinamika percakapan langsung. Akibatnya, mereka merasa kikuk saat harus berbicara tanpa bantuan teks atau emoji. Selain itu, banyak Gen Z yang lebih nyaman berkomunikasi lewat media sosial daripada bertemu langsung. Mereka lebih sering berinteraksi lewat komentar, likes, dan DM daripada berbicara secara langsung. Kurangnya pengalaman dalam percakapan tatap muka bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri saat harus berbicara di dunia nyata.

4. Terlalu banyak ekspektasi dari chatting

ilustrasi gen-z chatting melalui handphone (pexels.com/cottonbro studio)

Saat chatting, seseorang bisa terlihat lebih percaya diri, humoris, atau ekspresif dibanding saat bertemu langsung. Percakapan lewat teks bisa membangun ekspektasi tertentu tentang kepribadian seseorang. Saat akhirnya bertemu, ekspektasi itu bisa tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini bisa membuat kedua pihak merasa canggung karena harus menyesuaikan diri dengan versi asli dari lawan bicara. Selain itu, chatting memberikan kesempatan untuk membangun persona yang lebih menarik. Seseorang bisa lebih berani mengungkapkan pendapat atau bercanda tanpa takut reaksi langsung dari lawan bicara. Saat bertemu, mereka mungkin merasa lebih tertekan karena harus mempertahankan persona yang sudah terbentuk di dunia digital.

5. Tidak ada filter seperti dichatting

ilustrasi gen-z chatting melalui handphone (pexels.com/MART PRODUCTION)

Chatting memberikan kesempatan untuk memilih kata-kata dengan hati-hati. Kalau tidak yakin, bisa dihapus dulu sebelum dikirim. Tapi, saat berbicara langsung, tidak ada tombol "hapus" atau "edit". Gen Z yang terbiasa dengan komunikasi yang bisa dikontrol mungkin merasa kurang nyaman saat harus berbicara secara spontan. Tanpa filter, mereka bisa merasa lebih rentan terhadap kesalahan atau reaksi yang tidak diharapkan. Selain itu, chatting memungkinkan seseorang untuk menghindari topik yang tidak nyaman. Jika ada pertanyaan yang sulit, mereka bisa memilih untuk tidak menjawab atau mengalihkan pembicaraan. Saat bertemu langsung, mereka tidak punya pilihan selain menghadapi percakapan secara langsung, yang bisa membuat mereka merasa lebih canggung.

Gen Z memang jago dalam komunikasi digital, tapi interaksi langsung tetap punya tantangan tersendiri. Rasa canggung saat bertemu bisa terjadi karena berbagai faktor, mulai dari kebiasaan berkomunikasi lewat layar hingga ekspektasi yang terlalu tinggi dari chatting. Meskipun begitu, keterampilan komunikasi tatap muka tetap penting. Semakin sering berlatih, semakin mudah untuk merasa nyaman saat berbicara langsung. Jadi, jangan takut untuk keluar dari zona nyaman dan mulai membiasakan diri dengan percakapan di dunia nyata!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us