Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Kita Justru Belanja Barang Gak Penting saat Ekonomi Sulit?

ilustrasi belanja daring (Pexels/cottonbro studio)
ilustrasi belanja daring (Pexels/cottonbro studio)

Saat ekonomi sulit seperti sekarang, nasihat yang paling masuk akal, mudah, dan kerap kita dengar adalah berhemat. Intinya belanja sesuai kebutuhan dan prioritaskan yang mendesak. Namun, bukannya mengikuti nasihat itu, seringkali kita justru belanja impulsif.

Polanya begini, kita memang tidak membeli barang atau jasa berharga mahal, tetapi barang-barang terjangkau yang bisa memberi efek bahagia instan. Misalnya saja kosmetik dan produk perawatan kulit, jajanan ringan, minuman manis, atau bahkan pernak-pernik maupun produk yang sebenarnya nonesensial. Mengapa kecenderungan itu bisa terjadi? Ada beberapa penelitian yang bisa menjawabnya.

1. Sebuah bentuk coping mechanism dari kesulitan hidup

produk perawatan kulit (Pexels/ Katrin Bolovtsova)
produk perawatan kulit (Pexels/ Katrin Bolovtsova)

Kecenderungan membeli barang-barang di luar kebutuhan primer saat krisis sudah pernah terjadi pada beberapa periode krisis dan ini masalah internasional. Pada krisis ekonomi global 2008-2009 misalnya, juga saat COVID-19. Dalam artikelnya untuk The Guardian, Jessica Rozen menyimpulkan bahwa perilaku belanja impulsif saat krisis erat kaitannya dengan kepuasan instan, yakni rasa nyaman dan senang yang didapat setelah kita mendapatkan apa yang kita mau dengan membeli barang yang cocok di kantong.

Lucunya, terkadang itu dilakukan dengan hitung-hitungan yang kurang jeli. Misalnya hanya tergiur diskon dan gratis ongkos kirim, padahal mungkin ada toko lain di luar sepengetahuan kita yang menawarkan harga lebih murah. Lantas, mengapa kita jadi punya kebutuhan untuk merasa senang? Kekhawatiran akibat situasi ekonomi yang sulit bisa jadi pemicunya. Belanja impulsif pun bisa dilihat sebagai bentuk coping mechanism alias mitigasi stres yang jitu.

2. Krisis mempengaruhi persepsi personal kita terhadap sebuah barang atau jasa

barang bawaan saat bepergian (Pexels/Taylor Thompson)
barang bawaan saat bepergian (Pexels/Taylor Thompson)

Ada argumen menarik lain dari Biswakarma dan Adhikari dalam tulisan mereka yang berjudul "Fear, Influence, and Scarcity: Drivers of Impulsive Buying Behavior in Nepalese Consumers amidst the COVID-19 Pandemic" di British Journal of Management and Marketing Studies. Mereka menemukan kalau tiga faktor utama yang mendorong orang belanja impulsif setidaknya di Nepal saat COVID-19. Mereka adalah kelangkaan, ketakutan, dan pengaruh orang lain (dalam bahasa kekinian disebut fear of missing out atau FOMO).

Kelangkaan dan ketakutan ini menarik karena bisa saja hanya berupa asumsi atau persepsi personal ketimbang realitas umum. Kamu bisa saja melihat promo tiket pesawat ke luar negeri sebagai peluang yang mungkin tak terulang, sehingga tergiur untuk membeli saat itu juga. Di sisi lain, ada penggemar action figure yang membeli barang incarannya sekarang karena takut di masa depan barang itu akan lebih sulit dijangkau. Entah karena inflasi atau karena memang berhenti diproduksi. Sementara pengaruh orang lain bisa berupa iklan atau obrolan dengan sesama teman yang menularkan persepsi dan kekhawatiran personal mereka kepada kita.

3. Benarkah tidak ada poinnya menabung lagi di tengah ketidakpastian ekonomi?

ilustrasi belanja daring (Pexels/Kaboompics.com)
ilustrasi belanja daring (Pexels/Kaboompics.com)

Di tengah ekonomi lesu dan masa depan yang tak pasti, tak sedikit anak muda, terutama Gen Z yang memilih bersikap YOLO (you only live once, diartikan: hidup hanya sekali). Ini mendorong seseorang untuk masa bodoh dengan jumlah uang di rekening. Alasannya tak jauh-jauh dari keterbatasan lapangan kerja, kelangkaan sumber daya, inflasi harga kebutuhan primer seperti rumah yang gila-gilaan, dan kenaikan gaji yang tak seberapa.

Namun, mentalitas ini cukup berisiko, terutama untuk penduduk negara berkembang yang minim jaminan sosial dari pemerintah. Bayangkan bila kita jatuh sakit atau kehilangan pekerjaan mendadak tanpa dana darurat dan asuransi. Penduduk negara maju mungkin bisa mengandalkan bantuan pemerintah, tetapi jangan harap kamu yang tinggal di negara seperti Indonesia bisa mendapatkannya dengan mudah.

Keputusan-keputusan finansial adalah sesuatu yang personal dan beragam bentuknya untuk setiap orang. Namun, bisa dibilang pembelian impulsif di tengah krisis adalah masalah umum semua orang. Sifat naluriah manusia yang ingin kabur atau menyelamatkan diri dari masalah dengan cara tercepat memang sulit untuk dilawan. Namun, kebiasaan yang terbentuk sejak kecil sampai literasi finansial yang kamu pelajari seiring bertambahnya usia bisa jadi kuncinya. Bisakah kamu melawan impuls untuk dapat gratifikasi instan dari belanja atau tidak?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us