Pesan Moral Home Sweet Loan: Beban Berat Anak Bungsu Plus Sandwich Gen

Home Sweet Loan menjadi film drama yang diadaptasi dari novel berjudul serupa karya Almira Bastari. Film tersebut mengangkat kisah Kaluna (Yunita Siregar) sebagai seorang sandwich generation yang terjebak dengan berbagai masalaha keluarga dan sosial.
Kisah yang diangkat dari film garapan Sabrina Rochelle Kalangie ini, dinilai realistis karena menyoroti permasalahan generasi masa kini. Dilema ingin memiliki rumah impian, namun hanya punya gaji pas-pasan. Sementara itu, harus menghidupi keluarga yang masih saling bergantung.
Konfliknya kian pelik sebab Kaluna adalah anak bungsu dengan kakak-kakak yang telah berkeluarga namun masih tinggal di rumah yang sama. Inilah pesan moral dari film Home Sweet Loan yang masih tayang di bioskop!
1. Beratnya jadi sandwich generation, harus disiplin mengatur keuangan dan kesampingkan gaya hidup mewah

Beratnya beban generasi sandwich yang harus menanggung hidup keluarga dan dirinya menjadi sorotan utama dalam film ini. Susah payah Kaluna mengatur budget untuk kebutuhan dirinya dan keluarga, plus menabung untuk rumah impian dengan pendapatan yang pas-pasan.
Keresahan khas kelas menengah yang dihadapkan pada dilema sosial ini membentuk karakter Kaluna jadi lebih tangguh. Mau gak mau, ia harus menahan diri untuk tidak mengikuti gaya hidup mewah ala generasinya. Gak sampai disitu, Kalunya juga harus patuh pada budget plan yang sudah dibuat, dan syukur-syukur bisa menabung.
Meski berat, namun Kaluna bisa, punya tabungan hingga Rp300 juta. Agaknya hal ini bisa jadi motivasi generasi muda yang mau punya rumah tapi dengan gaji pas-pasan. Sandwich generation itu berat, tapi kalau gak punya pilihan, bisa kok diusahakan punya tabungan asalkan disiplin menjaga pengeluaran.
2. Ekspektasi peran yang tinggi bikin anak bungsu gak boleh egois dan harus banyak mengalah

Konflik yang dialami Kaluna kian kompleks berkat stautusnya sebagai anak bungsu. Ekspektasi peran yang tinggi ditambah budaya patriarki yang mengakar, membuat hidup Kaluna kian pelik.
Stigma sosial memperlakukan anak bungsu sebagai anak kecil, bikin Kaluna gak punya suara dalam keluarga. Pendapatnya tidak dipertimbangkan, dalam diskusi tidak dilibatkan, tapi kalau butuh bantuan selalu jadi garda terdepan. Konflik semacam ini mungkin banyak juga dialami oleh masyarakat Indonesia.
Di satu sisi Kaluna harus jadi sosok yang tangguh, tapi di lain hal gak boleh egois. Banyak mengalah, bahkan tabungan yang sudah dikumpulkan mati-matian, harus siap dipakai anggota keluarga lain yang lebih membutuhkan.
3. Gak selalu dari keluarga, kadang support system justru datang dari luar rumah

Di tengah peliknya kehidupan, setidaknya Kaluna punya support system yang baik. Dukungan dari teman dan pasangan membawa optimisme tersendiri. Punya pasangan yang pengertian dan teman-teman yang tulus memberikan angin segar tersendiri bagi kehidupan Kaluna.
Penting untuk memiliki pasangan yang mau berkomunikasi secara terbuka, memberi dukungan emosional, hingga saling membangun kepercayaan. Tak selalu dari keluarga, support system kadang kala justru di temukan dari luar rumah.
Beberapa hal di atas mungkin bisa menjadi pandangan baru untuk kamu. Jika kamu mengalami berbagai permasalahan yang serupa dengan Kaluna, semangat terus, ya!