Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Realitas Air Bersih di Desa Ban dan Upaya SAUS untuk Mengubah Keadaan

Desa Ban, Karangasem, Bali
Desa Ban, Karangasem, Bali (instagram.com/rezariyadyid)

Di ujung timur Pulau Bali, jauh dari keramaian kafe-kafe Seminyak dan hiruk pikuk pariwisata, ada sebuah desa yang hidup berdampingan dengan sunyi. Desa Ban, namanya, sebuah wilayah kering di Kecamatan Kubu, Karangasem. Desa ini berdiri di antara gunung-gunung tinggi dan lahan tandus. Matahari terasa lebih dekat di sini, menyengat tanah yang retak dan menguras habis setiap tetes air yang disimpan warga.

Bagi penduduk desa ini, air bukan sesuatu yang tinggal diputar dari keran. Air bukan pula sesuatu yang bisa dibeli murah lewat galon isi ulang. Air adalah perjuangan. Air adalah waktu. Air adalah doa panjang yang diulang tiap musim kemarau.

Di tengah segala keterbatasan, seorang perawat honorer muda dari Klungkung, Reza Riyadi Pragita, datang membawa setitik harapan. Melalui program yang ia namai Sumber Air Untuk Sesama (SAUS), Reza mencoba melakukan hal yang terasa sederhana, tetapi mustahil bagi masyarakat Desa Ban: menghadirkan sumber air bersih yang lebih dekat dengan kehidupan warga.

1. Desa yang lama hidup dalam kehausan

Seorang ibu di Desa Ban sedang mengisi air.
Seorang ibu di Desa Ban sedang mengisi air. (instagram.com/rezariyadyid)

Desa Ban sudah lama berada dalam lingkaran masalah klasik: krisis air berkepanjangan. Topografinya yang berbukit membuat air sulit mengalir secara alami dan tersimpan di permukaan. Hujan hanya datang beberapa bulan dalam setahun. Ketika tetes terakhir menghilang, penampungan air milik warga ikut kosong.

Untuk mendapatkan air, banyak keluarga harus menempuh perjalanan hingga 5 kilometer. Ada yang mendorong gerobak berisi jeriken. Ada pula yang membawa galon di punggung sambil berjalan di bawah Matahari yang tak kenal ampun. Air menjadi barang mahal, baik secara harfiah maupun emosional.

Ketika musim kemarau tiba, harga air dari tangki bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Ini jumlah yang tidak kecil bagi sebagian besar warga dengan mata pencaharian yang bergantung pada ladang kering dan pekerjaan serabutan. Air bersih bukan hanya sulit, ia menjadi kemewahan.

Di balik kondisi ekstrem itu, masalah kesehatan pun mengikuti, seperti dehidrasi, penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan kesulitan menerapkan perilaku hidup bersih. Itu karena air begitu terbatas. Namun, masalah-masalah itu jarang terdengar ke dunia luar. Desa Ban hidup dalam diamnya, menunggu seseorang yang mau mendengarkan.

2. Pertemuan pertama yang mengubah cara pandang

Desa Ban, Karangasem, Bali
Desa Ban, Karangasem, Bali (https://www.instagram.com/rezariyadyid/)

Reza Riyady tidak tumbuh di Desa Ban. Namun, sebagai perawat, ia terbiasa melihat bagaimana kebutuhan paling dasar manusia sering kali menjadi kunci kesehatan yang sebenarnya, termasuk akses air.

Dalam sesi bincang inspiratif Anugerah Pewarta Astra 2025 (21/10/2025), Reza mengenang kembali perjalanannya. Momen pertemuan pertamanya dengan ibu-ibu Desa Ban masih membekas di ingatan. Reza melihat mereka mendorong gerobak berisi jeriken dan berjalan pelan di jalan menanjak sambil berusaha menahan lelah. “Untuk mandi saja mereka harus memilih hari,” katanya, “belum lagi untuk memasak, mencuci, minum. Air benar-benar menjadi inti dari seluruh hidup mereka.”

Di titik itulah, gagasan SAUS mulai hidup. Reza tahu ia bukan pejabat besar, pengusaha, ataupun ahli teknik lingkungan. Ia hanyalah seorang perawat. Namun, ia juga tahu bahwa perubahan tidak selalu harus datang dari orang besar. Kadang, ini perlu dimulai dari seseorang yang hanya berani berkata, “Saya mau bantu.”

3. SAUS: air sebagai gerakan untuk mengubah keadaan

komunitas Bali Tersenyum ID
komunitas Bali Tersenyum ID (https://www.instagram.com/rezariyadyid/)

SAUS bukan program raksasa yang langsung mengalirkan jutaan liter air. Ia dimulai dengan satu ide sederhana. SAUS hendak membangun bak penampungan air yang bisa diakses warga tanpa harus menempuh perjalanan jauh.

Reza mengajak komunitas Bali Tersenyum ID untuk berkolaborasi. Ia menerapkan pendekatan community as partner (CAP), sebuah model pemberdayaan yang tidak menganggap warga sebagai penerima bantuan. Namun, warga juga sebagai rekan yang setara dalam mencari solusi.

Ia mulai menggalang dana. Targetnya sederhana karena hanya ingin membangun cubang atau bak penampungan dari beton yang kuat. Harapannya, cubang ini bisa menampung air hujan atau pasokan dari truk tangki. Namun, realitas tidak semudah itu. Donasi yang masuk awalnya hanyalah Rp2,8 juta, jauh dari yang dibutuhkan.

Hampir menyerah, ia kemudian mendapat kabar mengejutkan karena seorang dermawan dari Sumatra Utara menyumbang Rp30 juta untuk membangun cubang. Bagi Reza, itu bukan hanya bantuan dana. Itu adalah bukti bahwa kebaikan bisa menular sejauh apa pun jaraknya.

Pembangunan dimulai. Warga berkumpul, mengaduk semen, mengangkut batu, memulai sesuatu yang selama ini mereka anggap mustahil. Reza menyaksikan bagaimana gotong royong menjadi bahasa harapan di desa itu. Pada Januari 2020, cubang akhirnya berdiri. Saat peresmian, hujan turun seolah alam ikut merayakan keberhasilan.

4. Sikap kecil yang begitu berarti

Ibu dan anak di Desa Ban, Karangasem, Bali.
Ibu dan anak di Desa Ban, Karangasem, Bali. (instagram.com/rezariyadyid)

Sejak cubang mulai berfungsi, akses air bersih di Ban sedikit meredam ketegangan musim kemarau. Warga tak lagi harus berjalan jauh hanya untuk isi jeriken dan beban fisik yang dulu sangat terasa mulai berkurang. Perempuan yang dulunya harus memprioritaskan mengambil air kini punya kesempatan mengalokasikan waktunya untuk hal lain.

Peningkatan kualitas hidup juga terasa dari aspek kesehatan. Air yang lebih mudah diakses berarti kebersihan rumah lebih terjaga, anak-anak bisa mandi lebih rutin, dan kebiasaan mencuci lebih teratur.

"Dampak paling nyata adalah gangguan pencernaan dan dehidrasi anak saat itu berkurang. Hal ini yang membuatku sadar kalau hal sederhana yang aku lakukan itu bisa berarti sekali," kata Reza.

Lebih dari itu, proyek SAUS membangkitkan rasa bangga dan kepemilikan. Warga Ban tidak melihat cubang sebagai “sumbangan luar”, melainkan sebagai hasil kerja mereka sendiri. Itu lahir dari kolaborasi dan keputusan kolektif.

5. Arus perubahan yang mengalir lambat

Gerakan SAUS di Desa Ban, Karangasem, Bali.
Gerakan SAUS di Desa Ban, Karangasem, Bali. (instagram.com/rezariyadyid)

Desa Ban mungkin jauh dari keramaian Bali yang sering kita lihat di Instagram, tetapi kisahnya jauh lebih dalam dan penting. Krisis air yang melanda bukan sekadar masalah musim, melainkan tantangan struktural yang sudah melekat lama. Namun, dari sana pula, lahir sesuatu yang indah: sebuah inisiatif kecil dengan semangat besar bernama SAUS, yang digerakkan oleh Reza bersama warga Ban.

Mewujudkan potensi air bawah tanah di Ban mungkin butuh waktu dan investasi besar. Namun, setiap cubang yang dibangun merupakan tonggak kecil menuju perubahan besar. Lebih dari itu, proyek ini menjadi bukti bahwa manusia bisa saling mendukung, bukan hanya dengan donasi, tetapi dengan kolaborasi tulus. Saat hujan rintik turun di bak penampungan, itu bukan hanya air yang mengisi. Itu adalah harapan yang terus tumbuh.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us

Latest in Life

See More

Perilaku Baik Kak Ros di Upin Ipin yang Jarang Diketahui

17 Nov 2025, 23:30 WIBLife