Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual Anak

Berjuang melawan tradisi dan budaya patriarki demi edukasi

Kekerasan seksual terutama pada anak-anak dan remaja kini menjadi isu besar yang sering ditemui. Jika dilihat dari kasus yang naik ke permukaan, kekerasan seksual sebenarnya sudah sering terjadi sejak dulu, namun dengan adanya perkembangan teknologi dan berbagai lembaga yang peduli, para korban kini mulai berani untuk speak up demi kesehatan mental dan psikologis mereka.

Hal ini juga membuat banyak orang tersadar bahwa tindakan kekerasan seksual harus dicegah sedini mungkin, sehingga tidak banyak lagi korban dan pelaku kekerasan seksual terutama pada anak-anak dan remaja.

Mariana Yunita Hendriyani, seorang wanita 29 tahun ini menjadi salah satu agen perubahan yang ingin membantu mengedukasi anak-anak dan remaja tentang bahaya kekerasan seksual, serta memberikan pengetahuan tentang hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) sejak dini di wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Melalui komunitas bernama Tenggara Youth Community, dirinya bersama tim berusaha keras agar kasus kekerasan seksual anak dan remaja di wilayah NTT bisa berkurang jauh. Bukan hanya itu, gerakan ini juga sekaligus menjadi harapan untuk membobol tembok besar isu kesehatan seksual yang sering dianggap tabu oleh masyarakat.

1. Berawal dari pengalaman menerima pelecehan seksual mendorongnya membuat sebuah wadah untuk bercerita

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakKegiatan Bacarita Kespro dengan Komunitas Persani (Dok. Tenggara Youth Community)

Wanita yang kerap disapa Tata ini bukanlah lulusan sekolah kesehatan seksual dan reproduksi. Dirinya pernah berkuliah di sebuah universitas di Kupang dengan jurusan Kedokteran Hewan.

Namun pengalaman menyakitkan menerima kekerasan seksual oleh kerabat dan tetangga sendiri membuatnya termotivasi untuk bergerak bersama anak-anak muda lain untuk gencar memberikan edukasi seksual sejak dini kepada anak-anak dan remaja. Tata pun menjelaskan mengapa edukasi HKSR perlu dilakukan sejak dini.

"Menurutku karena aku tidak pernah dikenalkan dengan tubuhku sendiri, itu membuat aku rentan jadi korban kekerasan seksual," jelas Tata saat diwawancara bersama Tenggara Youth Community pada Sabtu (18/12/2021).

Bersama dengan beberapa temannya, Tata mulai mendirikan Tenggara Youth Community pada 30 Agustus 2016. Salah satu program andalannya adalah edukasi yang dinamakan Bacarita Kespro. Anak-anak dan korban pelecehan seksual diharapkan mau bercerita tentang masalah kekerasan seksual yang cenderung disembunyikan karena merasa takut akan dimarahi.

Tata juga menambahkan bahwa dirinya termotivasi untuk membuat komunitas ini karena melihat hubungan antara orangtua dan anak yang masih merasa tabu untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan HKSR.

"Karena kami melihat orangtua yang di atas tidak bergerak, sama kayak ada tembok tabu dari orangtua ke anak. Jadi kami pikir mungkin kami bisa mulai duluan tanpa harus menunggu yang di atas untuk bergerak," tuturnya.

Nama Bacarita sendiri diambil dari bahasa setempat yang artinya 'bercerita'. Tata ingin agar nama programnya terasa dekat dengan lingkungan setempat agar para korban bisa lebih nyaman untuk bercerita.

2. Proses healing dari trauma korban pelecehan seksual dapat berlangsung lama

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakTata berfoto bersama salah satu anak penerima edukasi (Dok. Tenggara Youth Community)

Tata sendiri menceritakan bahwa proses healing dari kejadian pelecehan seksual yang pernah dia alami tidak dapat cepat selesai. Dia berkata bahwa sampai saat ini proses tersebut masih berlanjut. Bahkan dirinya juga masih didampingi psikolog.

"Aku penyintas, jadi alami kasus kekerasan seksual itu masih dari sangat kecil sekali, terus itu beranjak sampai aku udah SMP, SMA, bahkan saat kuliah," ungkap Tata.

Beratnya proses healing ini menjadikan Tenggara Youth Community selalu berusaha membantu memahami para korban pelecehan seksual yang sudah mau menceritakan pengalamannya.

"Korban (kekerasan seksual) kalau mengalami kejadian pertama atau yang membuat trauma mereka itu kadang-kadang hanya mau didengar dulu. Minimal ada orang yang mau dengar mereka dan tidak kasih judge atau bully mereka," ucapnya.

Kemudian dari cerita para korban, Tenggara Youth Community berusaha memberikan solusi mengikuti perspektif korban sesuai apa yang diinginkan korban, bahkan jika korban menginginkan kasusnya dihentikan, Tata dan rekan-rekannya akan mengikuti keputusan korban karena menurut mereka itu adalah hal yang utama.

Ternyata Tenggara Youth Community tak hanya komunitas untuk mengedukasi, namun beberapa anggotanya yang kebanyakan masih muda juga memiliki pengalaman pahit tentang kekerasan seksual. Sehingga bagi para anggotanya, Tenggara Youth Community bisa menjadi wadah untuk lebih mudah bercerita karena di sana mereka bertemu dengan rekan-rekan sebaya yang fokus dengan masalah yang mereka hadapi.

Tenggara Youth Community juga memberikan akses kepada para korban ke lembaga-lembaga yang bisa membantu porses healing dengan memberikan bantuan psikologis dan hukum.

3. Sempat mengalami penolakan dari beberapa kelompok masyarakat dan melawan stigma yang ada

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakSalah satu kegiatan Bacarita Kespro di Rumah Belajar Oesao (Dok. Tenggara Youth Community)

Komunitas dan program yang sangat bermanfaat ini tidak begitu saja berjalan dengan mulus. Dalam melangsungkan kegiatannya, Tenggara Youth Community sempat mendapat penolakan dari beberapa pihak termasuk kelompok gereja. Menurut mereka, edukasi kesehatan seksual ini justru dikhawatirkan mendorong anak-anak muda untuk melakukan seks bebas.

"Yang pernah kami alami itu penolakan dari kelompok gereja. Mereka mungkin punya kekhawatiran, dan itu kami sangat mengerti. Mereka masih berpikir bahwa pendidikan seksualitas itu adalah pendidikan untuk seks bebas atau mengajarkan anak-anak untuk melakukan seks bebas," ucap Tata menceritakan pengalamannya.

Stigma masyarakat tentang hal yang berbau seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Selain itu budaya patriarki dan diskriminasi perempuan yang masih kuat juga menambah sulitnya warga setempat percaya kepada Tata. Beberapa orangtua pun awalnya melarang anak-anaknya mendapatkan edukasi tentang kesehatan seksual yang dibawa Tata dan rekan-rekannya.

Padahal kesehatan seksual adalah hal yang sangat fundamental dalam diri manusia. Para orangtua biasanya hanya melarang untuk menjauhi hal yang berbau seksual tanpa memberikan alasan dan edukasi yang jelas tentang organ reproduksi. Bahkan Tata juga bercerita, bahwa dirinya saat pertama kali  menstruasi mengalami kepanikan karena tidak tahu bahwa hal itu wajar terjadi pada wanita yang beranjak dewasa.

"Aku masih ingat waktu pertama kali menstruasi itu bahkan aku kaget, dan itu dapat di sekolah jadi cukup panik, belum lagi takut di-bully sama teman-teman, dan mama itu tidak pernah kasih tahu aku dan ke adik-adikku (tentang menstruasi)," kenang Tata.

Menurut Tata dan rekan-rekannya, proses seperti itu seharusnya tidak harus menunggu dewasa untuk disampaikan, tapi anak-anak harus disiapkan menghadapi keadaan pubertas sejak masih kecil.

Baca Juga: Mengudarakan Asa Anak-anak Desa Pemuteran melalui KREDIBALI

4. Bahkan Tata harus berhadapan dengan tradisi setempat untuk memperjuangkan hak kesehatan seksual anak

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakMateri edukasi Bacarita Kespro dikemas dengan suasana menyenangkan (Dok. Tenggara Youth Community)

Di NTT ada sebuah tradisi bernama Sifon, di mana anak laki-laki disunat secara tradisional dengan menggunakan bambu, lalu diminta untuk langsung berhubungan intim dengan perempuan yang sudah dipersiapkan. Hal ini menurut Tata sangat berisiko untuk kesehatan seksual anak dan bisa menyebabkan penyakit kelamin.

Meski begitu, Tata dan rekan-rekannya terus berusaha meyakinkan masyarakat setempat dengan berunding dan menyesuaikan dengan keinginan masyarakat agar edukasi ini bisa berjalan dengan baik tanpa ada pihak yang merasa takut. Tata dan rekan-rekannya pun menyusun materi semenarik mungkin agar edukasi bisa berjalan dengan menyenangkan dan mudah dipahami anak-anak.

dm-player

"Teman-teman Tenggara lewat Bacarita Kespro selalu percaya perubahan perilaku atau pemikiran teman-teman terhadap isu HKSR tidak akan berubah kalau kita cuma datang ke sana sekali. Jadi kami selalu membuat pertemuan itu berkali-kali ke suatu komunitas atau kelompok remaja," tuturnya.

Beberapa kegiatan menyenangkan seperti mengajak anak-anak menempel gambar di kertas, berdiskui, bermain game, serta memasukkan unsur agama dalam edukasi dilakukan agar sesuai dengan lingkungan setempat. 

Akhirnya hingga kini masyarakat setempat sudah mulai paham tentang pentingnya edukasi seksual sejak dini, bahkan tradisi Sifon pun mulai ditinggalkan dan diganti dengan sunat medis yang lebih aman dan minim risiko kesehatan.

5. Penyampaian materi disesuaikan dengan usia dan pemahaman anak

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakSalah satu edukasi Bacarita Kespro dikemas dalam permainan seru (Dok. Tenggara Youth Community)

Tata mengatakan bahwa target edukasi mereka adalah anak usia PAUD atau TK hingga usia 24 tahun. Di rentang usia yang cukup luas ini, Tata dan rekan-rekannya perlu menyesuaikan materi dengan usia anak yang diedukasi.

Tata mengatakan bahwa Tenggara Youth Community perlu melakukan semacam obrolan terlebih dahulu untuk menggali lebih dalam pengalaman dan pengetahuan anak tentang kesehatan seksual, sehingga Tata dan rekan-rekan bisa menyesuaikan materi edukasi dengan pemahaman yang sudah dimiliki anak.

Tata juga mengatakan bahwa materi yang dibawakan mengikuti standar materi dari WHO. Selain itu Tata juga sempat menjadi relawan di sebuah LSM sehingga dirinya memiliki modal pemahaman serta metode untuk melakukan edukasi saat mendirikan Tenggara Youth Community.

6. Pandemik sempat menjadi tantangan untuk tetap berjuang mengedukasi kesehatan seksual anak

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakKegiatan Tenggara Youth Community selama pandemik (Dok. Tenggara Youth Community)

Memang perjuangan ke arah yang lebih baik tak selalu mulus. Pandemik COVID-19 yang dialami seluruh dunia membuat rekan-rekan di Tenggara Youth Community harus memutar otak agar edukasi tetap berjalan tanpa tatap muka langsung.

Tata mengaku awalnya cukup kesulitan menyampaikan materi edukasi secara daring karena masalah akses internet. 

"Waktu awal pandemi itu sebenarnya jujur Tenggara itu kebingungan, kan Bacarita Kespro ini metodenya bermain sambil belajar, dan kebanyakan targetnya kami itu adalah di tempat yang anak-anaknya susah punya akses ke internet, ke listrik, dan cukup membuat kami kewalahan," ungkapnya.

Awalnya Tenggara Youth Community menggunakan grup WhatsApp untuk menyampaikan materi dan hal itu terasa cukup sulit. Hingga pada akhirnya, penyampaian materi edukasi dilakukan menggunakan video melalui Zoom, Google Meet, dan live Instagram yang mendorong Tenggara Youth Community harus lebih kreatif mengemas kegiatan daring.

Lalu saat kasus COVID-19 sementara menurun, Tata bersama rekan-rekannya memberanikan diri untuk kembali melakukan edukasi tatap muka di beberapa lokasi yang sudah dianggap aman.

7. Impian besar Tata adalah memiliki banyak cabang Tenggara Youth Community agar bisa mudah diakses banyak orang

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakKegiatan Bacarita Kespro di Tuatuka (Dok. Tenggara Youth Community)

Selama lima tahun perjuangan, mulai banyak orang yang peduli tentang kesehatan seksual anak dan bergabung bersama Tata di Tenggara Youth Community. Hingga saat ini tercatat ada 42 orang menjadi anggota Tenggara Youth Community dan tersebar di beberapa kota.

"Kalau sekarang sudah 42 orang di grup untuk yang jadi anggota Tenggara dan itu mereka tidak hanya dari Kota Kupang," tuturnya.

Karena Tenggara Youth Community tak hanya menjadi sarana penyampaian edukasi tentang kesehatan seksual, tapi juga sebagai wadah untuk bercerita para anggotanya yang pernah mendapatkan pelecehan seksual, mimpi besar Tata adalah dapat melebarkan sayap Tenggara Youth Community ke daerah-daerah lain di luar NTT.

Harapannya adalah agar para korban kekerasan seksual bisa mudah mendapatkan akses untuk didampingi. Tata juga berharap agar Tenggara bisa menjadi lembaga yang memiliki legalitas agar secara mandiri bisa mendampingi teman-teman yang mengalami kekerasan seksual.

Di samping itu, Tata juga ingin agar edukasi kesehatan seksual dan reproduksi bisa menjadi ekstrakurikuler di sekolah. Serta Tata punya mimpi membuat layanan informasi dan akses bantuan untuk korban kekerasan seksual di kampus-kampus.

Selain itu Tata juga berharap kepedulian tentang kesehatan seksual bisa dilirik pemerintah setempat untuk membantu perjuangan Tenggara Youth Community. Tata mengaku saat ini komunitasnya masih sebatas berkomunikasi dan sering melakukan kegiatan bersama pemerintah daerah, sehingga dukungan yang lebih dari pemerintah sangat dibutuhkan Tata dan rekan-rekannya demi kesehatan seksual anak-anak dan remaja di NTT.

8. Terpilih menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards menjadi jalan Tenggara Youth Community untuk lebih dikenal 

Mariana Yunita, Melawan Stigma Perjuangkan Kesehatan Seksual AnakTata dalam salah satu kegiatan Tenggara Youth Community (Dok. Tenggara Youth Community)

SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards merupakan penghargaan yang diberikan oleh Astra Indonesia kepada generasi muda dan anak bangsa yang tak pernah lelah memberi manfaat bagi masyarakat dalam lima bidang. Di antaranya kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi, serta satu kategori kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Tata dengan Tenggara Youth Community-nya terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2020 di bidang kesehatan. Ia awalnya tak menyangka bahwa dirinya yang terpilih di tahun 2020 lalu.

Tata mengaku bahwa Tenggara Youth Community pernah mengikuti penghargaan ini di tahun 2018, namun belum bisa lolos ke tingkat nasional. Lalu pada tahun 2020 ada email yang mengajak Tenggara Youth Community mencoba ikut kembali di penghargaan tahunan ini.

Beruntung Tata mengikuti ajakan untuk ikut kembali, sehingga di tahun 2020 dirinya bersama Tenggara Youth Community berhasil menjadi pemenang penghargaan SATU Indonesia Awards. Tata pun menceritakan kisah menarik keterlibatannya dalam penghargaan ini.

"Sebenarnya saya bangun telat pas pengumumannya. Terus sambil nyalain Zoom stand by, sambil mandi dan siap-siap. Jadi waktu MC-nya pengumuman dan video saya diputar itu saya nggak ngeh, saya kira video semua pemenang itu diputar.

Terus di grup kami kakak-kakak yang lain bilang 'Selamat ya Tata', terus saya tanya 'Oh ini sudah pengumuman ya kak?' 'Iya sudah pengumuman ini'," kenangnya sambil tertawa.

Dengan menjadi salah satu penerima apresiasi, Tata berharap bahwa Tenggara Youth Community bisa semakin dikenal, sehingga semakin banyak orang yang peduli akan kesehatan seksual dan reproduksi anak.

"Jadi kita coba dulu (mengikuti kembali SATU Indonesia Awards) dengan tidak berkeyakinan apa-apa sih sebenarnya, karena kami hanya bilang yang penting orang-orang itu bisa kenal sama Tenggara, atau minimal tahu eksistensinya Tenggara itu di mana dan melakukan apa," ungkap Tata bercerita.

Menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards sekaligus membuka jalan bagi Tata untuk mendapatkan jaringan baru, mewujudkan impiannya membuka akses kepada korban kekerasan seksual menuju tempat yang nyaman untuk bercerita dan healing melalui Tenggara Youth Community.

Kisah Tata membuka mata kita bahwa sebuah pengalaman pahit justru memotivasi diri untuk bisa menjadi seorang yang dapat membantu orang lain yang bernasib sama, dan mencegah banyak orang lain agar tidak mengalami kekerasan seksual.

Tersenyumlah Indonesia bersama semangat Tata untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap tabu, padahal sangat penting untuk kehidupan setiap manusia. Semoga kita satu Indonesia bisa terinspirasi dari perjuangan Tata bersama Tenggara Youth Community untuk selalu mengusahakan perubahan positif kepada lingkungan sekitar.

Baca Juga: KBA Cengkareng Timur dan Antusias Warga Rawat Lingkungan Bersama

Rijalu Ahimsa Photo Verified Writer Rijalu Ahimsa

Member IDN Times Community ini sudah tidak malu-malu lagi menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya