5 Tantangan Body Positivity di Dunia Kerja, Pilih Citra dan Realitas?

- Banyak perusahaan yang masih menuntut karyawan untuk punya tubuh ideal, kulit mulus, atau wajah “representatif”. Hal ini membuat banyak orang merasa gak percaya diri.
- Komentar halus seperti, “Makin subur, ya?” atau membandingkan penampilan antarkaryawan bisa bikin stres dan mental drop.
- Tubuh "nonideal" bisa kesulitan naik jabatan, terutama di posisi yang menuntut interaksi dengan klien atau publik.
Kamu pernah mendengar istilah body positivity? Gerakan ini sebenarnya sederhana, kita diajak menerima dan menghargai tubuh sendiri apa adanya, tanpa harus terjebak standar kecantikan atau kegantengan yang sempit. Di media sosial, kampanye body positivity sudah gencar sekali, mulai dari pemengaruh (influencer) sampai jenama (brand) besar ikut menyuarakan pesan ini. Banyak orang yang merasa lebih percaya diri setelah gerakan ini populer karena akhirnya mereka bisa tampil tanpa harus memenuhi ekspektasi fisik tertentu.
Namun, lain cerita kalau konsep body positivity dibawa ke dunia kerja. Walau banyak perusahaan bilang mendukung keberagaman, realitasnya masih banyak standar penampilan yang harus dipenuhi. Ini mulai dari komentar iseng soal bentuk tubuh, aturan seragam yang gak ramah untuk semua ukuran, sampai kesempatan karier yang kadang dipengaruhi penampilan. Tantangan-tantangan ini membuat perjuangan menerapkan body positivity di kantor jauh lebih rumit daripada sekadar mengunggah foto di media sosial. Yuk, kita bahas apa saja tantangan body positivity di dunia kerja!
1. Standar penampilan yang masih melekat

Kendati banyak perusahaan sekarang mengklaim mendukung keberagaman, realitasnya standar penampilan masih jadi pertimbangan. Ada pekerjaan yang secara tersirat menuntut karyawan untuk punya tubuh ideal, kulit mulus, atau wajah “representatif”. Kamu bisa melihatnya di bagian lini depan (frontliner), seperti pramugari, teller bank, resepsionis, atau pramuniaga.
Masalahnya, standar ini membuat banyak orang yang punya tubuh berbeda merasa gak percaya diri. Bahkan, gak sedikit yang kehilangan kesempatan kerja hanya karena gak sesuai “pakem” penampilan yang dianggap ideal. Padahal, kemampuan kerja, kan, gak ada hubungannya dengan ukuran baju atau berat badan.
2. Body shaming terselubung di kantor

Bentuk tantangan lain ialah body shaming yang sering terjadi secara halus, bahkan kadang dianggap bercanda. Komentar seperti, “Wah, makin subur, ya, sekarang?” atau, “Kok kurus banget? Gak makan, ya?” Sekilas memang terdengar sepele. Namun, kalau terus-terusan diterima, bisa bikin mental drop.
Yang lebih parah, ada juga rekan kerja yang secara gak sadar membandingkan penampilan di antara karyawan, misalnya, “Kalau kamu kurang cocok pakai baju ini, kalau si A lebih oke.” Bayangkan kalau setiap hari mendengar komentar seperti itu, pasti lama-lama bikin stres. Ya, gak?
3. Kesempatan karier yang tidak merata

Di beberapa industri, penampilan fisik masih dianggap bagian dari “nilai jual”. Hal ini bisa membuat orang dengan tubuh "nonideal" kesulitan naik jabatan, terutama di posisi yang menuntut interaksi dengan klien atau publik. Akhirnya, karier jadi terhambat bukan karena skill atau kinerja, tapi karena fisik yang dianggap kurang sesuai.
Fenomena ini jelas sering jadi penyebab frustrasi. Ada orang yang kerja mati-matian, tapi promosi jatuh ke orang lain yang dianggap lebih menarik secara visual. Ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi halus yang jarang disadari.
4. Lingkungan kerja yang kurang inklusif

Gak semua perusahaan punya budaya kerja yang mendukung body positivity. Ada kantor yang masih pakai seragam dengan ukuran terbatas atau desain kursi kantor yang hanya nyaman untuk tubuh tertentu. Hal-hal kecil seperti ini bisa membuat karyawan merasa gak diakomodasi.
Selain itu, kampanye kesehatan di kantor kadang juga salah kaprah. Fokusnya sering hanya pada “menurunkan berat badan”, bukannya mendorong gaya hidup sehat yang lebih holistik. Alhasil, orang yang tubuhnya lebih besar jadi merasa tersudut.
5. Tekanan dari media sosial dan pencitraan perusahaan

Jangan lupa, banyak perusahaan sekarang berlomba-lomba menggunakan media sosial untuk membangun citra. Sering kali, perusahaan lebih memilih karyawan yang dianggap menarik dan fotogenik untuk tampil di konten promosi atau kampanye. Hal ini membuat standar penampilan makin ketat tanpa disadari.
Bagi karyawan, tekanan ini sangatlah berat. Mereka harus berusaha terlihat “sempurna” bukan hanya untuk pekerjaan sehari-hari, tapi juga untuk citra perusahaan. Akhirnya, body positivity makin sulit dijalankan.
Body positivity di dunia kerja memang penuh tantangan, dari standar penampilan yang masih kaku, body shaming halus, sampai kesempatan karier yang gak merata. Namun, kalau perusahaan dan karyawan sama-sama mau berubah, budaya kerja yang lebih sehat dan inklusif bisa tercipta. Ingat, kualitas seseorang gak bisa diukur dari bentuk tubuh. Jadi, yuk, mulai dukung body positivity, bukan hanya di media sosial, tapi juga di kantor kita sehari-hari.