5 Alasan Body Positivity Sering Gagal Diterapkan di Media Sosial

Kampanye body positivity awalnya dimaksudkan untuk memberi ruang bagi semua bentuk tubuh agar dihargai dan diterima tanpa standar kecantikan yang sempit. Media sosial menjadi salah satu kanal utama untuk menyuarakan semangat tersebut karena sifatnya yang masif dan mudah diakses banyak orang. Namun, dalam praktiknya, semangat itu tidak selalu berhasil diterapkan dengan konsisten.
Banyak unggahan yang justru berbalik memperkuat standar tubuh tertentu meskipun dibungkus dengan pesan penerimaan diri. Tidak sedikit juga yang menyalahgunakan narasi body positivity untuk mendapat validasi semu. Alih-alih membuat orang merasa lebih nyaman dengan dirinya, konten semacam itu justru menumbuhkan tekanan dan perbandingan sosial yang tak sehat. Berikut lima alasan mengapa kampanye body positivity sering gagal diterapkan secara jujur dan menyeluruh di media sosial.
1. Algoritma media sosial mengutamakan penampilan fisik

Sistem algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang paling banyak menarik interaksi seperti suka, komentar, dan bagikan. Konten yang menampilkan tubuh yang sesuai standar estetika populer cenderung lebih sering muncul di beranda pengguna media sosial. Algoritma semacam ini akan membuat unggahan bertema body positivity yang menampilkan tubuh di luar standar umum justru jarang terlihat karena dianggap kurang menarik secara visual.
Akibatnya, pesan penerimaan diri yang seharusnya inklusif jadi tersisih oleh unggahan yang tetap memperkuat standar tubuh tertentu. Orang yang mencoba tampil apa adanya justru merasa tidak mendapat tempat, bahkan kadang jadi sasaran komentar jahat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang digunakan media sosial sendiri tidak netral, tapi punya kecenderungan untuk memperkuat apa yang dianggap menarik secara komersial.
2. Pengguna media sosial sering salah kaprah dalam memahami konsepnya

Tidak semua orang memahami bahwa body positivity merupakan gerakan sosial yang sangat serius. Banyak yang menganggapnya sebatas tren visual atau caption penyemangat tanpa memahami konteks sejarah dan perjuangan kelompok marginal. Padahal, gerakan ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi tubuh, terutama yang dialami oleh mereka yang bertubuh gemuk, disabilitas, atau warna kulit tertentu.
Ketika maknanya direduksi hanya menjadi ajakan untuk "percaya diri", pesan aslinya jadi kabur. Konten yang seharusnya mendorong empati dan kesetaraan berubah menjadi ajang pembuktian diri yang dangkal. Ini membuat esensi gerakan kehilangan kekuatan politisnya dan berisiko jadi strategi pencitraan belaka di media sosial.
3. Industri kecantikan masih mendominasi narasi tubuh ideal

Meski narasi body positivity terus digaungkan, industri kecantikan tetap menjadi salah satu aktor paling dominan di media sosial. Produk-produk perawatan tubuh, suplemen diet, dan aplikasi pengubah bentuk tubuh masih mendominasi iklan dan kolaborasi dengan figur publik. Hal ini menciptakan kontradiksi antara pesan penerimaan diri dengan tekanan untuk tetap mengubah diri demi standar tertentu.
Bahkan ketika seseorang mengunggah foto dengan pesan self-love, sering kali ada produk atau jasa yang ikut dipromosikan sebagai bentuk ‘bantuan’ untuk mencintai diri sendiri. Ini memperlihatkan bagaimana kapitalisme memanfaatkan isu sosial sebagai alat pemasaran. Akibatnya, penerimaan diri jadi terasa transaksional dan tidak murni lahir dari kenyamanan pribadi.
4. Komentar pengguna menjadi sumber tekanan tambahan

Salah satu tantangan terbesar dari media sosial adalah kolom komentar yang tidak selalu ramah. Banyak unggahan bertema body positivity yang justru dibanjiri dengan komentar sinis, menyudutkan, atau menyamar sebagai “nasihat kesehatan”. Unggahan semacam ini akan menimbulkan rasa takut untuk tampil jujur, bahkan bagi mereka yang punya niat baik untuk berbagi cerita personal.
Budaya komentar yang bebas dan kadang tanpa empati membuat pengalaman berbagi menjadi tidak aman. Orang-orang yang ingin menunjukkan keberanian menerima tubuh mereka sendiri sering kali dihadapkan pada serangan verbal atau olok-olok. Ini membuat semangat body positivity sulit berkembang karena lingkungannya tidak mendukung tumbuhnya rasa aman dan penerimaan sosial.
5. Standar kehidupan media sosial membentuk ilusi kebahagiaan

Media sosial memunculkan persepsi bahwa hidup harus terlihat sempurna, termasuk soal penampilan dan penerimaan diri. Unggahan bertema body positivity pun sering kali dikemas dengan estetika tertentu, pencahayaan yang bagus, serta pose yang diatur sedemikian rupa. Tak heran kalau kemudian menciptakan standar baru yang tidak realistis, seolah penerimaan diri hanya valid jika tetap terlihat menarik.
Alih-alih menormalkan ketidaksempurnaan, banyak konten justru menghadirkan versi ‘terbaik’ dari ketidaksempurnaan itu. Akibatnya, orang merasa gagal jika tidak bisa tampil ‘apa adanya’ dengan cara yang tetap terlihat bagus. Tekanan ini membuat gerakan body positivity kehilangan keaslian dan justru menciptakan ilusi baru tentang bagaimana seharusnya mencintai tubuh sendiri.
Semangat body positivity memang layak dirayakan, tapi penerapannya di media sosial tidak selalu berjalan sesuai niat awal. Banyak faktor seperti di atas yang malah akhirnya justru menghambat gerakan ini berkembang. Supaya gerakan ini tidak jadi omong kosong, penting untuk terus mengkritisi cara kita mengonsumsi dan membagikan narasi tentang tubuh di ruang digital.