Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Dampak Psikologis dari Relationship Flexing, Jadi Mudah Cemas

Ilustrasi ponsel dan bunga
Ilustrasi ponsel dan bunga (Pexels.com/Liliana Drew)
Intinya sih...
  • Meningkatkan perasaan tidak cukup (Inadequacy) karena membandingkan hubungan dengan standar media sosial
  • Menumbuhkan perasaan cemburu dan ketidakpuasan karena melihat hubungan orang lain di media sosial
  • Meningkatkan kecemasan sosial dan ketergantungan pada validasi eksternal dari media sosial
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era digital saat ini, hampir setiap aspek kehidupan kita terhubung dengan media sosial, termasuk hubungan asmara. Salah satu tren yang marak belakangan ini adalah relationship flexing, yaitu memamerkan hubungan romantis secara berlebihan di media sosial. Dari foto berdua yang serba manis hingga status-status yang seolah-olah memperlihatkan betapa sempurnanya pasangan, relationship flexing seakan menjadi simbol status baru di dunia maya. Namun, apa yang tampaknya hanya sekadar pamer kebahagiaan, ternyata memiliki dampak psikologis yang lebih dalam dari yang kita bayangkan.

Sebagai individu, kita sering kali terjebak dalam persepsi bahwa hubungan yang dipamerkan secara terbuka adalah bentuk kesuksesan pribadi atau pencapaian emosional. Padahal, tidak jarang dampak psikologis dari kebiasaan ini bisa menimbulkan perasaan yang jauh lebih kompleks. Di bawah ini, kita akan membahas lima dampak psikologis dari relationship flexing, serta bagaimana kita bisa menghadapinya dengan lebih bijak.

1. Meningkatkan perasaan tidak cukup (Inadequacy)

Ilustrasi seorang wanita
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Polina Tankilevitc)

Ketika melihat pasangan-pasangan yang terus-menerus memamerkan momen-momen manis mereka, kita bisa merasa bahwa hubungan kita kurang baik atau bahkan gagal jika tidak sesuai dengan apa yang dilihat di media sosial. Hal ini sering kali menyebabkan perasaan tidak cukup (inadequate) atau tidak berharga. Padahal, setiap hubungan memiliki dinamika unik, dan tidak ada yang sempurna. Relationship flexing sering kali mengaburkan kenyataan, membuat kita membandingkan apa yang terlihat dengan apa yang kita rasakan secara pribadi.

Perasaan ini bisa berujung pada rasa cemas yang berkelanjutan, bahkan merusak kepercayaan diri kita. Ketika kita hanya fokus pada gambaran ideal yang ditampilkan orang lain, kita mulai meragukan kualitas hubungan kita sendiri. Kenyataannya, hubungan yang sehat tidak diukur dari berapa banyak momen yang dipamerkan di media sosial, tetapi dari kedalaman koneksi emosional dan saling pengertian antara dua individu.

2. Menumbuhkan perasaan cemburu dan ketidakpuasan

Ilustrasi pasangan
Ilustrasi pasangan (Pexels.com/Budgeron Bach)

Ketika melihat pasangan lain tampil bahagia di media sosial, kita mungkin merasa iri atau cemburu, terutama jika kita merasa hubungan kita tidak seistimewa itu. Ini adalah salah satu dampak psikologis yang sering muncul akibat relationship flexing. Rasa cemburu ini bukan hanya soal pasangan lain, tetapi juga bisa berujung pada perasaan tidak puas dengan apa yang kita miliki saat ini.

Perasaan ini jika tidak dikelola dengan baik bisa merusak hubungan. Kita mungkin menjadi terobsesi dengan pencapaian eksternal atau hal-hal yang sifatnya sekadar tampak luar, daripada berfokus pada pengembangan hubungan yang sesungguhnya. Mengingat bahwa media sosial sering kali menampilkan sisi terbaik dari hubungan, penting untuk kita ingat bahwa apa yang terlihat belum tentu menggambarkan kenyataan secara keseluruhan.

3. Meningkatkan kecemasan sosial

Ilustrasi wanita merasa cemas
Ilustrasi wanita merasa cemas (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Sebagai respons terhadap tren ini, banyak orang mulai merasa tertekan untuk memamerkan hubungan mereka di media sosial, bahkan jika mereka tidak merasa nyaman melakukannya. Akibatnya, perasaan kecemasan sosial mulai muncul, terutama ketika kita merasa bahwa ekspektasi orang lain tentang hubungan kita lebih tinggi daripada kenyataan. Ini bisa sangat mempengaruhi kesejahteraan mental kita, karena kita merasa terperangkap dalam citra yang harus terus dijaga.

Selain itu, kecemasan ini juga bisa berpengaruh pada cara kita berinteraksi dengan pasangan. Kita mungkin menjadi terlalu fokus pada apa yang harus diposting atau bagaimana kita dilihat orang lain, alih-alih benar-benar menikmati momen bersama pasangan. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak kualitas hubungan karena kita lebih fokus pada penampilan daripada pengalaman yang sesungguhnya.

4. Meningkatkan ketergantungan pada validasi eksternal

Ilustrasi pasangan
Ilustrasi pasangan (Pexels.com/Yan Krukau)

Fenomena relationship flexing sering kali memperkuat kebutuhan untuk mendapat pengakuan atau validasi dari orang lain. Ketika kita memamerkan hubungan secara berlebihan, kita secara tidak sadar mencari apresiasi atau pengakuan dari audiens kita. Hal ini dapat menciptakan ketergantungan pada validasi eksternal untuk merasakan kebahagiaan atau keberhasilan dalam hubungan kita. Ketika feedback yang diharapkan tidak datang atau tidak sesuai dengan harapan, kita bisa merasa kecewa atau bahkan kehilangan rasa percaya diri.

Kebiasaan ini berisiko membuat kita lebih fokus pada bagaimana orang lain melihat hubungan kita, daripada bagaimana kita dan pasangan merasakannya. Validasi yang sejati, pada akhirnya, datang dari dalam diri kita sendiri, bukan dari komentar atau like di media sosial. Ketika kita bisa melepaskan ketergantungan pada pandangan orang lain, hubungan kita akan menjadi lebih kuat dan lebih sehat secara emosional.

5. Meningkatkan ekspektasi yang tidak realistis

Ilustrasi pasangan
Ilustrasi pasangan (Pexels.com/cottonbro studio)

Salah satu dampak psikologis yang cukup serius dari relationship flexing adalah ekspektasi yang tidak realistis tentang apa yang seharusnya terjadi dalam sebuah hubungan. Ketika kita terus-menerus melihat pasangan lain membagikan momen-momen sempurna mereka, kita mulai mengharapkan bahwa hubungan kita sendiri juga harus selalu tampak sempurna. Hal ini bisa membuat kita merasa kecewa ketika kenyataannya hubungan kita tidak selalu berjalan mulus.

Penting untuk diingat bahwa hubungan yang sehat tidak harus selalu tampak sempurna di luar sana. Setiap pasangan menghadapi tantangan dan ketidaksempurnaan mereka sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kita menangani tantangan tersebut dan bagaimana kita berusaha untuk berkembang bersama pasangan. Menerima kenyataan bahwa tidak ada hubungan yang sempurna akan membantu kita membangun harapan yang lebih realistis dan lebih bahagia dalam jangka panjang.

Di tengah arus besar media sosial yang sering kali membentuk persepsi kita tentang hubungan, penting untuk kita tetap sadar akan dampak psikologis dari relationship flexing. Kita tidak perlu membandingkan hubungan kita dengan apa yang terlihat di luar sana, karena setiap hubungan adalah perjalanan unik yang penuh tantangan dan pembelajaran. Dalam dunia yang sering kali mengejar kesempurnaan, memilih untuk hidup dengan kesadaran dan keaslian bisa jadi langkah terbaik untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Alasan Kamu Harus Bangga dengan Setiap Pencapaian

15 Nov 2025, 22:18 WIBLife