5 Kesalahan Berempati pada Pasangan yang Bikin Hubungan Rentan Retak

Dalam hubungan asmara, empati sering dianggap sebagai kunci agar ikatan semakin kuat. Dengan memahami perasaan pasangan, kita bisa menghadirkan rasa aman dan saling mendukung. Namun, tidak semua bentuk empati tepat sasaran, ada kalanya niat baik justru berdampak buruk pada hubungan.
Terlalu berlebihan dalam menunjukkan empati bisa membuat pasangan merasa terkekang atau bahkan tidak dipercaya. Begitu juga ketika empati dilakukan hanya sebagai formalitas tanpa ketulusan, yang akhirnya membuat hubungan terasa hambar. Berikut lima kesalahan berempati pada pasangan yang justru bisa membuat hubungan retak.
1. Menganggap semua perasaan sama dengan pengalaman pribadi

Kesalahan pertama adalah ketika kita langsung menyamakan perasaan pasangan dengan pengalaman kita sendiri. Misalnya, saat pasangan merasa sedih, kita buru-buru membandingkan dengan pengalaman pribadi, seolah-olah perasaan mereka tidak berbeda. Padahal, setiap orang punya cara merasakan dan memproses emosi yang unik.
Jika terus dilakukan, pasangan bisa merasa tidak sepenuhmya dipahami. Alih-alih menenangkan, respons seperti ini justru bisa menambah jarak emosional. Empati seharusnya memberi ruang untuk mendengarkan, bukan menyamakan cerita atau menarik pengalaman kita ke dalam masalah mereka.
2. Terlalu cepat memberi solusi

Banyak orang mengira empati berarti harus segera memberikan jalan keluar. Padahal, terkadang pasangan hanya ingin didengar tanpa harus menerima nasihat atau solusi. Terlalu cepat memberi solusi bisa membuat pasangan merasa emosinya tidak divalidasi, seolah-olah masalah mereka hanya butuh diselesaikan tanpa dimengerti.
Empati yang terburu-buru dengan solusi justru bisa membuat pasangan enggan bercerita lagi. Mereka mungkin merasa tidak bebas mengekspresikan perasaan karena selalu diberi arahan. Mendengarkan dengan sabar sering kali lebih berarti dibandingkan memberi jawaban instan.
3. Mengabaikan bahasa tubuh dan ekspresi

Empati tidak hanya soal kata-kata, tetapi juga kemampuan membaca bahasa tubuh pasangan. Mengabaikan ekspresi wajah, intonasi suara, atau gestur bisa membuat kita melewatkan pesan penting dari apa yang sebenarnya mereka rasakan. Banyak konflik muncul karena pasangan merasa tidak benar-benar diperhatikan.
Ketika kita hanya fokus pada apa yang diucapkan tanpa memperhatikan sikap pasangan, maka respons kita bisa terasa hambar. Empati yang utuh perlu melibatkan perhatian penuh, baik pada kata-kata maupun ekspresi emosional. Sehingga pasangan akan merasa benar-benar dipahami.
4. Memaksakan perasaan positif

Ada kalanya kita mencoba menghibur pasangan dengan cara memaksakan mereka untuk segera bahagia. Misalnya, meminta pasangan untuk tidak sedih atau menyuruhnya segera melupakan masalah. Sekilas terdengar mendukung, tetapi sikap ini justru bisa membuat pasangan merasa diabaikan.
Emosi negatif perlu diberi ruang agar bisa diolah dengan sehat. Jika pasangan terus dipaksa merasa baik-baik saja, mereka mungkin justru merasa tidak aman untuk menunjukkan sisi rentannya. Empati seharusnya memberi kesempatan pasangan untuk mengekspresikan perasaan tanpa tekanan.
5. Menjadikan empati sebagai beban

Kesalahan terakhir adalah ketika empati berubah menjadi kewajiban yang melelahkan. Misalnya, kita merasa harus selalu ikut larut dalam masalah pasangan sampai mengorbankan diri sendiri. Perlahan, hal ini bisa menimbulkan rasa lelah emosional yang berujung pada kejenuhan hubungan.
Empati yang sehat bukan berarti menyerap semua emosi pasangan. Menjaga batasan pribadi tetap penting agar kita bisa mendukung tanpa kehilangan energi. Hubungan yang seimbang terjadi ketika keduanya saling peduli tanpa menjadikan empati sebagai beban.
Empati menjadi fondasi penting dalam hubungan, tetapi cara kita menunjukkannya harus tepat. Dengan menyadari lima kesalahan di atas, kita bisa belajar menghadirkan empati yang lebih sehat dan tulus. Hubungan yang kokoh dibangun dari ruang saling memahami, bukan niat baik yang salah arah.