Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Hal yang Bikin Orang Semakin Dewasa Semakin Enggan Menikah, Trauma?

ilustrasi menikah (pexels.com/Pavel Danilyuk)
Intinya sih...
  • Pengalaman pahit di masa kecil bisa tumbuh menjadi trauma yang membayangi hingga dewasa, mempengaruhi pandangan terhadap pernikahan.
  • Luka masa lalu yang belum selesai membuat seseorang bersikap hati-hati dalam membangun hubungan jangka panjang.
  • Kesadaran diri dan kebebasan hidup tanpa tekanan membuat beberapa orang merasa tidak membutuhkan pernikahan untuk merasa lengkap.

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa ketika seseorang semakin dewasa justru semakin ragu untuk menikah? Padahal secara usia, kemapanan, dan pengalaman hidup, fase dewasa dianggap sebagai momen paling ideal untuk membangun rumah tangga. Namun, fenomena ini justru menunjukkan hal sebaliknya: semakin banyak orang yang memilih untuk menunda, bahkan menghindari pernikahan. 

Banyak hal yang membuat seseorang mempertimbangkan ulang keputusan besar ini.  Jika kamu merasa demikian atau ingin memahami lebih dalam, berikut lima hal yang bikin seseorang makin dewasa, makin enggan menikah. Simak sampai selesai, barangkali kamu menemukan dirimu di salah satu poin berikut ini.

1. Luka masa kecil yang ikut memengaruhi pandangan terhadap pernikahan

ilustrasi luka masa kecil (pexels.com/cottonbro studio)

Pengalaman pahit di masa kecil bisa tumbuh menjadi trauma yang membayangi hingga dewasa. Entah luka dan pengalaman pahit itu berasal dari perceraian orangtua, kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan ketidakhadiran figur yang seharusnya menjadi tempat berlindung seperti ayah atau ibu. Semua itu membentuk pandangan seseorang terhadap makna pernikahan. Bagi sebagian orang dewasa, ingatan tentang rumah yang tidak damai membuat mereka takut jika harus membangun rumah yang serupa dengan trauma masa lalu.

Kamu mungkin tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan kuat, tetapi luka masa lalu yang belum selesai bisa membuatmu bersikap ekstra hati-hati dalam membangun hubungan jangka panjang. Setiap tanda konflik kecil bisa langsung memicu ketakutan akan kegagalan, membuatmu mundur sebelum semuanya menjadi lebih dalam. Menikah bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang keberanian menghadapi ketidakpastian dan tidak semua orang siap untuk itu.

2. Makin mengenal diri sendiri, makin sadar bahwa menikah bukan kebutuhan utama

ilustrasi mengenal diri sendiri (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Semakin dewasa, seseorang semakin mengenal siapa dirinya. Apa yang ia butuhkan, apa yang membuatnya nyaman, dan apa yang bisa membuatnya hancur. Kesadaran semacam ini tidak selalu sejalan dengan keinginan untuk menikah, apalagi jika hubungan itu malah berpotensi membatasi ruang gerak atau merusak kestabilan mental yang sudah dibangun dengan susah payah.

Kamu mungkin sudah cukup bahagia dengan hidupmu sendiri dengan punya pekerjaan, ruang privat, kebebasan memilih, dan kemampuan untuk sembuh dari luka tanpa tekanan. Ketika semua itu terasa utuh, kehadiran orang lain sebagai pasangan hidup kadang justru terlihat seperti risiko yang terlalu besar. Makin kenal diri bisa membuat seseorang sadar bahwa tidak semua orang membutuhkan pernikahan untuk merasa lengkap.

3. Rasa takut akan kegagalan membuatmu ragu untuk memulai komitmen

ilustrasi gagal dalam percintaan (pexels.com/RDNE Stock project)

Pernikahan adalah salah satu komitmen terbesar dalam hidup. Namun, tidak semua orang siap menaruh harapan dan kepercayaan sepenuhnya pada orang lain. Terutama ketika kamu sudah melihat sendiri banyak pernikahan yang gagal, baik dari keluarga sendiri maupun orang-orang terdekat. Setiap kisah perceraian, perselingkuhan, atau hubungan toksik menjadi pengingat bahwa cinta tidak selalu cukup untuk membuat semuanya bertahan.

Ketakutan akan kegagalan bisa sangat melumpuhkan, bahkan sebelum kamu memulai. Kamu jadi cenderung menutup diri, mempertanyakan niat setiap orang yang datang, dan sulit mempercayai bahwa ada orang yang benar-benar ingin tinggal tanpa menyakiti. Ketika rasa takut lebih besar dari keinginan untuk mencoba, maka menunda atau menolak menikah terasa seperti pilihan paling aman.

4. Kehidupan pernikahan tidak seindah itu

ilustrasi kehidupan penikahan (pexels.com/Alex Green)

Makin dewasa, seseorang juga makin sadar bahwa menikah bukan dongeng indah penuh pelukan dan kata-kata manis. Kehidupan pernikahan itu keras, penuh kompromi, dan kadang melelahkan. Banyak pasangan yang terlihat harmonis di luar, tetapi menyimpan luka yang dalam di balik pintu rumah mereka. Fakta semacam ini membuatmu bertanya-tanya: apakah kamu sanggup menjalaninya?

Kamu sudah pernah melihat bagaimana pasangan saling bertengkar karena hal-hal sepele, bagaimana perbedaan karakter bisa jadi bom waktu, dan bagaimana rutinitas bisa membunuh gairah. Semua itu bukan hal baru. Makin kamu tahu tentang realita pernikahan, makin kamu mempertanyakan, apakah kebahagiaan dalam relasi seperti itu benar-benar mungkin? Jika ya, kenapa rasanya lebih banyak orang yang tidak bahagia?

5. Prioritas hidup berubah seiring bertambahnya usia dan pengalaman

ilustrasi sibuk bekerja (pexels.com/Los Muertos Crew)

Ketika kamu masih remaja atau awal 20-an, menikah mungkin ada di daftar impian. Namun setelah menghadapi kerasnya hidup, mengenal banyak orang, dan mengalami berbagai transisi dalam hidup, prioritasmu pun bisa bergeser. Kamu mulai lebih fokus pada pertumbuhan diri, kesehatan mental, karier, atau bahkan perjalanan spiritual. Menikah tidak lagi jadi satu-satunya tujuan besar dalam hidup.

Apalagi jika kamu merasa bisa bahagia dengan cara yang tidak melibatkan pasangan. Kamu bisa menjelajah dunia, belajar hal baru, mengembangkan karier, atau menikmati kebersamaan dengan sahabat dan keluarga tanpa perlu gelar “suami” atau “istri”. Bagi sebagian orang dewasa, kebebasan dan ketenangan jauh lebih berharga dibanding komitmen yang penuh risiko. Maka tak heran jika makin dewasa, makin banyak yang memilih untuk tidak menikah.

Tidak semua orang ditakdirkan untuk hidup berdua, dan tidak semua orang siap dengan segala konsekuensi yang datang bersama komitmen jangka panjang. Bukan berarti seseorang gagal, egois, atau tidak laku hanya karena memilih untuk tidak menikah. Maka dari itu, penting untuk tidak menghakimi pilihan orang lain dalam urusan cinta dan komitmen. Karena pada akhirnya, kebahagiaan tidak selalu terletak pada status pernikahan, melainkan pada kemampuan untuk hidup jujur terhadap diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us