Aie Natasha, Gaungkan Urgensi Food Waste lewat Enable Project

Jakarta, IDN Times - Food waste atau pemborosan makanan adalah masalah global yang semakin mendesak. Setiap tahunnya, jutaan ton makanan terbuang sia-sia di seluruh dunia. Padahal, di sisi lain, banyak orang masih mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan masalah sosial dan ekonomi, tetapi juga memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan, seperti meningkatnya emisi gas rumah kaca dan pemborosan sumber daya alam.
Food waste terjadi di berbagai tahapan rantai makanan, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kesalahan dalam rantai distribusi, standar kualitas yang ketat, dan perilaku konsumen yang kurang bijak. Berangkat dari keresahan ini, Aie Natasha membangun sebuah komunitas bernama Enable Project. Komunitas ini berfokus pada urgensi food waste dan edukasi kepada masyarakat.
IDN Times berkesempatan melakukan wawancara khusus bersama Aie Natasha pada Jumat (26/7/2024) melalui daring. Aie menceritakan perjalanannya selama membangun Enable Project. Ia juga menjabarkan terkait permasalahan food waste yang mungkin belum banyak diketahui khalayak.
1. Mulai dari climate change hingga permasalahan sampah makanan menjadi pemantik Aie dalam mendirikan Enable Project

Enable Project didirikan pada tahun 2020 atau tepatnya ketika masa pandemi. Hal pertama yang memantik Aie dalam mendirikan komunitas ini adalah selepas ia mengikuti bootcamp Climate Reality Indonesia. Ia menjelaskan, bootcamp ini berusaha memberikan pengarahan terkait isu yang krusial, tetapi jarang 'dilirik' oleh generasi muda atau komunitas.
Lebih lanjut, Aie menjelaskan bahwa tema besar yang dibahas adalah climate change dan berfokus pada ketahanan pangan. Dari situ, ia mendapatkan fakta bahwa ternyata sampah makanan menjadi isu yang cukup masif, tetapi masih kurang mendapatkan perhatian.
"Dari ketahanan pangan itu aku melihat bahwa ketika kita breakdown ke dalam waste atau limbah, kan lebih banyak orang mengadvokasikan tentang an organic waste (sampah yang sifatnya bukan organik). Sedangkan organiknya jarang. Pada saat itu juga, di tahun pandemi, ternyata itu banyak sekali sampah yang berkaitan dengan sampah makanan," jelasnya.
Dari situ lah Aie akhirnya mulai membangun Enable Project. Ada pun fokus utama komunitas ini adalah urgensi terkait permasalahan food waste. Enable Project berusaha mengajak dan mengedukasi masyarakat agar peduli terhadap masalah sampah makanan.
2. Skenario yang memilukan, sampah makanan menumpuk dan di sisi lain kelaparan masih terjadi secara masif

Permasalahan food waste memang gak bisa dianggap sepele. Pasalnya, penumpukan sampah makanan memang semakin memburuk. Namun, di sisi lain, banyak juga masyarakat yang masih mengalami kelaparan. Tentunya, ini menjadi skenario yang bertolak belakang dan memilukan.
"Kalau memang kita ini masih kekurangan makanan, kan harusnya gak membuang makanan. Tapi kenyataannya gak seperti itu. Nah, makanya Enable Project hadir untuk menjawab tantangan itu," tegas Aie.
Makanan yang berakhir di tempat pembuangan sampah juga menghasilkan gas metana, yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Skenario ini menunjukkan betapa pentingnya mengatasi food waste sebagai langkah penting dalam mengurangi kelaparan dan memperbaiki kondisi lingkungan.
3. Saat ini, Enable Project fokus pada keterlibatan sosial untuk pengelolaan sampah makanan

Di awal berdirinya Enable Project pada tahun 2020, fokusnya adalah memberikan edukasi sosial melalui daring. Karena pada saat itu sedang dalam masa pandemi juga. Seiring berjalannya waktu, Enable Project mulai fokus pada implementasi dan keterlibatan sosial untuk mengelola sampah makanan menjadi sumber energi transisi.
Hal ini juga menjadi langkah awal untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Goal 12 terkait Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab. Aie menyebutkan, saat ini Enable Project mulai mengedukasi secara langsung kepada publik bahwa sampah makanan itu harus diolah dengan baik. Karena pengolahan sampah makanan yang sesuai bisa bermanfaat pada energi terbarukan.
Selain itu, diberikan juga edukasi terkait bagaimana menakar makanan secukupnya, apa yang harus dilakukan jika makanan expired, hingga cara pengelolaannya. Aie menjelaskan bahwa saat ini yang dilakukan oleh Enable Project adalah community participation.
"Kita melibatkan persentuhan desa atau kota. Karena di masing-masing desa atau kota, cara untuk bisa diterapkan programnya agak berbeda. Di kota itu kita gak punya lahan untuk, misalnya, changing food waste ke pupuk organik," tambah Aie.
Perempuan berusia 26 tahun ini menjelaskan juga, Enable Project berusaha menggandeng kelompok tani di ranah desa. Mereka memberikan edukasi tentang bagaimana sampah makanan bisa diolah menjadi pupuk organik. Pupuk ini kemudian bisa digunakan kembali untuk bertani atau bercocok tanam
Aie melanjutkan, "Sedangkan untuk di kota itu kan masyarakatnya sudah cukup mengetahui soal food waste. Jadi kita mulai masuk ke implementasi green energy."
4. Tiga bentuk food waste yang jarang diketahui

Belum banyak diketahui, ternyata food waste dibagi menjadi tiga tahapan. Aie memberikan penjelasan komprehensif terkait tiga tahapan ini. Tahapan pertama adalah sebelum diolah menjadi makanan siap saji. Contohnya sayur yang akan diolah menjadi makanan. Ketika sayur itu sudah dipetik, pastinya akan disortir untuk disalurkan ke pasar atau supermarket.
"Terlebih kalau ke supermarket, itu kan pasti harus yang bentuknya bagus/sempurna. Kalau ada cacat sedikit, pasti langsung tereliminasi. Nah, terus yang gak lolos ini di kemanain? Biasanya langsung dibuang gitu aja sampai menumpuk, ini disebut food loss," jelasnya.
Tahapan kedua adalah makanan yang sudah siap saji atau dimasak. Biasa ditemukan juga di restoran, khususnya restoran cepat saji. Ini yang menjadi tantangan atau sumber sampah terbesar. Karena gak jarang akhirnya sisa makanan (yang belum habis), itu akan dibuang, khususnya di restoran cepat saji.
"Bisa terjadi juga di rumah, kalau misalnya keluarga kurang memiliki pengetahuan akan food waste. Biasanya masak banyak, tapi akhirnya malah dibuang gitu aja kalau ada sisa. Lebih parahnya, sampah makanannya digabung menjadi satu dengan sampah lainnya. Padahal sampah organik dan non-organik itu akan mengalami pembusukan jika digabung, sehingga gak bisa diolah," tambah Aie.
Tahapan terakhir adalah makanan yang sudah kita beli di groceries store. Biasanya, bentuknya semacam kaleng atau plastik. Gak jarang ada produk yang expired atau kadaluwarsa. Ini juga bisa berakhir menjadi food waste.
5. Dampak food waste terhadap lingkungan secara keseluruhan

Food waste memiliki dampak lingkungan yang luas dan merugikan. Salah satu dampak paling signifikan adalah emisi gas rumah kaca. Saat makanan dibuang dan membusuk di tempat pembuangan sampah, ia menghasilkan metana, gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada karbon dioksida dalam hal pemanasan global. Proses-proses ini berkontribusi pada penipisan sumber daya alam dan degradasi lingkungan.
"Sebenarnya ketika sampah makanan ini mengeluarkan gas metana, dia akan menyebabkan yang namanya carbon footprint. Lalu, gas CO2 yang bercampur dengan metana akan menyebabkan global warming," kata Aie.
Selain itu, food waste juga menyebabkan pencemaran tanah dan air. Limbah makanan yang dibuang tidak hanya memenuhi tempat pembuangan akhir (TPA) tetapi juga dapat menyebabkan limpasan nutrisi ke dalam saluran air, yang mengakibatkan eutrofikasi dan membahayakan ekosistem perairan. Dengan demikian, mengurangi food waste adalah langkah krusial untuk mengurangi tekanan pada lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Isu tentang food waste ternyata memang bukan hal yang sepele, karena dampaknya pun akan sangat signifikan untuk lingkungan. Aie Natasha, sebagai founder Enable Project, pun memiliki kepedulian mendalam terkait urgensi food waste. Masyarakat pun perlu memiliki edukasi mendalam terkait food waste untuk kemudian memunculkan kepedulian.