Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Peluh Perjuangan dan Kisah Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan

Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan, di program Real Talk with Uni Lubis pada Selasa (02/03/2023) di Studio IDN Media HQ (youtube.com/IDN Times)

Sebagai seorang perempuan, tentunya banyak perjuangan dan perjalanan yang akan dilewati. Karena sejak dulu, masih banyak stigma yang kurang baik untuk kaum perempuan. Meskipun Indonesia sudah melewati era emansipasi perempuan, namun masih banyak peristiwa di Indonesia yang masih menjadikan perempuan sebagai korban.

Hal tersebut dirasakan pula oleh Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan, yang memang kerap bertemu dengan banyak perempuan di Indonesia. Perjuangan dan perjalanan Andy di Komnas Perempuan pun ternyata gak mudah. Banyak rintangan dan tantangan yang Andy lewati. Inilah kisah dan peluh perjuangan Andy Yentriyani selama di Komnas Perempuan yang dibagikan melalui program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times pada Selasa (02/03/2023) di Studio IDN Media HQ.

1. Mulai concern terhadap isu perempuan ketika duduk di bangku SMP

Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan, di program Real Talk with Uni Lubis pada Selasa (02/03/2023) di Studio IDN Media HQ (youtube.com/IDN Times)

Andy tinggal dan besar di daerah Pontianak. Ketika masa SMP, Andy mulai concern terhadap isu perempuan, karena adanya suatu fenomena di wilayah Pontianak. Banyak teman-teman Andy semasa SMP yang harus kehilangan masa remajanya karena mereka dinikahkan oleh orangtuanya di usia yang sangat belia.

"Mulai bertanya-tanya tentang isu perempuan saat SMP. Saya melihat, bagaimana kawan-kawan SMP dinikahkan dalam usia sangat muda. Saat SMP, saya hanya fokus dalam pendidikan dan sekolah. Saya ingin mencapai sesuatu yang kira-kira bermanfaat di kemudian harinya. Namun, tiba-tiba saya dikejutkan dengan realita bahwa beberapa teman saya dikawinkan di usia dini, SMP tuh sekitar 13-14 tahun," tutur Andy.

Andy menambahkan, banyak juga perempuan di daerahnya yang dinikahkan dengan orang luar negeri. Karena pada saat itu, Kalimantan Barat sering dianggap sebagai 'kantong amoy'. Realita itu menjadi pertanyaan besar di benak Andy. Namun, ketika Andy bertanya tentang fenomena itu, yang ia dapatkan adalah jawaban, 'ya, kan, perempuan pada akhirnya akan menikah.' Di sisi lain, Andy berpikir bahwa perempuan juga mempunyai keinginan lain selain menikah. Lantas, mengapa akhirnya harus berakhir seperti itu? Pada akhirnya, fenomena ini menjadi keresahan terbesar bagi seorang Andy.

2. Beruntungnya, keluarga Andy turut mendukung cita-cita dan mimpinya

Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan, di program Real Talk with Uni Lubis pada Selasa (02/03/2023) di Studio IDN Media HQ (youtube.com/IDN Times)

Dari fenomena yang terjadi di wilayahnya, Andy memiliki keberuntungan di lingkungan keluarganya karena keluarga Andy gak menekan ia untuk menikah di usia dini seperti teman-temannya. Tentunya, ini menjadi keberuntungan bagi seorang Andy yang memang ingin fokus pada pendidikan dan mimpinya.

"Kalau ayah saya tuh hanya berpikir, anak perempuan itu harus sekolah, karena kalau dia gak sekolah, nanti lebih gampang direndahkan lagi di dalam masyarakatnya. Nah, ibu saya juga berpikir, sekolah itu sesuatu yang baik. Karena sekolah adalah hal yang bisa kamu bawa sampai kapan pun. Jadi, kalau dulu kami nggak disuruh menikah, tapi justru memilih. Kalau mau sekolah, maka sekolah lah dengan baik. Kalau tidak, ya kamu lakukan saja yang lebih baik," jelasnya.

Sehingga, beruntungnya, Andy tetap bisa melanjutkan pendidikan dan menggapai mimpinya dengan dukungan kedua orangtuanya. Andy gak pernah mendapatkan tekanan untuk segera menikah. Ia juga gak pernah mendapatkan tekanan untuk harus selalu juara di sekolahnya. Karena prinsip hidup ibunya adalah, 'buatlah yang terbaik, jangan berpikir untuk menjadi orang besar, tetapi buatlah sesuatu yang terbaik yang mungkin itu membesarkan kebaikan itu sendiri.'

3. Masuk ke ranah Komnas Perempuan ketika menggarap skripsi yang berkaitan dengan isu perempuan

Potret Andy Yentriyani (instagram.com/kabarsejuk)

Ketika masuk ke dunia kuliah, Andy memilih jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia karena sempat bercita-cita ingin menjadi seorang diplomat. Isu perempuan yang terjadi di daerahnya masih menjadi keresahan Andy. Itulah mengapa, akhirnya Andy mengangkat isu tersebut untuk topik skripsinya.

Namun, topiknya itu dianggap kurang relevan dengan jurusan Hubungan Internasional. Walau begitu, Andy menganggap bahwa isu itu urgensinya cukup tinggi. Lalu, Ia diharuskan mencari pembimbing dari luar kampus, karena belum ada pembimbing di UI. Dari situ lah akhirnya Andy mulai mengenal lingkungan Komnas Perempuan.

"Saya diberikan kesempatan untuk membahas topik itu dan mencari pembimbing dari luar. Beberapa ahli migrasi waktu itu adalah mbak Tatik Krisnawati yang juga komisioner Komnas Perempuan periode pertama. Lalu, katanya waktu itu, ‘boleh sih saya jadi pembimbing kamu, tapi kamu kerjain dulu satu hal di Komnas Perempuan.' Jadi itu yang menjadi awal saya kenal dengan Komnas Perempuan," jelas Andy.

Pada saat itu, Komnas Perempuan belum memiliki lembaga perlindungan saksi dan korban. Sehingga, banyak perempuan korban peristiwa-peristiwa besar, seperti Mei '98, Aceh, dan sebagainya, yang gak bisa melapor ke Komnas Perempuan. Sehingga, Andy bertugas untuk meng-handle hal tersebut. Sejak turun di zona tersebut, Andy akhirnya gak ingin lagi menjadi diplomat. Andy lebih ingin fokus memperbaiki situasi dan fenomena di Indonesia, khususnya yang berorientasi pada kaum perempuan.

"Peristiwa Mei '98 menempatkan perempuan sebagai salah satu sasaran utama. Peristiwa itu sebenarnya membuat saya berpikir, saya kerja di Indonesia saja. Supaya gak ada lagi perempuan, apa pun latar belakang etnis dan agamanya, perlu merasakan ketakutan yang pernah saya rasakan di dalam tragedi itu," katanya.

4. Titik nadir seorang Andy dalam perjalanannya di Komnas Perempuan

Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan, di program Real Talk with Uni Lubis pada Selasa (02/03/2023) di Studio IDN Media HQ (youtube.com/IDN Times)

Selepas tugasnya di Komnas Perempuan, akhirnya pada tahun 2009 Andy ditawarkan untuk menjadi komisioner Komnas Perempuan, sehingga, dari tahun 2010-2014 Andy menjadi komisioner di Komnas Perempuan. Selama itu, Ia banyak menyaksikan peristiwa yang menjadikan perempuan sebagai korban. Misalnya adalah di peristiwa Cikeusik.

"Jadi saya ingat pasca peristiwa Cikeusik, ada segerombolan ibu-ibu penghayat yang datang. Mereka datang ke Komnas Perempuan untuk mengadu. Terus, ada satu ibu yang bercerita tentang rasa sedihnya dia gak bisa memakamkan suaminya, karena ditolak, karena bukan umat beragama yang diakui. Saya menangis pada saat itu, saya pikir bahwa ini bukan Indonesia yang selama ini dibayangkan," tuturnya.

Selain itu, Andy juga sering mendengar berita-berita lainnya tentang pengucilan minoritas di Indonesia yang menjadikan perempuan sebagai korbannya. Di situ lah akhirnya Andy merasakan titik nadirnya.

"Pada 2014, ketika ada pertanyaan apakah saya mau melanjutkan atau tidak menjadi komisioner, saya merasa berat sekali, saya merasa kayak future tuh gelap. Kayaknya, jangan-jangan kita gak sampai nih pada ide reformasi ini. Jangan-jangan ini mimpi yang terlalu besar," katanya.

Di titik itu, Andy benar-benar sampai pada tahap yang burn out. Ia merasa, apa yang selama ini diperjuangkan akan sulit mencapai keberhasilannya karena masih banyak, bahkan semakin banyak, peristiwa yang mengorbankan kaum perempuan di Indonesia.

Andy juga mendapatkan pencerahan dari ayahnya yang mengatakan bahwa, jika sudah gak sanggup, maka jangan diteruskan, karena nanti ia akan patah. Ayahnya juga memberikan wejangan kepada Andy dengan sebuah pengibaratan, 'ketika kayu melawan arus, kalau gak sanggup ngikutin arusnya dan terus melawan, maka akan patah.' Sehingga, Andy akhirnya sempat berhenti sejenak untuk menjadi komisioner.

5. Kembali bangkit karena melihat semangat juang para perempuan di Indonesia

Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan, di program Real Talk with Uni Lubis pada Selasa (02/03/2023) di Studio IDN Media HQ (youtube.com/IDN Times)

Andy hanya berhenti sejenak, karena akhirnya ia kembali bangkit untuk memperjuangkan semua mimpi dan harapannya karena apa yang Andy perjuangkan memang sudah cukup jauh, sehingga gak mungkin ditinggalkan begitu saja. Menurut Andy, ketika akan mencapai perubahan, kita harus percaya bahwa perubahan itu memang akan terjadi.

"Karena kan kita mau melakukan perubahan, jadi kita harus percaya bahwa perubahan itu mungkin adanya. Kalau kita sendiri gak percaya pada perubahan itu dan kita mulai meragukan, maka gak akan berakhir dengan baik," jelasnya.

Karena ini bukan lagi tentang mimpi Andy atau keluarganya, namun melibatkan banyak pihak. Selain itu, hal lainnya yang kembali membangkitkan Andy adalah semangat juang dari para perempuan di Indonesia. Ketika dalam masa break-nya, Andy mulai membuat catatan perjalanannya.

"Jadi dalam catatan itu saya mengingat setiap peristiwa. Setiap peristiwa itu kan ada orang di belakangnya. Jadi saya mengingat pertemuan-pertemuan dengan komunitas-komunitas korban. Saya ingat bagaimana senangnya ibu-ibu di Klender dan teman-teman dari perempuan Indonesia Tionghoa ketika kita berhasil membangun memorialisasi di TPU Pondok Ranggon. Untuk 113 nisan dari saudara-saudara kita yang meninggal dan tidak bisa diidentifikasikan lagi dalam tragedi Mei '98," tambah Andy.

Andy juga melihat bagaimana para perempuan yang sempat jadi korban di peristiwa-peristiwa besar itu tetap tegar dan semangat melanjutkan kehidupannya. Dari situ lah akhirnya Andy kembali mendapatkan semangatnya. Sehingga, akhirnya Andy kembali menjadi komisioner di Komnas Perempuan sampai saat ini.

Apa yang sudah dilewati Andy Yentriyani memang gak mudah. Banyak perjuangan dan pengorbanan yang ia lakukan. Namun, semangat dan keyakinannya membuat Andy terus bergerak maju. Tentunya, hal tersebut bisa dijadikan inspirasi, terlebih bagi kaum perempuan di Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
Nisa Zarawaki
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us