Femisida Kian Marak, Ini Saran Terbaik Mengatasinya dari Ahli

- Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan, berbeda dengan pembunuhan biasa karena motifnya didasari oleh gender.
- Keluarga memainkan peran besar dalam membentuk perilaku anak agar keluar dari budaya patriarki, dan penanganan norma budaya merupakan cara terbaik untuk mencegah femisida secara efektif.
- Keadilan bagi korban dan strategi multisektoral menjadi fokus utama untuk mengatasi femisida, baik melalui lembaga atau keluarga serta lingkungan lainnya.
Jakarta, IDN Times - Menurut KBBI, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Yang membedakan pembunuhan ini dengan pembunuhan lainnya adalah karena motifnya didasari oleh gender.
Oleh karena itu, femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang berujung kematian, berbeda dengan pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, atau opresi. Tak heran, jenis kekerasan ini merupakan hasil dari ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan yang sayangnya masih terjadi di masyarakat di Indonesia.
Namun, femisida merupakan kejahatan yang bisa dikikis seiring dengan berjalannya waktu. Menurut Sharyn Davies, Associate Professor, Indonesian Studies, Monash University, begini cara terbaik mengatasi femisida.
1. Perlu diatasi dari akar, keluarga memegang peranan penting dan paling utama dalam memberantas femisida

Pertama dan utama, keluarga memainkan peran besar untuk membesarkan anak agar dapat keluar dari kungkungan budaya patriarki. Hal ini pun sejalan dengan pendapat oleh Professor Sharyn, bahwa keluarga secara keseluruhan dapat berpengaruh terhadap pola pikir dan juga perilaku sang anak.
"Di Indonesia, keluarga memainkan peran sentral dalam membentuk perilaku, dengan ekspektasi yang kuat terkait kesetiaan, rasa hormat, dan tanggung jawab bersama dan secara khusus mendorong istri untuk tunduk dan patuh kepada suami dan ayah," ucap Professor Sharyn Davies pada IDN Times dalam Whatsapp (16/10/2024).
Oleh karena itu, ia pun menegaskan bahwa berfokus pada penanganan norma budaya merupakan cara terbaik untuk mencegah femisida secara efektif. Melalui pendidikan di lingkup keluarga, orang tua pun dapat memutus rantai patriarki yang selama ini mungkin masih berjalan akibat warisan budaya.
2. Berangkat dari KDRT, kita perlu mengubah stigma untuk menyalahkan pelaku, bukankorban

Keadilan bagi korban juga perlu menjadi fokus utama ketika berbicara mengenai kekerasan berbasis gender. Pasalnya, kekerasan berbasis gender, seperti KDRT atau kecemburuan merupakan kejahatan sistemik dan bukanlah kejahatan pribadi. Untuk itu, Professor Sharyn pun mengukuhkan bahwa perspektif sempit semacam ini perlu diberhentikan melalui edukasi dasar dari keluarga.
"Perspektif sempit ini mengalihkan perhatian dari faktor-faktor masyarakat yang lebih luas, seperti dinamika kekuasaan yang tidak setara dan maskulinitas yang beracun, yang berkontribusi terhadap kekerasan, sehingga melemahkan perlunya solusi sistemik yang komprehensif,” ungkap Professor Sharyn.
Pasalnya, ketika ketidakpahaman ini kian dilanggengkan, tak ayal bahwa keadilan bagi korban oleh negara pun semakin terhambat dan tidak berfokus untuk menghukum pelaku dengan sanksi yang setimpal.
3. Bukan hanya organik, strategi multisektoral dari ranah hukum juga penting

Strategi sistem multisektoral pun juga menjadi aspek penting karena tangan negara memainkan peran penting terhadap hidup para masyarakatnya. Oleh karena itu, peran dari keluarga saja tidak cukup dan membutuhkan perhatian yang terpusat oleh negara.
"Kita juga harus mengadopsi strategi multisektoral yang terkoordinasi yang mencakup pelatihan penegakan hukum, melibatkan laki-laki dan anak laki-laki dalam inisiatif antikekerasan, dan secara efektif menegakkan hukum perlindungan untuk memastikan intervensi tepat waktu bagi mereka yang berisiko menjadi korban pembunuhan terhadap perempuan,” tambah Professor Sharyn dalam wawancara tertulisnya.
Hal ini pun sejalan dengan jurnal Ayse Kulahli dengan judul "Honour Killings in Turkey: Women’s Rights, Feminist Approaches and Domestic Legislation at Crossroads" yang berbicara mengenai tindak "honour killing", yakni ketika perempuan dibunuh karena dianggap menyelewengkan norma, seperti menolak untuk dijodohkan, aib sebagai korban kekerasan seksual, atau meminta perceraian.
Dari jurnal ini dikatakan bahwa CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) masih belum secara utuh menyelesaikan permasalahan femisida dari sisi kebijakan. Sehingga, diperlukan adanya kebijakan tambahan, yakni Istanbul Convention yang keduanya saling melengkapi untuk memberantas akar permasalahan penyelesaian femisida di ranah hukum.
4. Pentingnya edukasi terkait dengan tanda-tanda kekerasan gender dari dasar

Baik melalui lembaga atau melalui keluarga, tanda-tanda kekerasan gender dari dasar juga perlu diajarkan agar dapat meminimalisir korban kekerasan gender yang semakin menggunung.
“Tanda-tanda awal dalam keluarga yang dapat menyebabkan kekerasan berbahaya terhadap perempuan meliputi perilaku yang mengendalikan, manipulasi emosional, pelecehan verbal, isolasi dari jaringan pendukung, serta meningkatnya ancaman atau agresi fisik,” tutur Professor Sharyn.
Bukan hanya secara individu, edukasi ini pun bisa dilakukan secara terbuka dari berbagai platform yang tersedia saat ini. Seperti melalui media sosial misalnya, edukasi ini bisa dilakukan sebagai upaya untuk menghadirkan space sosial media yang aman, bebas dari budaya toxic masculinity yang berkontribusi pada peningkatan kekerasan terhadap perempuan.
“Media sosial kemungkinan memainkan peran ganda. Di satu sisi, media sosial memberdayakan perempuan dengan meningkatkan akses ke jaringan dukungan dan sumber daya, yang dapat mendorong lebih banyak perempuan untuk melaporkan insiden," pungkasnya.
5. Diperlukan satu kesatuan lingkungan yang mendukung untuk mengatasi femisida dari akar

Jika kamu pernah mendengar idiom "it takes a village to raise a child", faktanya lingkungan memegang peranan penting untuk menumbuhkan anak dengan sikap dan cara berpikir berkualitas. Bukan hanya keluarga, lingkungan lain seperti desa atau tetangga juga perlu memiliki wawasan mengenai femisida agar akar permasalahan femisida dapat diberantas dari akar.
"Kita dapat meningkatkan kesadaran dalam keluarga tentang dampak jangka panjang kekerasan dalam rumah tangga dengan mempromosikan diskusi terbuka, memberikan pendidikan tentang konsekuensi psikologis dan fisiknya, dan berbagi sumber daya yang menyoroti potensi meningkatnya bahaya, termasuk risiko femisida, khususnya bagi perempuan dan anak-anak," tegas Professor Sharyn.
Oleh karena itu, jika anggota keluarga atau lingkungan terdekat mengetahui adanya tindak kekerasan, mereka dapat turun tangan, memberikan dukungan bagi perempuan, dan mengajukan petisi kepada pemerintah untuk mengembangkan undang-undang yang lebih baik, seperti yang disarankan Professor Sharyn selaku ahli.
Itu dia saran terbaik dari ahli untuk mengatasi femisida dari seluruh peran yang terlibat. Semoga fenomena ini bisa segera menurun dan tidak menjadi momok menakutkan bagi masyarakat, ya!